Semua gerak dan perbuatan manusia di alam semesta ini, kata sang ahli jiwa Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, berporos pada dua hal; cinta dan iradah. Sebaliknya, sikap diam dan meninggalkan bersumber dari rasa benci.
Keduanya adalah motif paling kuat dari rasa benci, sebab tidaklah seseorang membenci sesuatu atau seseorang kecuali karena sesuatu atau orang tadi bisa menjadi penghalang dari kesenangan dan keinginannya.
Dan semakin kuat cinta itu dalam hati seseorang, maka akan semakin kuat pula kebenciannya pada hal yang menyelisihi atau menghalanginya.
Mencintai keimanan berarti mencintai segala bentuk amal ketataan kepada Allah, adalah bagian dari iman. Demikian sebaliknya, membenci apa yang dibenci oleh Allah berupa kekufuran, kemaksiatan dan para pelakunya adalah konsekuensi iman. Bahkan ia adalah karunia Allah dan indikasi bahwa Allah memberinya petunjuk.
Allah Ta’la berfirman,
وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ فِيْكُمْ رَسُوْلَ اللّٰهِ ۗ لَوْ يُطِيْعُكُمْ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنَ الْاَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ حَبَّبَ اِلَيْكُمُ الْاِيْمَانَ وَزَيَّنَهٗ فِيْ قُلُوْبِكُمْ وَكَرَّهَ اِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الرَّاشِدُوْنَۙ
“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. Al-Hujurat: 7)
Alangkah beruntung orang yang Allah berikan kepadanya karunia berupa kecintaan kepada kebaikan dan benci kepada keburukan. Sebab, dengan itu berarti ia telah selamat dari tabiat buruk jiwa yang cenderung mengikuti kehendak hawa nafsu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَذَلِكَ الْمُؤْمِنُ
“Siapa yang merasa bahagia dengan kebaikannya dan merasa sedih atas dosanya, maka dia adalah seorang mukmin.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Baca juga: Memperdagangkan Iman demi Mengharap Keuntungan
Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa cinta dan benci karena Allah adalah ikatan iman yang paling kuat.
Beliau bersabda,
“Ikatan iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Al-Baihaqi)
Dalam hadits yang lain Rasulullah menyebutkan bahwa jika cinta dan benci itu dikelola dan diarahkan secara benar, maka akan menjadikan iman seseorang menjadi sempurna.
Rasulullah Shallahu ‘alaihiwasallam bersabda,
“Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan menahan karena Allah, maka imannya telah sempurna.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
Dalam Kitab Aunul Ma’bud dijelaskan, mencitai karena Allah maksudnya mencintai apapun dan siapapun karena Allah, bukan semata karena kencenderungan diri dan hawanya nafsunya, bukan karena pula karena kentingan dirinya.
Membenci karena Allah yaitu membenci apapun dan siapapun adalah karena Allah, bukan karena dzat sesuatu itu memang tidak ia sukai, jika ia membenci manusia maka bukan karena manusianya akan tetapi karena maksiat dan kekafirannya kepada Allah, sehingga kebencian bukan dengan maksud menyakiti orang yang dibenci.
Baca juga: 12 Buah Iman Pemberian Allah Kepada Hamba yang Jujur dalam Beriman
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan pula, iman terdiri dari ilmu dan amal. Sedangkan amal terbagi menjadi dua; pertama, amal hati beruapa cinta dan benci. Kedua, amal anggota badan berupa sikap menahan atau meninggalkan. Jika keempatnya sudah dilakukan oleh seorang hamba karena Allah, maka ia telah menyempurnakan imannya. Sebaliknya jika ia melakukannya karena selain Allah maka keimanannya berkurang sesuai dengan kadar penyimpangannya.”
Jika Hanya Satu Sisi; Cinta atau Benci
Ada sebagian orang yang begitu bersemangat menampilkan dan mendakwahkan Islam sebagai agama rahmatal lil alamin, ajaran yang penuh dengan kasih sayang dan saling mencintai, saling menghargai dan menghormati, memaafkan dan menghargai perbedaan. Akan tetapi ia seolah melupakan bahwa Islam juga mengajarkan untuk membenci, merendahkan kesombongan, melawan kezaliman, dan meluruskan kesesatan dan penyimpangan.
Dikotomi antara dua konsep cinta dan benci, akhirnya melahirkan kerusakan; mencintai tanpa membenci adalah kelemahan, kehinaan dan kerendahan, sebaliknya benci tanpa mencintai akan melahirkan kezaliman, tidakan sewenang-wenang dan kesombongan. Maka keduanya harus berjalan seiring dan seimbang sesuai dengan kadar yang telah ditetapkan oleh syariat.
