Bolehkah Membatalkan Shaum Qadha dengan Sengaja?
Secara muatan hukum, shaum ada yang hukumnya wajib, ada pula yang hukumnya sunnah. Masing-masing memiliki konsekuensi tersendiri berdasarkan hukumnya.
Shaum yang hukumnya sunnah banyak sekali ragamnya. Seperti shaum Senin Kamis, shaum Daud, shaum Syawal, dan sebagainya. Shaum yang hukumnya wajib di antaranya shaum ramadhan dan shaum dalam rangka nadzar.
Jika memiliki udzur syar’i untuk melaksanakan shaum yang hukumnya wajib, maka wajib pula untuk menqadha’nya. Menukar pelaksanaan shaum di hari yang lain. Atau dengan cara lain, membayar fidyah. Berdasarkan firman Allah,
أَيَّامٗا مَّعۡدُودَٰتٖۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin..” (QS. Al-Baqarah: 184)
Materi Khutbah Jumat: Saatnya Menggalang Persatuan Umat
Lalu, bolehkah seseorang yang sedang melaksanakan shaum qadha’ membatalkan shaum qadha’nya dengan sengaja?
Menurut ulama fikih, hukum yang berlaku pada shaum yang hukumnya wajib, maka berlaku juga saat melaksanakan qadha dari shaum tersebut. Tidak diperolehkan membatalkan shaum qadha dengan sengaja, kecuali jika ada udzur yang dibenarkan oleh syariat.
Imam Ibnu Qudamah mengatakan,
“Orang yang sedang melaksanakan ibadah wajib seperti qadha shaum ramadhan, nadzar khusus ataupun mutlak, atau shaum kafarat, tidak dibolehkan baginya untuk keluar dari hukum wajib tersebut. Tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2099)
Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya tentang masalah ini. Beliau menjelaskan,
“Wajib bagi anda untuk menyempurnakan shaum itu. Tidak boleh menyengaja berbuka jika shaum itu hukumnya wajib. Seperti kewajiban qadha’ shaum ramadhan dan shaum nadzar. Hendaknya segera bertaubat jika melakukannya.” (Majmu’ al-Fatawa, Syaikh Ibnu Baaz, 15/355)
Adapun jika shaum tersebut hukumnya sunnah, tidak ada kewajiban untuk menyempurnakannya jika menyengaja untuk membatalkannya. Tidak berlaku pula hukum qadha’.
Artikel Fikih: Doa Qunut Nazilah untuk Saudara Muslim yang Tertindas
Dalilnya, suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
«يَا عَائِشَةُ، هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟» قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ قَالَ: «فَإِنِّي صَائِمٌ» قَالَتْ: فَخَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُهْدِيَتْ لَنَا هَدِيَّةٌ – أَوْ جَاءَنَا زَوْرٌ – قَالَتْ: فَلَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أُهْدِيَتْ لَنَا هَدِيَّةٌ – أَوْ جَاءَنَا زَوْرٌ – وَقَدْ خَبَأْتُ لَكَ شَيْئًا، قَالَ: «مَا هُوَ؟» قُلْتُ: حَيْسٌ، قَالَ: «هَاتِيهِ» فَجِئْتُ بِهِ فَأَكَلَ، ثُمَّ قَالَ: «قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا»
“Wahai ‘Aisyah, Apakah kamu punya makanan?”
Aisyah menjawab, “Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki makanan sedikit pun.”
Lalu Beliau bersabda, “Kalau begitu aku shaum.”
‘Aisyah berkata lagi, “Kemudian Rasulullah keluar. Tak lama kemudian, saya diberi hadiah berupa makanan -atau dengan redaksi seorang tamu mengunjungi kami–.”
Aisyah berkata, “Maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kembali saya pun berkata,’Ya Rasulullah, tadi ada orang datang memberi kita,’”
Beliau bertanya, “Makanan apa itu?”
Aku menjawab, “Kue Hais” (kue terbuat dari kurma, minyak samin dan keju).
Beliau bersabda, “Bawalah kemari.”
Maka kue itu pun aku sajikan untuk beliau, lalu beliau makan, kemudian berkata, “Sungguh dari pagi tadi aku puasa.” (HR. Muslim No. 1154)
Oleh para ulama, hadits di atas menunjukkan atas bolehnya membatalkan shaum yang hukumnya sunnah meskipun tanpa udzur yang dibenarkan syariat. Inilah pendapat yang dipilih oleh madzhab Ahmad, ats-Tsauri, asy-Syafi’I, dan Ishaq. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2097)
Namun, bagi orang yang melaksanakan shaum sunnah lebih utama untuk menyempurnakannya hingga selesai. (Nailul Authar, Imam asy-Syaukani, 4/234) Wallahu a’lam. [Sodiq Fajar/dakwah.id]