4 Cara Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan Mana yang Disepakati Para Ulama-dakwah.id

4 Cara Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan, Mana yang Disepakati Para Ulama?

Terakhir diperbarui pada · 5,647 views

Tiap kali mendekati bulan Ramadhan, publik selalu dihangatkan dengan perbincangan tentang perbedaan hari awal dan akhir Ramadhan. Perbedaan hari awal dan akhir Ramadhan tersebut terjadi karena adanya perbedaan tentang cara menentukan awal dan akhir Ramadhan, antara hisab dan rukyat, oleh organisasi besar umat Islam yang ada di negara ini.

Jika didata, setidaknya ada empat cara menentukan awal dan akhir Ramadhan yang banyak dipraktikkan di Indonesia.

 

Cara Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan dengan Rukyatul Hilal

Rukyatul hilal adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal dengan cara melihatnya langsung dengan mata atau dengan alat bantu (kamera, teropong, teleskop, binokular, theodolite, dan alat-alat lainnya).

Cara inilah yang pernah dicontohkan secara langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ

Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah (selesaikan Ramadhan) karena melihatnya.” (HR. Al-Bukhari No. 1776; HR. Muslim No. 1809)

Dalam hadits lain, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara tentang Ramadhan, beliau bersabda,

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ

Janganlah kalian puasa sampai kalian melihat Hilal, dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihat Hilal pula.” (HR. Al-Bukhari No. 1773; HR. Muslim No. 1795)

Baca juga: Wajib Memisahkan Pemakaman Muslim dari Pemakaman non-Muslim

Dalam praktiknya, rukyatul Hilal dilakukan pada malam hari ketiga puluh bulan Sya’ban (29 Sya’ban, sore hari menjelang Maghrib) untuk penentuan awal Ramadhan, dan dilakukan pada malam hari ketiga puluh bulan Ramadhan (29 Ramadhan, sore hari menjelang Maghrib) untuk menentukan akhir Ramadhan/awal Syawal.

Cara ini adalah cara yang paling mudah. Dapat dilakukan siapa pun yang masih memiliki penglihatan normal.

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkisah,

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَل فَأَخْبَرْتُ بِهِ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Orang-orang sedang mencari-cari hilal. Lalu aku informasikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.” (HR. Abu Daud No. 2342 ; HR. Ibnu Hibban No. 3447; HR. Ad-Daruquthni No. 2146; HR. Al-Hakim No. 1541, sanad hadits ini shahih)

 

Cara Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan dengan Menggenapkan 30 Hari

Cara menentukan awal dan akhir Ramadhan berikutnya adalah dengan menggenapkan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (untuk menentukan awal Ramadhan) dan menggenapkan bilangan bulan Ramadhan menjadi 30 hari (untuk menentukan akhir Ramadhan/awal syawal).

Cara ini hanya boleh ditempuh ketika rukyatul hilal menemui kegagalan tersebab hilal tidak dapat terlihat. Cara ini memiliki dasar hukum yang kuat melalui sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Imam al-Bukhari,

فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh.” (HR. Al-Bukhari No. 1776)

Baca juga: Kenapa Jumlah Rakaat Shalat Wajib Tidak Semua Sama?

Dalam riwayat muslim disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ

Dan jika bulan itu tertutup dari pandangan kalian, maka genapkanlah bilangannya.” (HR. Muslim No. 1809)

Cara menentukan awal dan akhir Ramadhan dengan menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari ini dikenal dengan istilah metode istikmal.

 

Cara Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan dengan Hisab Astronomis

Cara menentukan awal dan akhir Ramadhan yang ketiga adalah dengan hisab astronomis. Hisab adalah metode perhitungan untuk menentukan tanggalan (termasuk awal dan akhir bulan Qamariyah) kalender Hijriyah, baik itu dengan perhitungan matematis maupun perhitungan secara ilmu falak/astronomi.

