Gambar 5 Dosa yang Sering Dilakukan Tanpa Sadar Saat Idul Fitri dakwah.id

5 Dosa yang Sering Dilakukan Tanpa Sadar Saat Idul Fitri

Terakhir diperbarui pada · 408 views

Ada beberapa perbuatan dosa yang sering dilakukan tanpa sadar saat Idul Fitri. Apa saja itu?

Hari Raya Idul Fitri adalah salah satu bentuk syiar agama dan merupakan bagian dari syariat Islam.

Idul Fitri disyariatkan karena secara naluriah manusia bahagia ketika berhasil menyelesaikan sesuatu yang sulit. Setelah sebulan penuh berpuasa, susah payah menahan nafsu, lapar, dan dahaga, Allah berikan Idul Fitri sebagai hadiah agar kaum muslimin berbahagia.

Secara penamaan, Idul Fitri karena berasal dari kata dalam bahasa Arab ‘îd (عيد) yang berarti ‘kembali’ atau ‘berulang’, merujuk pada kebaikan besar yang datang kembali setiap tahun setelah pelaksanaan ibadah dan ketaatan kepada Allah, dan fithri (فطر) dikaitkan dengan berbuka (iftar) setelah menjalani puasa Ramadan.

Di Indonesia, Idul Fitri lebih dikenal dengan sebutan Lebaran. Kata lebaran sendiri aslinya berasal dari bahasa Jawa yang berarti selesai, karena menandakan berakhirnya bulan Ramadan.

Lebaran di Indonesia secara umum identik dengan mudik (pulang kampung untuk Lebaran bersama keluarga besar), silaturahmi kepada sanak kerabat, saling meminta maaf, menghidangkan makanan khas Lebaran, bagi-bagi THR untuk anak-anak, dan lain sebagainya.

Biasanya masing-masing daerah punya ciri khas yang berbeda dalam mengekspresikan kebahagiaan saat Lebaran.

Dianjurkan Menampakkan Kebahagiaan saat Idul Fitri

Hati manusia pada dasarnya cenderung menyukai hal-hal yang menyenangkan, seperti makan, minum, dan berhubungan dengan pasangan.

Ketika hal itu dilarang untuk sementara waktu (ketika Ramadhan), lalu dibolehkan kembali, maka wajar jika hati merasa bahagia. Apalagi jika sebelumnya sudah sangat menginginkannya. Begitulah kiranya kebahagiaan yang dirasakan kaum muslimin saat Idul Fitri.

Berbahagia dan mengekspresikan kebahagiaan saat Idul Fitri adalah sesuatu yang dianjurkan oleh syariat. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Rasulullah riwayat Anas bin Malik.

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا. فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: يَوْمَانِ كُنَّا نَلْعَبُ [فِيْهِمَا] فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيرًا مِنْهُمَا: يَومَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ.

Suatu hari, Rasulullah datang ke Madinah. Ketika itu beliau menyaksikan penduduk Madinah memiliki dua hari khusus untuk bersenang-bersenang.

Hari apakah dua hari ini?” tanya Rasulullah.

“Dua hari yang biasa kami gunakan untuk bermain pada masa Jahiliah.” jawab mereka.

Maka Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri.” (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, dan dinilai shahih sesuai syarat Muslim)

Baca juga: Adab-Adab Mudik Lebaran yang Harus Diperhatikan

Islam membawa perubahan dalam budaya dan tradisi masyarakat dengan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dan bermakna.

Artinya, Islam memberi alternatif yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan fitrah manusia. Islam tidak melarangnya, akan tetapi mengarahkan agar memiliki nilai ibadah dan tidak hanya sekedar kesenangan duniawi semata.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, terkait anjuran untuk menampakkan kebahagiaan saat hari raya,

 التَّوْسِعَةِ عَلَى الْعِيَالِ فِي أَيَّامِ الْأَعْيَادِ بِأَنْوَاعِ مَا يَحْصُلُ لَهُمْ بَسْطُ النَّفْسِ وَتَرْوِيحُ الْبَدَنِ مِنْ كَلَفِ الْعِبَادَةِ وَأَنَّ الْإِعْرَاضَ عَنْ ذَلِكَ أَوْلَى وَفِيهِ أَنَّ إِظْهَارَ السُّرُورِ فِي الْأَعْيَادِ مِنْ شِعَارِ الدِّينِ.

“ … bersenang-senang dengan keluarga pada hari raya dengan berbagai cara yang kiranya dapat menyenangkan hati dan merilekskan tubuh setelah melaksanakan beban ibadah (meskipun tidak melakukan itu lebih utama), dan menampakkan kebahagiaan pada hari raya adalah bagian dari syiar agama.” (Fathul Bari, 2/443)

Bentuk menampakkan kebahagiaan yang dianjurkan Rasul banyak. Antara lain, mandi, memakai pakaian terbaik, bersih, dan wangi.

Kemudian, makan sebelum berangkat, mengajak seluruh anggota keluarga untuk ke mushalla (tempat shalat) untuk bersama-sama menunaikan shalat sunah Idul Fitri, bersilaturahmi, saling mendoakan kebaikan, memperbanyak takbir, dan berbagai dengan fakir miskin.

Dosa-Dosa Saat Idul Fitri

Kebahagiaan di hari raya bukan alasan untuk melakukan sesuatu yang melanggar syari’at dan diharamkan. Jangan sampai puasa yang telah kita jalani menjadi sia-sia hanya karena kita menabrak aturan Allah saat merayakannya.

Berikut ini di antara dosa-dosa saat Idul Fitri yang harus menjadi perhatian untuk dihindari.

Pertama: Meninggalkan Shalat Wajib

Perbuatan dosa saat Idul Fitri pertama adalah meninggalkan shalat wajib.

Sibuk berlebaran ke sana sini, mengunjungi sanak saudara dan kerabat, berdesakan di jalan, mengantre panjang di rumah saudara, asyik berbincang dan menikmati hidangan Lebaran hingga tanpa sadar waktu shalat berlalu begitu saja.

Shalat Zuhur terlewat karena perjalanan, shalat Asar tertunda oleh obrolan panjang, bahkan shalat Magrib dan Isya pun nyaris terlupakan karena kelelahan.

Esensi dari Idul Fitri bukan sekadar merayakannya dengan berkumpul dan berbagi hidangan, tetapi juga mempertahankan kedisiplinan ibadah yang telah dilatih selama Ramadhan.

Puasa mengajarkan kesabaran, menahan hawa nafsu, dan mendekatkan diri kepada Allah. Jika setelahnya kembali lalai dalam shalat, bukankah itu seperti meruntuhkan bangunan yang telah susah payah dibangun?

Silaturahmi memang sunah yang dianjurkan, tetapi shalat adalah kewajiban yang tak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ.

Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan syirik dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim No. 82)

Terkait hukum meninggalkan shalat, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata,

لَا يَخْتَلِفُ ٱلْمُسْلِمُونَ أَنَّ تَرْكَ ٱلصَّلَاةِ ٱلْمَفْرُوضَةِ عَمْدًا مِنْ أَعْظَمِ ٱلذُّنُوبِ، وَأَكْبَرِ ٱلْكَبَائِرِ، وَأَنَّ إِثْمَهُ أَعْظَمُ مِنْ إِثْمِ قَتْلِ ٱلنَّفْسِ، وَأَخْذِ ٱلْأَمْوَالِ، وَمِنْ إِثْمِ ٱلزِّنَا، وَٱلسَّرِقَةِ، وَشُرْبِ ٱلْخَمْرِ. وَأَنَّهُ مُتَعَرِّضٌ لِعُقُوبَةِ ٱللَّهِ وَسَخَطِهِ، وَخِزْيِهِ فِي ٱلدُّنْيَا وَٱلْآخِرَةِ.

“Kaum muslimin tidak berselisih bahwa sengaja meninggalkan shalat fardhu adalah salah satu dosa terbesar dan termasuk di antara dosa-dosa besar. Dosanya lebih besar daripada dosa membunuh jiwa, merampas harta, serta lebih besar dari dosa zina, mencuri, dan meminum khamar. Orang yang meninggalkannya terancam mendapatkan azab, kemurkaan, serta kehinaan dari Allah di dunia dan akhirat.” (Kitab as-Shalah, hlm. 5)

Kedua: Berlebihan dalam Makan dan Minum

Saat Idul Fitri tiba, suasana penuh dengan kebahagiaan dan kehangatan keluarga. Meja makan dipenuhi dengan berbagai hidangan lezat. Setelah sebulan puasa, wajar kalau kita ingin menikmati semuanya.

Keinginan untuk mencicipi semua hidangan bisa membuat makan kita berlebihan dari biasanya. Dari satu rumah ke rumah lain, terus menyantap makanan, bukan karena lapar, tetapi karena tergoda oleh kenikmatan yang ada di depan mata.

Allah subhanahu wataala melarang sikap berlebihan dalam makan dan minum,

 وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)

Berlebihan yang dimaksud adalah mengonsumsi makan dan minum di atas kadar kelaziman orang kenyang, yaitu sekira ketika telah sampai pada kadar tersebut orang-orang secara umum akan berhenti makan dan minum.

Disebutkan dalam Hasyiyah Ianah ath-Thalibinm (3/367):

أَيِ ٱلْمُتَعَارَفُ لَا ٱلْمَطْلُوبُ شَرْعًا، وَهُوَ أَكْلُ نَحْوِ ثُلُثِ ٱلْبَطْنِ

“Maksud dari kenyang adalah kenyang yang lumrah (dilakukan umumnya orang) bukan kenyang yang dianjurkan syara` yakni makan sekitar sepertiga isi perut.”

Oleh sebab itu, Rasulullah menganjurkan setelah ber-Idul Fitri untuk melakukan puasa pada bulan Syawal. Tujuannya selain menambah pahala, juga sebagai bentuk pengendalian diri agar tidak kebablasan dalam makan dan minum.

Ketiga: Pamer dan Berlomba dalam Kemewahan

Fakta yang terjadi di masyarakat kita, nyaris di semua kalangan, momen Lebaran kadang lebih sering jadi ajang “fashion show” dadakan. Dari ujung kepala sampai kaki, semua serba baru. Baju, sepatu, aksesori, bahkan kendaraannya pun baru.

Budaya “harus baru” saat Lebaran sering kali lebih dominan. Bahkan ada yang sampai rela berutang demi membeli baju mahal, hanya agar terlihat keren di hadapan keluarga dan tetangga.

Padahal, Islam tidak pernah mewajibkan baju baru untuk merayakan Idul Fitri. Yang dianjurkan adalah memakai pakaian terbaik yang sudah dimiliki, bukan memaksakan sesuatu di luar kemampuan.

Jika ditinjau dalam perspektif syariat, hal itu bisa masuk ke kategori berlebihan (israf; sikap jiwa yang terlalu memperturutkan hawa nafsu), dan hukumnya bisa menjadi dosa.

Imam as- Sa’di ketika menafsirkan Surat al-A’raf ayat 31 berkata, “Berlebihan (isrāf) bisa berupa melebihi kadar yang cukup dan bersikap rakus dalam makanan yang dapat merusak tubuh, berlebihan dalam kemewahan dan terlalu memilih-milih makanan, minuman, serta pakaian, dan melewati batas halal menuju yang haram.” (Taisir Karim ar-Rahman fi Tafsiri Kalam al-Mannan, 1/287)

Baca juga: 3 Amalan Sunnah di Hari Raya Idul Fitri

Hari raya sejatinya bukan tentang pakaian baru. Tetapi, semangat beribadah yang baru dan ketaatan serta rasa syukur kepada Allah yang semakin bertambah.

Ibnu Rajab al-Hambali dalam Lathaif al-Maarif (hlm. 277) berkata,

لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ، إِنَّمَا الْعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْدُ، لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللِبَاسِ وَالرُكُوْبِ، إِنَّمَا الْعِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُنُوْبُ

“Hari raya itu bukan milik orang yang berpakaian baru, tetapi hari raya itu milik orang yang ketaatannya bertambah. Hari raya itu bukan milik orang yang berhias dengan pakaian yang indah dan kendaraannya mewah, tetapi hari raya itu adalah milik orang yang telah diampunkan baginya dosa-dosanya.”

Bagi wanita hendaknya menghindari sikap tabarruj, yaitu berpakaian secara berlebihan dengan tujuan menarik perhatian orang yang bukan mahram. Termasuk memakai pakaian ketat, transparan, atau mencolok, serta berdandan secara berlebihan di hadapan publik.

Perbuatan tabarruj ini jelas dilarang dalam Islam. Allah berfirman,

وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهُ

Janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Keempat: Tidak Menjaga Lisan

Lebaran itu momen langka. Keluarga besar bisa berkumpul setelah sekian lama berpisah sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Tapi justru karena jarang ketemu, obrolan sering kali jadi lepas kendali. Mulai dari nostalgia, gosip, sampai bahas kehidupan orang lain tanpa filter.

Kadang niatnya cuma bercanda, tapi ujung-ujungnya malah nyelekit. Ada yang tersinggung, ada yang diam-diam sakit hati. Belum lagi kalau pembicaraan merembet ke ghibah atau buka aib orang, semua dibahas tuntas tanpa pikir panjang.

Pahamilah, tidak semua orang suka urusan privasinya menjadi konsumsi umum.

Jauh-jauh hari Rasulullah sudah mewanti-wanti,

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَــقُلْ خَــــيْرًا أَوْ لِيَـصـــمُــتْ

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Karenanya, sebelum ngobrol panjang lebar saat Lebaran, ada baiknya cek dulu, ini sekadar obrolan seru atau malah bikin dosa? Kalau karena obrolan saat Lebaran saudara muslim kita sakit hati, tentu kita berdosa.

Kelima: Bersalaman dengan yang Bukan Mahram

Tradisi salaman saat Lebaran sudah menjadi hal yang lumrah. Begitu bertemu keluarga besar atau tetangga, refleks tangan langsung terulur. Masalahnya, sering kali tanpa sadar kita bersalaman dengan yang bukan mahram, entah sepupu jauh, ipar, atau sekadar kenalan saja.

Banyak yang menganggap ini hanya formalitas atau sekadar sopan santun. Ada juga yang merasa sungkan menolak, takut dianggap sombong atau tidak menghormati orang yang lebih tua. Padahal, dalam Islam, bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram itu jelas dilarang.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

لِأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ

Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabrani)

Memang sulit menghindari, apalagi kalau lingkungan sekitar belum paham. Tapi bukan berarti kita harus ikut arus. Bisa dengan cara halus, misalnya cukup dengan menangkupkan tangan di dada sambil tersenyum, atau memberi penjelasan dengan santun jika situasi memungkinkan.

Lebaran bukan berarti bebas aturan. Justru setelah sebulan dilatih menahan diri, saatnya kita lebih peka dalam menjaga batasan yang Allah tetapkan.

Demikian artikel tentang perbuatan-perbuatan dosa yang sering dilakukan saat Idul Fitri. Mari kita hindari perbuatan-perbuatan tersebut di hari raya ini. Wallahu a’lam. (Ashabul Yamin/dakwah.id)

Baca juga artikel Adab atau artikel menarik lainnya karya Ashabul Yamin.

Penulis: Ashabul Yamin

Topik Terkait

Discover more from Dakwah.ID

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading