Gambar Ngaji Fikih Cara Menata Niat dalam Shalat.jpg

Ngaji Fikih #72: Cara Menata Niat dalam Shalat

Terakhir diperbarui pada · 383 views

Pada serial sebelumnya, dakwah.id telah mengupas Pembatal Shalat yang Dimaafkan. Kali ini, pembahasan serial Ngaji Fikih selanjutnya adalah Cara Menata Niat dalam Shalat.

Untuk membaca serial Ngaji Fikih secara lengkap, silakan klik tautan berikut:

Niat merupakan salah satu inti di dalam ibadah. Sebagian besar ibadah tidak sah kecuali diawali dengan niat. Bahkan, perbuatan yang mubah sekalipun dapat bernilai ibadah jika diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah.

Begitu pun sebaliknya, kegiatan ibadah yang diniatkan untuk kemaksiatan akan membuat ibadah tersebut tidak bernilai, justru pelakunya akan mendapatkan dosanya. Betapa niat merupakan perkara inti dalam setiap aktivitas yang kita lakukan.

Fardhu pertama dalam ibadah shalat adalah niat, dengan begitu niat harus dihadirkan sebelum melakukan fardhu-fardhu shalat yang lain. Tanpa adanya niat, shalat seseorang dinilai tidak sah.

Penting bagi umat Islam mengetahui cara menata niat dalam salat. Niat yang sempurna akan membawa shalat yang sempurna, namun jika sudah diawali dengan niat yang tidak sempurna, atau niat yang keliru, maka shalat pun tidak akan dilaksanakan dengan sempurna.

Materi Khutbah Jumat: 8 Hal yang Perlu Kita Ketahui tentang Ibadah Shalat

Sebelum itu, perlu dipahami bahwa ada tiga jenis shalat yang biasa kita lakukan. Pertama, shalat fardhu. Kedua, shalat nafilah yang dilakukan karena sebab tertentu atau dilakukan pada waktu tertentu. Ketiga, shalat nafilah mutlak, tidak ada sebab dan bebas dilakukan kapan saja.

Cara Menata Niat dalam Shalat

Pertama: Cara menata niat dalam shalat fardhu

Shalat fardhu adalah shalat lima waktu: Zuhur, Asar, Magrib, Isya, dan Subuh.

Termasuk dalam makna shalat fardhu adalah fardhu kifayah. Contohnya, menyalati jenazah; shalat Nazar—shalat yang wajib dilakukan setelah seseorang menazarkannya; dan shalat qadha’ wajib—seseorang tertinggal dari melakukan shalat zuhur misalnya, maka dia mengqadha’ shalat Zuhur wajib tersebut di waktu asar.

Terdapat beberapa syarat yang harus diperhatikan dan dilakukan untuk menata niat dalam shalat fardhu ini, yaitu

(1) Ada niatan untuk melakukannya. Dengan demikian, shalat yang dilakukan mengalir begitu saja tanpa ada niatan hati untuk melakukannya, maka niat shalatnya tidak sempurna.

(2) Menentukan jenisnya. Misalnya shalat yang akan dikerjakan adalah Zuhur, shalat Qadha’ Zuhur, atau shalat Nazar ini dan itu.

Dengan begitu, jika seseorang asal shalat empat rakaat di waktu zuhur tanpa menentukan jenisnya, maka niat shalatnya tidak sempurna.

(3) Berniat akan melakukan shalat fardhu. Yaitu bagi orang yang sudah balig dan tidak wajib bagi anak yang belum balig.

Praktik mudahnya, misalnya ada orang yang akan mendirikan shalat Zuhur, maka niat yang sempurna dalam mazhab Syafi’i adalah dengan mengatakan dalam hati atau lisan, “Saya akan melakukan shalat fardhu Zuhur.”

Kedua: Shalat nafilah yang memiliki sebab atau dilakukan para waktu tertentu

Seperti, shalat Witir, shalat rawatib, shalat Id, shalat Duha, shalat gerhana matahari atau bulan, dan shalat-shalat nafilah yang lain.

Maka ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan kesempurnaan niat, yaitu

(1) Ada niatan untuk melakukannya.

(2) Menentukan jenis shalat apa yang akan dilakukan.

Contohnya, mengucapkan dalam hati atau lisan, “Aku akan melakukan shalat sunah sebelum Zuhur; shalat sunah setelah Zuhur; shalat Duha; shalat sunah Idulfitri; shalat sunah Iduladha,” dan lain sebagainya.

Ketiga: Shalat nafilah mutlak

Shalat nafilah mutlak adalah shalat nafilah yang tidak terikat dengan waktu juga tidak terikat dengan sebab tertentu.

Contohnya, shalat tahiyatul masjid, shalat sunah wudhu, shalat sunah istikharah, shalat sunah thawaf, shalat sunah datang dari perjalanan, shalat hajah, dan lain sebagainya.

Ada satu syarat untuk menyempurnakan niat di dalam shalat nafilah mutlak ini, yaitu wajib berniat untuk melakukannya.

Contohnya, mengucapkan dalam hati atau lisan, “Saya akan shalat tahiyatul masjid, shalat hajat, shalat istikharah,” dan lain sebagainya. Wallahu alam. (Arif Hidayat/dakwah.id)

Disarikan dari kitab: Al-Bayan wa at-Taarif bi Maani wa Masaili wa al-Ahkam al-Mukhtashar al-Lathif, Ahmad Yusuf an-Nishf, hal. 203—204, Dar adh-Dhiya’, cet. 2/2014.

Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.

Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith

Artikel Ngaji Fikih Terbaru:

Topik Terkait

Arif Hidayat

Pemerhati fikih mazhab Syafi'i

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *