Daftar Isi
Fikih Prioritas: Amalan Mana yang Harus Didahulukan? — Hampir setiap kali bulan Ramadhan, shaf masjid penuh sesak dengan jamaah yang ingin melaksanakan shalat tarawih. Namun di bulan yang sama, masjid sepi di selain shalat Isya dan tarawih.
Setiap tahun, selalu terdengar cerita ada beberapa jamaah Haji yang berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan Haji yang kedua kalinya. Di waktu yang sama, ada lembaga-lembaga dakwah dan pendidikan yang pontang-panting mencari donasi. Atau, tetangganya yang miskin dan butuh pembiayaan dibiarkan begitu saja.
Setiap musim Umrah, terdengar informasi satu keluarga rame-rame pergi ke tanah suci untuk melaksanakan ‘ibadah sunnah’ Umrah yang ke sekian kalinya. Padahal, keluarga tersebut sama sekali belum pernah melaksanakan ‘ibadah wajib’ Haji.
Di tempat lain, seorang aktivis sibuk berbisnis menggemukkan pundi hartanya, sementara jamaah amal jama’i di mana ia aktif di dalamnya sedang ditimpa krisis finansial sementara dirinya sama sekali tak bergeming. Kasus lain, tak sedikit aktivis yang terjangkit kebiasaan mementingkan urusan pribadi dari kewajibannya di dalam jamaah amal jama’i.
Beberapa kasus di atas adalah nyata terjadi di kalangan masyarakat muslim. Kasus di atas mewakili banyak kasus yang merepresentasikan tingkat pemahaman masyarakat muslim terhadap ilmu Islam terutama fikih prioritas.
Dalam melaksanakan perintah Allah ‘azza wajalla, setiap muslim dituntut untuk melaksanakan perintah-perintah tersebut secara proporsional. Artinya, ketika Allah ‘azza wajalla memerintahkan suatu amalan yang tingkat hukumnya berbeda, maka setiap muslim semestinya lebih mendahulukan amalan yang posisi hukumnya paling tinggi. Inilah gambaran praktis soal fikih prioritas. Dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Fiqh al-Aulawiyat.
BACA JUGA: Pendidikan Iman, Mata Pelajaran ‘Wajib’ Dalam Dunia Pendidikan Tiap Harakah Islamiyah
MEMPRIORITASKAN PERSOALAN USHUL DARI PERSOALAN FURU’
Sudah semestinya setiap muslim lebih mendahulukan memahami persoalan-persoalan ushul dari persoalan-persoalan furu’. Seperti persoalan iman dan tauhid kepada Allah ‘azza wajalla, iman kepada malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Quran.
Allah ‘azza wajalla berfirman,
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177)
MEMPRIORITASKAN AMALAN FARDHU DARI AMALAN SUNAH DAN NAFILAH
Dalam kaidah fikih prioritas, perintah Allah ‘azza wajalla yang berupa pelaksanaan amalan yang hukumnya lebih wajib harus didahulukan dari amalan wajib. Amalan yang hukumnya wajib harus didahulukan dari amalan yang hukumnya mustahab.
Sikap bermudah-mudah (at-Tasahul) ditempatkan pada amalan mustahab dan sunnah, bukan pada amalan yang hukumnya fardhu dan wajib. Lebih menekankan diri untuk melaksanakan amalan-amalan fardhu yang pokok seperti shalat dan zakat dimana amalan fardhu ini disampaikan Allah‘azza wajalla secara saling terkait sebanyak 28 kali dalam al-Quran dan ditambah dukungan argumentasi dari banyak hadits shahih, ketimbang berpayah-payah pada amalan sunah hingga lalai pada amalan wajib.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Islam dibangun di atas lima pilar; syahadat laa ilaaha illallah, dan mendirikan shalat, menunaikan zakat, shiyam Ramadhan, dan Haji ke Baitullah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Maka, termasuk sikap keliru yang biasa dijumpai dalam masyarakat adalah lebih sibuk dengan amalan sunah namun melalaikan amalan wajib seperti shalat, shiyam, dan Haji. Rajin melaksanakan Qiyamullail dan shalat tarawih tapi bermalas-malasan melaksanakan shalat wajib lima waktu secara berjamaah di masjid. ini keliru.
Banyak didapati muslim yang begitu semangat mengamalkan shaum senin-kamis, namun merasa lelah dan bermalas-malasan untuk bekerja mencari nafkah sebagai kewajibannya sebagai suami. Ini keliru. Sebab, shaum senin-kamis adalah amalan sunnah sedangkan bekerja mencari nafkah adalah amalan wajib.
Termasuk di dalamnya, seorang muslim yang memiliki harta lebih, sudah menunaikan kewajiban ibadah Haji, namun ia berangkat lagi ke tanah suci untuk melaksanakan Haji yang kedua kali, sementara di sekeliling tempat tinggalnya terdapat fakir miskin yang membutuhkan harta, atau terdapat lembaga sosial yang membutuhkan bantuan harta.
Maka ini adalah tindakan yang keliru; pelaksanaan ibadah Hajinya yang kedua adalah sunnah, sedangkan menolong fakir miskin dan lembaga sosial yang sangat membutuhkan adalah wajib.
BACA JUGA: Nadzar Belum Terlaksana, Ahli Waris Wajib Mewujudkannya?
MEMPRIORITASKAN AMALAN FARDHU ‘AIN DARI AMALAN FARDHU KIFAYAH
Fardhu ‘ain adalah hukum fardhu yang dibebankan kepada setiap muslim. Fardhu kifayah adalah hukum fardhu yang dibebanan kepada setiap muslim jika belum ada muslim yang menunaikannya, jika telah ada muslim yang menunaikannya, maka gugur kewajiban tersebut dari diri setiap muslim.
Sebagaimana amalan yang hukumnya fardhu harus diprioritaskan dari amalan yang hukumnya sunnah dan tathawwu’, maka amalan yang hukumnya fardhu ‘ain harus diprioritaskan dari amalan yang hukumnya fardhu kifayah.
Contoh kasus, ketika dalam satu kondisi hukum jihad adalah fardhu kifayah, maka birrul walidain (berbakti kepada orang tua) lebih harus diprioritaskan untuk dikerjakan daripada hukum jihad. Sebab, pada waktu itu birrul walidain hukumnya fardhu ‘ain, sedangkan hukum jihad saat itu adalah fardhu kifayah.
Dari Abdullah bin Umar ia berkata, ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia meminta izin untuk berangkat jihad. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
“Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”
Ia menjawab, “Ya, masih.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Maka berjuanglah (berbakti) kepada orang tuamu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
MEMPRIORITASKAN AMALAN TERKAIT HAK DENGAN MANUSIA DARI AMALAN TERKAIT HAK DENGAN ALLAH
Amalan-amalan yang hukumnya fardhu ‘ain jumlahnya sangat banyak sekali. Sementara syariat Islam menegaskan dalam banyak penjelasan betapa agungnya hukum-hukum yang berkaitan dengan hak-hak sesama manusia.
Amalan fardhu ‘ain yang berkaitan dengan hubungan seorang hamba dengan Allah ‘azza wajalla saja, masih terdapat ruang pemakluman. Lain halnya dengan amalan fardhu ‘ain yang berkaitan dengan hubungan hak-hak seorang hamba dengan sesamanya.
Sebagian ulama mengatakan,
حُقُوْقُ اللَّهِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى المُسَامَحَةِ وَحُقُوْقُ العِبَادِ مَبنِيَّةٌ عَلَى المُشَاحَّةِ
“Hak-hak Allah dibangun di atas prinsip permakluman (al-musamahah) dan hak-hak hamba dibangun di atas ketidakcukupan (al-Musyahhah).”
Contoh kasus, jika ibadah Haji itu hukumnya wajib, kemudian melunasi hutang juga hukumnya wajib, maka jika ada seorang muslim yang ingin melaksanakan Haji sementara ia memiliki hutang yang harus segera dilunasi, maka pelunasan hutang harus diutamakan.
Ia tidak boleh mendahulukan pelaksanaan ibadah Haji—meskipun hukumnya wajib, kecuali setelah mendapat izin dari orang yang dihutangi, atau masa tenggat pelunasan masih agak lama.
Ada banyak hadits yang mengisyaratkan fikih prioritas dalam persoalan hak antar sesama manusia ini. Di antaranya, hadits dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْفَرُ لِلشَّهِيْدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ
“Setiap dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim)
Mati syahid di jalan Allah ‘azza wajalla adalah puncak kemuliaan yang selalu diharapkan setiap muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla. Meski demikian, amalan mulia tersebut ternyata tidak bisa menggugurkan tanggungan hak sesama manusia berupa hutang.
Hadits tersebut dan juga hadits-hadits senada lainnya, menunjukkan bahwa syariat Islam sangat menjunjung tinggi dan memuliakan hak-hak antar sesama manusia, termasuk dalam urusan harta di mana seorang muslim tidak diperkenankan untuk mengambil tanpa ada hak dan memakannya dengan cara yang batil.
MEMPRIORITASKAN HAK-HAK JAMAAH DARI HAK-HAK INDIVIDU
Kewajiban-kewajiban yang terkait dengan kepentingan jamaah harus didahulukan dari kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan kepentingan individu.
Eksistensi individu tidak akan mampu bertahan kecuali dengan keberadaan jamaah. Manusia tidak akan bisa hidup sendirian tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Manusia akan tampak banyak memiliki kekurangan jika ia sendirian. Sebaliknya, ia akan tampak begitu sempurna—saling melengkapi—jika ia berada dalam sebuah jamaah. Jamaah dalam pengertian sekumpulan muslim yang memiliki kesamaan visi misi amal jama’i untuk meraih suatu kebaikan.
Itulah alasan mengapa kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan jamaah atau umat harus selalu didahulukan dari kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan individu.
Dari Abu Musa al-Asy’ari ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَطْعِمُوا الْجَائِعَ وَعُودُوا الْمَرِيضَ وَفُكُّوا الْعَانِيَ
“Berilah makan terhadap orang yang kelaparan, jenguklah orang sakit dan bebaskanlah tawanan.” (HR. Al-Bukhari)
MEMPRIORITASKAN LOYALITAS KEPADA UMAT DAN JAMAAH DARI LOYALITAS KEPADA SUKU DAN INDIVIDU
Dalam kehidupan masyarakat jahiliyah, fanatisme kesukuan berposisi sebagai prinsip persatuan dan faktor loyalitas tanpa peduli terhadap nilai-nilai kebenaran (al-Haq) atau keburukan (al-Batil). Slogan “Tolonglah saudaramu baik dalam posisi sebagai orang zalim ataupun orang yang dizalimi” mereka aplikasikan secara tekstual tanpa peduli substansi dan makna sebenarnya dari slogan tersebut.
Maka, dengan hadirnya Islam, loyalitas gaya masyarakat Jahiliah seperti itu langsung diperbaiki. Dalam prinsip Islam, loyalitas hanya diberikan kepada umat Islam dan memfungsikan loyalitas tersebut—berdasar petunjuk al-Quran dan as-Sunnah—untuk menegakkan agama Allah ‘azza wajalla sebagai saksi-saksi yang adil tanpa terhalangi oleh sentimen perasaan cinta karena kedekatan hubungan kekerabatan ataupun permusuhan terhadap musuh.
Allah ‘azza wajalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 135)
Keadilan harus tegak di atas seluruh bentuk sentimen. Keadilan harus berada di atas prinsip lillah (untuk Allah ‘azza wajalla), tanpa terpengaruh oleh kecenderungan perasaan cinta ataupun sikap ketidakadilan yang muncul karena faktor ketidaksukaan. (Bahan bacaan: Al-Khulashah fi Fiqhid Da’wah, Ali bin Nayif asy-Syahud) [Shodiq Alislami/Sumber: Majalah Fikih Islam Hujjah]