Baca juga: Jahiliyah Sebagai Sebuah Kondisi dan Sifat, Tidak Terbatas Pada Identitas Zaman dan Waktu
Membenci dan mencitai tentu ada aturan dan kendalinya, agar tetap mendatangkan maslahat bagi kehidupan manusia. Dan orang yang beriman menimbang semua urusannya dengan syariat Allah. Tentang apa yang wajib dicintai dan harus dibenci, tentang bagaimana mencintai dan membenci, tidak diserahkan kepada hawa nafsu manusia. Akan tetapi dikembalikan kepada ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Mencintai yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya; membenci apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, dengan cara yang sesuai dengan syariat-Nya.
Dua Macam Benci
Ditinjau dari sesuatu yang menjadi obyek benci dan cinta, Islam membaginya menjadi dua macam;
Pertama, yang dicintai secara totalitas, tidak boleh ada kebencian sedikitpun. Ini adalah kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Seorang muslim sama sekali tidak boleh membenci Allah dan Rasul-Nya. Sebab membenci keduanya adalah kekafiran yang nyata.
Termasuk dalam kategori membenci Allah dan Rasul-Nya adalah membenci syariat-Nya, menentang dan melawan hukum dan ketetapanNya. Sebab tidaklah seseorang menentang dan melawan syariat Allah melainkan karena keingkarannya.
Baca juga: Ulama Umat yang Diam Terhadap Kesesatan
Kedua, yang dibenci secara totalitas dan tidak boleh dicintai. Mereka adalah orang-orang kafir dan musyrik. Kebencian kepada yang keduanya ini sejatinya adalah merupakan turunan dari yang pertama. Sebab membenci orang-orang kafir dan musyrik adalah konsekuensi dari cinta kepada Allah dan Rasul-Nya; karena bukti cinta adalah membenci apa yang dibenci oleh yang dicintai.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menunjukkan kebencian Allah kepada orang-orang kafir baik dalam ungkapan langsung maupun tidak langsung, berupa celaan, ancaman siksa, kekal di neraka, diharamkan masuk surge, dan semisalnya.
Ketiga, yang dibenci sekaligus dicintai. Kebencian jenis ini adalah kebencian kepada ahli maksiat namun masih tergolong orang beriman. Dicintai karena imannya dan dibenci karena kemasiatannya.
Benci Karena Cinta
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan bahwa kebencian dalam jiwa sewajarnya muncul karena reaksi dari cinta. Ketika seseorang merasa bahwa ada hal yang menghalangi dirinya dengan sesuatu yang dicintainya, atau sesuatu itu adalah perkara yang dibenci oleh kekasihnya, atau bisa menyebabkan kemurkaan dari yang dicintainya, maka ia akan membenci perkara yang bisa mengundang murka tadi.
Demikianlah kebencian orang beriman kepada kekufuran, kesyirikan, maksiat dan segala hal yang berlawanan dengan syariat, sebab semua itu memang dibenci oleh Allah, dan bisa menghalangi dirinya mendapatkan kecintaan Allah.
Demikian pula mencintai sesuatu yang dimurkai oleh Allah akan mengundang kemurkaan Allah. Kebencian orang beriman kepada orang-orang kafir, adalah karena Allah membenci mereka, karena Allah murka kepada mereka, dan Allah membenci orang yang mencintai mereka. Demikian pulalah seharusnya kebencian kepada ahli maksiat yang masih berstatus muslim, adalah benci karena Allah membenci kemaksiatan dan pelakunya.
Itulah yang disebut benci karena cinta. Membenci karena mencintai Allah dan segala hal yang dicintai oleh Allah.
Materi Khutbah Jumat: Jadilah Mujahid Penakluk Hawa Nafsu
Kemampuan membedakan dan menyikapi yang dicintai dan dibenci oleh Allah hanya bisa dicapai dengan kematangan ilmu, pengalaman, dan sikap mengutamakan yang lebih tinggi kedudukannya dan lebih layak dicintai daripada yang lainnya.
Sebaliknya rela menanggung sesuatu yang mungkin tidak disukai oleh nafsu demi terhindar dari keadaan yang lebih buruk hanya bisa dilakukan dengan modal kesabaran, keteguhan jiwa, dan keyakinan.
اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الإِيمَانَ وَزَيِّنْهُ فِى قُلُوبِنَا وَكَرِّهْ إِلَيْنَا الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ وَاجْعَلْنَا مِنَ الرَّاشِدِين
“Yaa Allah, cintakan kepada kami iman dan jadikan ia perhiasan dalam hati kami. Jadikan kami benci kepada kekufuran, kefasikan, dan kemasiatan, serta jadikan kami termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (HR. Ahmad) Wallahu a’lam. [Ibnu Syarqi/dakwah.id]
Ustadz Ibnu Syarqi – Alumnus Ma’had ‘Aly An-Nuur Liddirasat al-Islamiyah wa Tahfidzil Qur’an, Solo, Jawa Tengah. Beliau sekarang aktif sebagai dai di Lembaga Majelis Dakwah Islam Indonesia (MADINA) dan aktif menulis buku-buku ilmu Islam.