Qadha’ atas shalat fardhu yang ditinggalkan wajib dilaksanakan sesegera mungkin secara urutan shalat yang ditinggalkan. Allah berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat memiliki waktu yang telah ditetapkan bagi orang beriman.” (QS. An-Nisaa’: 103)
Suatu ketika Rasulullah disibukkan dengan perang saat melawan orang musyrik di perang Khandaq. Sehingga beliau tertinggal beberapa waktu shalat. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat yang tertinggal tersebut secara urut.
Telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Fadhalah berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Yahya dari Abu Salamah dari Jabir bin ‘Abdullah, bahwa ‘Umar bin Al Khaththab datang pada hari peperangan Khandaq setelah matahari terbenam hingga ia mengumpat orang-orang kafir Quraisy, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku belum melaksanakan shalat Ashar hingga matahari hampir terbenam!” Maka Nabi pun bersabda: “Demi Allah, aku juga belum melakasanakannya.” Kemudian kami berdiri menuju aliran air (sungai), beliau berwudhu dan kami pun ikut berwudhu, kemudian beliau melaksanakan shalat Ashar setelah matahari terbenam, dan setelah itu dilanjutkan dengan shalat Maghrib.” (HR. Al-Bukhari: 561)
Tidak didapati hadits lain yang mengisahkan tentang teladan pelaksanaan shalat yang tertinggal dengan cara berurutan selain hadits di atas. Bahkan, dalam hadits lain Rasulullah justru bersabda,
صَلُّوا كما رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana caraku shalat.”
Aplikasinya, jika tertinggal satu shalat fardhu, shalat Ashar misalnya. Lalu telah masuk waktu shalat berikutnya, Maghrib. Maka, jika waktu Maghrib masih tersisa dan cukup, wajib baginya untuk melaksanakan shalat Ashar lalu setelah itu shalat Maghrib.
Sebab, tartib, atau berurutan dalam mengerjakan shalat yang tertinggal yang sifatnya ringan (hanya tertinggal satu waktu shalat) hukumnya wajib berdasarkan hadits di atas.
Ibnu Rajab al-Hanbali menguaraikan, orang yang tertinggal satu waktu shalat, namun kesempatan untuk melaksanakannya di waktu shalat berikutnya sangat sempit, mayoritas ulama mengarahkan untuk melaksanakan shalat berikutnya di waktu yang tersisa.
Setelah itu baru melaksanakan shalat yang tertinggal di awal tadi. Alasannya, agar shalat yang kedua statusnya tidak menjadi shalat yang tertinggal juga.
Ini adalah pendapat al-Hasan, Ibnul Musayyib, Rabi’ah ats-Tsauri, al-Auza’I, Abu Hanifah, Ahmad dalam pendapat dzahirnya, Ishaq, sekelompok Ulama mazhab Maliki, mereka semua mewajibkan shalat berurutan. Mereka lebih menekankan pada alasan takut kehilangan shalat berikutnya secara tepat waktu. (Fathul Bari, Ibnu Rajab al-Hanbali, 5/124)
Sementara dalam sebuah pernyataannya, Imam Syafi’I rahimahullah tidak mewajibkan tartib/berurutan, hanya sekedar lebih menyukai untuk tartib. Beliau juga pernah mengatakan, “Hendaknya mendahulukan dengan shalat yang berikutnya. Jika tidak, maka dia berdosa.”
Apabila orang yang tertinggal shalat Ashar menjumpai sebuah shalat Maghrib berjamaah, maka hendaknya dia ikut bergabung bersama jamaah elaksanakan shalat Maghrib terlebih dahulu. Setelah itu langsung shalat Ashar.
TAK PERLU MENGULANG SHALAT
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang tertinggal shalat Ashar. Lalu ia mendatangi sebuah masjid. Ternyata di masjid sedang berlangsung shalat Maghrib berjamaah. Apakah laki-laki tersebut harus melaksanakan shalat Ashar yang tertinggal terlebih dahulu atau bagaimana?
Lalu beliau menjawab, hendaknya ia melaksanakan shalat Maghrib bersama Imam terlebih dahulu, setelah itu lalu melaksanakan shalat Ashar yang tertinggal, sebagaimana pendapat yang disepakati oleh para Ulama Fikih.
Lalu, lanjut Syaikh Ibnu Timiyah, apakah setelah itu dia harus mengulang shalat Maghrib? Beliau menjelaskan lebih lanjut, bahwa berkaitan dengan masalah ini terdapat dua pendapat:
Pertama, orang tersebut harus mengulangi shalat Maghrib. Ini pendapat Ibnu Umar, Malik, Abu Hanifah, dan pendapat Masyhur dari Ahmad bin Hanbal.
Kedua, orang tersebut tidak perlu mengulang shalat Maghrib. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Asy-Syafi’I, dan pendapat lain dalam mazhab Ahmad.
Lebih lanjut, Syaikh Ibnu Taimiyah lebih menganggap shahih pendapat yang kedua. Alasan yang beliau kemukakan, Allah tidak pernah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk mengulang shalat dua kali, maka bertakwalah kepada Allah semampunya. (Majmu’ al-Fatawa, Syaikhl Islam Ibnu Taimiyah, 22/106)
SENGAJA MENGAKHIRKAN SHALAT = DOSA BESAR
Point yang peru diperhatikan dalam perkara ini adalah, orang yang suka mengakhirkan shalat dari waktunya tanpa ada udzur syar’i (seperti ketiduran atau lupa) maka dia telah terjatuh dalam dosa besar.
Sebab, melaksanakan shalat tepat waktu adalah ibdah yang hukumnya wajib. Syariat Islam secara tegas melarang kebiasaan mengakhirkan shalat dari waktunya, terutama shalat Ashar. (disadur dari ar.islamway.net) Wallahu a’lam []