Maksud dari menentukan awal dan akhir Ramadhan dengan hisab astronomis adalah dengan mematematikakan fenomena kemungkinan terlihatnya hilal; imkanu ru’yatil hilal atau disingkat imkanurru’yah. (Majalah Fikih Islam Hujjah edisi 41)

Baca juga: Sikap Ghuluw itu Terlarang dalam Islam, Kenapa Demikian?

Ada banyak teori tentang ini. Salah satunya—yang dipakai oleh Persatuan Islam (PERSIS), sebagaimana dijelaskan oleh Ustadz Mohammad Iqbal Santoso, Ketua Dewan Hisab Rukyat PP. PERSIS, dalam tulisannya yang berjudul “Hisab Imkanur-Rukyat: Kriteria Awal Bulan Hijriyyah Persatuan Islam” adalah: beda tinggi antara bulan dan matahari minimal 4 derajat; dan jarak busur antara bulan dan matahari minimal sebesar 6.4 derajat.

Menurut Ustadz A.R Sugeng , seorang anggota Himpunan Astronomi Indonesia, dalam penentuan awal bulan Qamariyah, kriteria imkan rukyat atau visibilitas hilal merupakan titik temu antara pengikut rukyat dan pengikut hisab. Dengan kriteria itu, maka hasil hisab diupayakan sama dengan hasil rukyat. Namun, hal itu bisa terlaksana kalau imkan rukyat didasarkan pada data astronomi kesaksian Hilal. (A.R Sugeng Riyadi (Anggota Himpunan Astronomi Indonesia), dalam artikel Kriteria Imkan Rukyat, Majalah Fikih Islam Hujjah edisi 17)

 

Cara Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan dengan Hisab Wujudul Hilal

Cara menentukan awal dan akhir Ramadhan yang keempat adalah dengan hisab wujudul Hilal.

Hisab wujudul Hilal adalah penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip; Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum matahari terbenam (Ijtima’ qabla al-Ghurub), dan bulan terbenam setelah matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapa pun sudut ketinggian (altitude) bulan saat matahari terbenam.

Jadi, apabila telah terjadi ijtimak (konjungsi) antara bulan lama dengan bulan baru, maka dipastikan hilal sudah ada meskipun belum dapat dilihat.

Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan PERSIS dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria wujudul Hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkan rukyat.

Sementara, Muhammadiyah sampai saat ini masih konsisten dalam menggunakan metode hisab wujudul Hilal yang memang sudah lama dipegang majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan Hijriyah.

Bagi Muhammadiyah, awal bulan kalender Qamariyah cukup ditentukan dengan cara hisab tanpa perlu melakukan rukyat Hilal. (A.R Sugeng Riyadi (Anggota Himpunan Astronomi Indonesia), dalam artikel Kriteria Imkan Rukyat, Majalah Fikih Islam Hujjah edisi 17)

Artikel terkait: Sikap Muslim Awam ketika Mendapati Keragaman Fatwa Ulama

Menurut T. Djamaluddin, seorang Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN sekaligus menjabat sebagai Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak. Bagi beliau, teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya.

 

Dari 4 Cara Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan itu, Mana yang Disepakati dan Mana yang Diperselisihkan oleh Para Ulama?

Dalam kajian para ulama, cara menentukan awal dan akhir Ramadhan dengan rukyat Hilal memiliki landasan argumentasi yang sangat kuat. Bahkan, cara ini dipraktikkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, cara ini disepakati oleh ulama empat mazhab. Seperti Mulla Ali Qari dari mazhab Hanafi (Mirqatul Mafatih, 4/403), Ahmad Dardir dari mazhab Maliki (Asy-Syarh al-Kabir, 1/512), Ibnu Hajar al-Asqalani dari mazhab Syafi’i (Fath al-Bari, 4/217), dan Ibnu Qudamah al-Maqdisi dari mazhab Hanbali (Al-Mughni, 3/13).

Sementara, metode hisab, baik hisab astronomis atau hisab wujudul Hilal masih menjadi ruang perselisihan pendapat, terutama ulama kontemporer, seiring dengan kecanggihan teknologi yang terus berkembang. Wallahu a’lam. [Sodiq Fajar/dakwah.id]

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *