Akhir bulan suci Ramadhan adalah saat yang menggembirakan bagi banyak orang. Hal ini dikarenakan tidak lama lagi umat Islam akan merayakan sebuah hari istimewa yaitu hari raya Idul Fitri yang penuh sukacita.
Segala pernak-pernik disiapkan demi menyambut perayaan tahunan ini. Mulai dengan membeli baju baru, menyiapkan aneka roti dan camilan untuk para tamu, hingga menyajikan beragam hidangan seperti ketupat dan opor ayam.
Salah satu momen yang juga sangat ditunggu adalah malam takbiran. Pada malam itu, umat muslim berkumpul bersama untuk menggemakan takbir, sebagai ungkapan kebahagiaan dan bagian yang tak terpisahkan dari hari raya.
Takbir terdengar di masjid, rumah, dan jalan-jalan, menyatukan semua kalangan, baik tua maupun muda.
Takbiran dan Sunah Malam Hari Raya
Takbiran atau melafalkan takbir pada malam hari raya bukan sekadar perkara mubah yang dilakukan untuk mengekspresikan kebahagiaan. Sebaliknya, takbiran adalah sunah yang dianjurkan sebab terdapat perintah dan anjuran.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan ayat tersebut,
حَقًّا عَلَى الْمُسْلِمِينَ إذَا نَظَرُوا إلَى هِلَالِ شَوَّالٍ أَنْ يُكَبِّرُوا لِلَّهِ حَتَّى يَفْرُغُوا مِنْ عِيدِهِمْ، وَذَلِكَ لِقَوْلِهِ: {وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ}
“Merupakan anjuran kepada kaum muslimin apabila telah melihat hilal Syawal agar bertakbir kepada Allah sampai hari raya selesai. Sebab Allah berfirman dalam ayat-Nya demikian.” (Al-Jashash, Ahkam al-Quran, 1/272)
Muhammad bin Qasim al-Ghazi dalam Fathu al-Qarib menjelaskan,
(وَيُكَبِّرُ) نَدَبًا كُلٌّ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى، وَحَاضَرٍ وَمُسَافِرٍ، فِي الْمَنَازِلِ وَالطُّرُقِ، وَالْمَسَاجِدَ وَالْأَسْوَاقِ (مِنْ غُرُوْبِ الشَّمْسِ مِنْ لَيْلَةِ الْعِيْدِ) أَيْ عِيْدُ الْفِطْرِ، وَيَسْتَمِرُّ هَذَا التَّكْبِيْرُ (إِلَى أَنْ يَدْخُلَ الْإِمَامُ فِي الصَّلَاةِ) لِلْعِيْدِ.
وَلَا يُسَنُّ التَّكْبِيْرُ لَيْلَةَ عِيْدِ الْفِطْرِ عَقِبَ الصَّلَاةِ، وَلَكِنْ اَلنَّوَوِيُّ فِيْ الْأَذْكَارِ اِخْتَارَ أَنَّهُ سُنَّةٌ.
“Disunahkan takbiran bagi laki-laki dan perempuan, musafir dan mukim, baik yang sedang di rumah, jalan, masjid, maupun di pasar. Takbiran dimulai dari terbenam matahari pada malam hari raya, berlanjut sampai shalat Idul Fithri.
Tidak disunahkan takbiran setelah shalat Idul Fithri atau pada malamnya. Akan tetapi, menurut an-Nawawi dalam al-Azkar hal ini tetap disunahkan.” (Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathu al-Qarib,103)
Hukum kesunahan takbiran ini disepakati oleh para ulama. Adapun ikhtilaf atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan takbiran, itu berkisar pada waktu mulai dan waktu akhir mengumandangkan takbir, lafal takbir, serta beberapa hal lainnya.
Kesia-sian pada Malam Hari Raya
Selain mengumandangkan takbir atau takbiran, umat muslim dianjurkan untuk menghidupkan malam-malam hari raya Idul Fitri dengan berbagai bentuk ketaatan kepada Allah. Mulai dari zikir, shalat, tilawah al-Quran, beristigfar, terlebih lagi pada sepertiga malam akhirnya. (Wahbah az-Zuhaili, Fiqhu Islami wa Adillatuhu, 2/1413)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda mengenai hal ini,
مَنْ قَامَ لَيْلَتَيْ الْعِيدَيْنِ مُحْتَسِبًا لِلَّهِ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ
“Barang siapa yang mengerjakan shalat malam pada dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) karena mengharap ridha Allah, maka hatinya tidak akan mati di hari matinya semua hati manusia.” (HR. Ibnu Majah no. 1782)
As-Sindi dalam Hasyiyah-nya (1/542) mengomentari hadits di atas. Ia menjelaskan, tampaknya harus menghidupkan sepanjang malam-malam hari raya dengan ibadah, tetapi diharapkan mengerjakan shalat malam saja sudah cukup. Dan ia menilai bahwa sanad hadits ini lemah.
Namun disayangkan, saat ini muncul fenomena orang lebih tertarik pada hal-hal yang jauh dari ibadah kepada Allah di malam hari raya.
Sebagai contoh, banyak di antara kaum muslimin yang merayakan malam takbiran dengan menyalakan petasan dan kembang api. Bahkan rela mengeluarkan uang lebih banyak hanya untuk membeli dua barang tersebut.
Ada juga sekelompok orang yang menghabiskan malam hari rayanya dengan pergi jalan-jalan tanpa tujuan, dari arah barat ke arah timur dan dari arah utara ke arah selatan.
Padahal dalam hadits, Nabi menjelaskan,
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Di antara bagusnya keislaman seseorang adalah ia meninggalkan apa yang tak berguna (bermanfaat) baginya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976, Ahmad no. 1734, Malik no. 1672)
Hadis tersebut memerintahkan kita kaum muslimin untuk meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Ada juga sekelompok orang yang menghabiskan malam hari rayanya dengan bergadang, membicarakan hal-hal yang tidak penting. Terkadang seiring larutnya malam, pembicaraan yang dibincangkan semakin tak berarah bahkan cenderung dapat menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan dosa.
Tentu hal ini sudah masuk ke dalam kategori yang dibenci oleh Rasulullah. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abi Barzah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ العِشَاءِ وَالحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membenci tidur sebelum shalat Isya dan mengobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 568 dan Ahmad no. 19781)
Orang yang bergadang, menghabiskan malamnya dengan sesuatu yang tidak bermanfaat sering akan berimbas pada aktivitas esok harinya. Terutama bila ini dilakukan oleh seorang muslim yang memiliki ibadah di awal hari yaitu shalat Subuh. Jika seseorang bergadang tanpa ada kebaikan di dalamnya, maka ditakutkan ia akan melewatkan waktu shalat Subuhnya.
Tentang menyalakan kembang api saat malam takbiran Idul Fitri, Komisi Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) DKI Jakarta sampai pernah mengeluarkan fatwa larangannya. Fatwa ini ditandatangani pada 13 Ramadhan 1431 H/23 Agustus 2010, sekaligus menyempurnakan dan menetapkan fatwa tentang Hukum Petasan dan Kembang Api (Fatwa MUI No. 31 Tahun 2000, penyempurnaan fatwa tanggal 24 Ramadhan 1395/30 September 1975).
Di antara pertimbangan syar’i fatwa ini karena perbuatan tersebut bukannya amal yang diajarkan dalam Islam, mengarah kepada sikap mubazir atau membuang-buang harta, serta perbuatan yang kurang bermanfaat dan sia-sia.
Atas dasar itu, muslim yang bijaksana tentu lebih memilih perbuatan-perbuatan yang bernilai kebaikan saat malam Idul fitri dan menjauhi perkara yang sia-sia, apalagi yang berpotensi menjurus kepada perbuatan haram dan maksiat.
Hal mana tidak dipungkiri banyak juga kaum muslim yang terjerumus dalam perbuatan tersebut di malam hari raya.
Salah satu perbuatan baik yang sangat dianjurkan adalah banyak berdoa, yang juga merupakan amalan yang disunahkan saat malam hari raya. (Fiqh Islami wa Adillatuhu, 2/1413)
Lebih dari itu, memohon agar segala amal yang dilakukan selama bulan Ramadhan diterima dan agar segala kesalahan supaya dimaafkan adalah doa yang sangat dianjurkan. (Rusydi Rasyid/dakwah.id)
Penulis: Rusydi Rosyid
Editor: Ahmad Robith
Artikel Refleksi terbaru: