Sebelum datangnya risalah Islam, bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang suka berbangga-bangga dengan kabilahnya. Semangat membangun loyalitas terlihat di masing-masing kabilah. Rasa untuk saling menolong, saling menyayangi dan saling membela mereka bangun tidak lebih karena garis kesukuan. Seolah-olah mereka memang tidak mengenal loyalitas yang lebih tinggi di atas kesetiaan terhadap suku.
Dalam tatanan hidup bangsa Arab, kabilah merupakan ikatan sosial, politik, budaya, bahkan dalam taraf tertentu mirip seperti negara. Dalam kabilah ada ketaatan dan perdamaian, mereka hanya membatasi itu pada kabilah saja. Sehingga, hak untuk mendapatkan pertolongan dan pembelaan hanya terikat dengan kabilahnya masing-masing atau dengan kabilah yang memiliki ikatan perjanjian. Maka tak aneh, jika banyak lembaran sejarah yang mencatat permusuhan dan peperangan antar suku kerap terjadi ketika itu.
Di tengah tradisi fanatisme golongan dan kesukuan yang sudah membudaya, Islam datang menawarkan konsep ukhuwah yang mempersatukan semua kalangan. Tidak membedakan antara satu kabilah dengan kabilah yang lain. Siapa yang menjadi Muslim maka ia saudara bagi Muslim lainnya. Walaupun berbeda suku, bangsa, bahasa, dan negara. Tidak ada keutamaan seorang Arab atas non-Arab, tidak pula orang berkulit putih atas kulit hitam, semuanya sederajat dan yang membedakan hanya ketakwaan semata.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.” (QS. Al-Hujurat: 10)
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam As-Sa’di menjelaskan, “Ini merupakan ikatan yang Allah ikatkan di antara orang-orang mukmin. Bahwasanya seorang Muslim jika mendapati seseorang, siapa pun dia dan di mana pun dia (baik di timur maupun di barat), beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan Para Rasul-Nya, serta meyakini tentang hari akhir maka dia adalah saudaranya. Persaudaraan ini wajib dijaga oleh setiap Mukmin, ia wajib mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, serta benci terhadap sesuatu yang menimpa saudaranya sebagaimana ia benci jika hal itu menimpa dirinya.” (Tafsir As-Sa’di, 8/1692)
Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki, saling menipu, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi! Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya…” (HR. Muslim)
Racun Ukhuwah itu Bernama Fanatisme Golongan
Dalam Islam, semangat membela atau menolong karena spirit golongan atau kesukuan biasa disebut dengan Ashabiyah. Secara bahasa, Ashabiyah adalah kata yang mengandung arti saling menjaga dan melindungi. Ibnu Mandzur dalam kitab Lisanul Arab ia berkata, makna Fanatisme Golongan adalah:
يدعو الرجل إلى نصرة عصبته والتألب معهم على من يناوئهم ظالمين كانوا أو مظلومين
“Ajakan seseorang untuk membela keluarga/kelompok dari siapa pun yang menyerang mereka. Tanpa peduli keluarganya melakukan kezaliman atau menjadi pihak yang terzalimi. (Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab, I/606)
Sementara itu, secara langsung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah menjelaskan makna Ashabiyah. Sebuah riwayat dari Putri Watsilah bin Al-Asqa’, ia mendengar Ayahnya berkata, “Aku berkata, wahai Rasulullah, apa itu Ashabiyah?” Rasul menjawab:
أَنْ تُعِينَ قَوْمَكَ عَلَى الظُّلْمِ
“Engkau menolong kaummu dalam atas kezaliman yang dilakukan.” (HR. Abu Dawud)
Dari penjelasan di atas, kita menangkap bahwa poin dari Ashabiyah adalah fanatisme golongan yang membabi buta terhadap kabilah, suku kelompok, maupun bangsa. Meletakkan fanatisme suku dan bangsa di atas agama. Sehingga batasan agama yang seharusnya menjadi parameter dalam setiap urusan dikesampingkan karena alasan solidaritas kesukuan.
Jika dikaji lebih mendalam, kita akan mendapati bahwa Fanatisme Golongan ini merupakan semangat persatuan yang dibangun atas dasar kesamaan suku dan bangsa. Paham ini meletakkan kesetiaan tertinggi individu hanya kepada suku dan bangsa dengan maksud agar individu memiliki sikap mental atau perbuatan untuk mewujudkan kemajuan, kehormatan, kesejahteraan bersama.
Fanatisme Golongan pada zaman Jahiliyah telah merubah pikiran manusia untuk mengutamakan kepentingan suku, kabilah, dan bangsa di atas kepentingan yang lain melebihi kepentingan agama sekalipun. Paham ini berbahaya bagi Islam karena bisa menyebabkan terkotak-kotaknya persaudaraan kaum Muslimin. Semangat kebersamaan sebagai satu umat yang diikat dengan tali iman menjadi pudar ketika Fanatisme Golongan menghinggapi pemikiran kaum Muslimin.
Baca Juga: Trend Mengikuti Tradisi Non Muslim: Pintu Kehancuran Generasi Islam
Loyalitas sesama mukmin pun menjadi kabur dan semakin tidak jelas. Sebab, egoisme suku dan bangsa menjadi kepentingan tertinggi di atas segala-galanya. Hak untuk mendapatkan pembelaan sesama Muslim menjadi terhalang karena perbedaan suku dan bangsa. Penderitaan umat yang berada di luar suku dan bangsa terkadang luput dari perhatian karena tidak sejalan dengan arah politik suku dan bangsa.
Demikianlah sejatinya fanatisme suku dan bangsa bisa mencacati persaudaraan Islam. Bak duri di dalam daging, api di dalam sekam yang menggerogoti Ukhuwah Islamiyah.
Pada taraf ekstrem, Fanatisme Golongan, fanatisme kesukuan, dan fanatisme kebangsaan bisa menjadi ancaman stabilitas keamanan. Sebut saja Adolf Hitler, jejak perang dan pembantaian yang dia lakukan didasarkan kepada fanatisme etnis dan bangsa.
Contoh modern adalah kekejaman Israel terhadap kaum Muslimin Palestina yang berlangsung puluhan tahun. Hal yang mendasari agresi, perampasan hak, pengusiran, dan bombardir terhadap rakyat Palestina adalah dampak dari fanatisme warga Yahudi terhadap etnis mereka.
Sikap Tegas Nabi Terhadap Fanatisme Golongan
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berhasil menghapus fanatisme golongan dan kesukuan. Maka seluruh kaum Muslimin hidup dalam satu persaudaraan. Persaudaraan yang dibangun atas ikatan iman. Tidak ada sekat yang memisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Namun dalam perjalanannya, semangat persaudaraan ini terkadang redup jika tidak ada pengawalan yang baik dari Nabi shallalallahu ‘alaihi wasallam. Beberapa kali gesekan antar kabilah muncul. Terutama ketika ada pihak lain yang sengaja memprovokasi dengan mengangkat kembali permusuhan antar suku yang pernah mereka alami. Gesekan ini bisa dianggap wajar pada saat itu. Sebab, budaya fanatisme kesukuan sudah mereka warisi secara turun temurun.
Sebuah riwayat mengisahkan, ketika persaudaraan kaum Muslimin di kota Madinah semakin kuat. Kaum Yahudi pun terus membuat makar. Suatu ketika salah seorang tokoh Yahudi ingin merusak hubungan baik yang terbangun antara suku Khazraj dan aus. Ia membuat makar dengan mengirim seorang penyair agar membacakan syair-syair Arab Jahiliyah yang biasa mereka pakai dalam perang Bu’ats.
Perang Bu’ats adalah perang yang terjadi antara kaum Aus dan Khazraj sebelum datangnya risalah Islam. Penyair tadi berhasil mempengaruhi jiwa sekumpulan kaum Anshar dari kalangan Aus dan Khazraj hingga mengantarkan mereka kepada kebanggaan dan kepahlawanan masing-masing di masa Jahiliyah. Perasaan kebangsaan tersebut memuncak hingga mereka lupa dengan ikatan persaudaraannya. Masing-masing pihak menyerukan semboyan-semboyannya, lalu mempersiapkan senjatanya masing-masing dan mengadakan tantangan kepada lawannya di tempat yang terbuka pada hari tertentu.
Dalam situasi kritis itulah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam datang bersama pasukan kaum Muslimin untuk melerai mereka. Rasulullah bersabda:
يا معشر المسلمين، اللهَ الله، أبدعوى الجاهلية، وأنا بين أظهركم؟ أبعد أن هداكم الله إلى الإسلام، وأكرمكم به، وقطع به عنكم دعوى الجاهلية ، واستنقذكم به من الكفر، وألف به بينكم، ترجعون إلى ما كنتم عليه كفارا، فعرف القوم أنها نزغة من الشيطان، وكيد من عدو لهم، وبكوا، وعانق الرجال بعضهم بعضا، ثم انصرفوا مع رسول الله سامعين مطيعين
“Wahai kaum Muslimin, apakah karena seruan Jahiliyah ini (kalian hendak berperang) padahal aku ada di tengah-tengah kalian? Setelah Allah memberikan hidayah Islam kepada kalian. Dan dengan Islam itu Allah muliakan kalian dan dengan Islam Allah putuskan urusan kalian pada masa jahiliyyah. Dan dengan Islam itu Allah selamatkan kalian dari kekufuran. Dan dengan Islam itu Allah satukan hati-hati kalian. Dan kalian kembali lagi kepada kekufuran kalian. Maka kaum Anshar itu segera menyadari bahwa perpecahan mereka itu adalah dari syaithan dan tipuan kaum kafir sehingga mereka menangis dan berpelukan satu sama lain. Lalu mereka berpaling kepada Rasulullah dengan senantiasa mendengar dan taat.” (Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, 1/555).
Baca Juga: Nikah Gagal Gara-Gara Kesandung Weton, Aduh.. Kasihan
Dalam riyawat lain, rasul menyebut sikap Fanatisme Golongan ini dengan sesuatu yang sangat hina dan buruk. Dari Jabir radhaiyahu ‘anhu ia bercerita,”Kami pernah berperang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu orang-orang dari kaum Muhajirin sudah bergabung dan jumlah mereka semakin banyak.”
“Di antara Kaum Muhajirin itu ada seorang laki-laki yang pandai memainkan senjata lalu dia memukul pantat seorang sahabat Anshar sehingga menjadikan orang Anshar ini sangat marah, lalu dia berseru seraya berkata, ‘Wahai Kaum Anshar’. Laki-laki Muhajirin tadi menimpali dan berseru pula, ‘Wahai Kaum Muhajirin’.”
“Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda, ‘Mengapa seruan-seruan kaum Jahiliyah masih saja terus dipertahankan?’ Kemudian beliau bertanya, ‘Apa yang terjadi dengan mereka?’ Lalu beliau diberitahu bahwa ada seorang sahabat Muhajirin yang memukul pantat seorang sahabat Anshar. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tinggalkanlah seruan itu karena hal semacam itu tercela (buruk)’.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Demikian pengawalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para sahabatnya ketika di antara mereka masih terbawa-bawa dengan karakter kesukuannya. Ketika nama-nama tersebut membangkitkan fanatisme golongan dan kesukuan, beliau memberikan peringatan dengan peringatan yang cukup keras,
دَعُوهَا فَإِنَّهَا خَبِيثَةٌ
“Tinggalkanlah seruan itu karena hal semacam itu tercela (buruk).”
Lebih tegas lagi beliau juga bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
“Bukan termasuk umatku orang yang mengajak pada Ashabiyah (Fanatisme Golongan), dan bukan termasuk umatku orang yang berperang atas dasar Ashabiyah (Fanatisme Golongan), dan bukan termasuk umatku orang yang mati atas dasar Ashabiyah (Fanatisme Golongan).” (HR. Abu Dawud).
Dalam redaksi lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi bersabda:
وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبِيَّةِ أَوْ يُقَاتِلُ لِلْعَصَبِيَّةِ أَوْ يَدْعُو إِلَى الْعَصَبِيَّةِ فَقِتْلَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ
“Siapa saja yang terbunuh di bawah panji kesukuan, dia marah karena Ashabiyah, atau berperang untuk Ashabiyah atau menyerukan Ashabiyah, maka dia mati Jahiliyah.” (HR. Ahmad)
Cinta Tanah Kelahiran Tanpa Fanatisme Golongan
Hubbul wathan atau mencintai tanah kelahiran adalah hal yang manusiawi. Namun kecintaan terhadap tanah air tidak boleh meruntuhkan prinsip-prinsip Islam yang tertanam dalam jiwanya. Maknanya, ketika negara yang ditempati tidak menghalanginya untuk menerapkan syariat Islam, maka mencintainya termasuk bagian dari meraih ridha Allah. Sebaliknya, ketika negara yang ditempati tidak bisa menjadikannya sebagai Muslim yang kaffah (menegakkan syariat dengan utuh) atau justru menyebabkan dirinya dekat dengan kekufuran maka berhijrah meninggalkan negara tersebut sebuah tuntuntan untuk meraih cintanya Allah.
Baca Juga: Empat Penyebab Utama Su’ul Khatimah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri adalah sosok teladan dalam hal ini. Beliau sangat mencintai tempat kelahirannya, Makkah. Bahkan ketika diperintahkan untuk berhijrah dan terpaksa harus meninggal Makkah, beliau bersabda:
ما أطيبكِ من بلد، وأحبَّكِ إليَّ، ولولا أن قومي أخرجوني منكِ ما سكنتُ غيركِ
“Wahai Makkah, tidak ada negeri yang lebih baik dan lebih kucintai dari pada engkau. Andai kaumku tidak mengusirku darimu, aku tidak akan pernah tinggal di negeri lain.” (HR. At Tirmidzi)
Iya, beliau mencintai Makkah. Namun ketika potensi dakwahnya redup dan ajaran Islam tidak bisa berkembang, maka beliau memilih untuk meninggalkan Makkah. Beliau hijrah ke Madinah dan di sanalah beliau berhasil membangun dakwah. Kecintaan beliau pun terhadap kota Makkah diruntuhkan demi Islam. Walaupun bukan tempat kelahirannya, namun beliau selalu berusaha untuk mencintai Madinah. Maka di awal-awal beliau tiba di kota Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berdoa:
اللهم حبب إلينا المدينة كحبنا مكة أو أشد
“Ya Allah, berikanlah kami rasa cinta terhadap Madinah sebagaimana kami mencintai Makkah, atau bahkan cinta yang lebih besar dari itu.” (HR. Bukhari)
Demikianlah hakikat cinta terhadap tanah kelahiran. Cintanya tidak boleh melampaui kecintaan kepada Sang Pencipta. Sebab prinsip seorang Muslim, keridhaan Allah adalah di atas segala-galanya. Sementara dunia tidak lain hanyalah perantara semata. Jauhnya tempat tinggal dengan tanah kelahiran bukan sebuah masalah, Tapi yang menjadi masalah adalah ketika hidup tidak bisa meraih kecintaan dari Sang Kuasa. (Fakhru/dakwah.id)