Islam bukan sekedar keyakinan atau agama. Islam adalah suatu peradaban yang bersumber dari Allah Ta’ala. Di antara cakupan peradaban adalah ilmu. Islam dalam hal ini memiliki khazanah keilmuan yang sangat banyak. Ilmu-ilmu ini juga senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Salah satu unsur penting dalam Islam yang sarat akan khazanah keilmuan adalah fikih Islam.
Secara historis, fikih Islam tidak serta merta berwujud seperti apa yang kita dapati saat ini. Fikih mengalami perkembangan dari masa ke masa seiring dengan perkembangan kehidupan umat islam. Perlu kiranya sebagai seorang muslim kita mengetahui bagaimana perjalanan fikih sebagai salah satu fondasi kehidupan muslim dalam menjalankan syariatnya.
Sumber Hukum Islam dalam kajian Fikih Islam
Fikih Islam bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan Al-Quran dan menerangkan maksud-maksudnya. As-Sunnah meliputi ucapan, perbuatan, dan persetujuan beliau atas ucapan atau perbuatan sahabat.
Awal mula diturunkannya al-Quran merupakan sebuah respon terhadap suatu masyarakat saat itu yang kemudian dalam perkembangannya menjadi luas. Seiring dengan lajunya perkembangan Islam ke berbagai penjuru, maka muncullah persoalan-persoalan baru yang saat itu terjadi pada masa Rasulullah. Padahal al-Quran sendiri hanya memuat sebagian hukum terinci, sementara sunnah hanya sebatas pada persoalan-persoalan yang berkembang pada masa Rasulullah. Maka dari itu dalam menyelesaikan persoalan baru dibutuhkan sumber lain yang mampu menjawab persoalan yang ada, berupa ijtihad atau pendapat para fuqaha.
Baca juga: Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Urgensi, Dalil, Fleksibilitas Hukum, dan Konsep Dasar Praktik Penerapannya
Oleh karena itu, selain dari al-Quran dan as-Sunnah, fikih Islam juga diambil dari pendapat para fuqaha. Pendapat-pendapat itu meskipun bersandar kepada al-Quran dan as-Sunnah, namun merupakan hasil ijtihad yang telah terpengaruh oleh pengaruh yang berbeda-beda, sesuai dengan zaman dan kebiasaan di mana para ulama tinggal. Maka tidak heran jika kita mendapati adanya perbedaan pendapat di antara para ulama dalam satu persoalan tertentu.
Perkembangan Fikih Islam
Tatkala zaman meniscayakan adanya perubahan, maka fikih pun tidak bisa menolaknya. Terlebih lagi dengan karakter dasar fikih yang elastis, dinamis, dan fleksibel, akan senantiasa menjadikan fikih itu berkembang seiring dengan berkembangnya pola kehidupan manusia.
Hal ini tidak akan terlepas dari makna fikih itu sendiri, yaitu sekumpulan syariat atau aturan yang diambil dari sumber-sumbernya untuk kemudian diwujudkan secara kongkret dalam kehidupan nyata manusia.
Fikih kadang kala dipahami secara sempit, seolah-olah hanya mengatur hubungan manusia dengan Rabb-nya (ibadah) saja. Padahal fikih Islam merupakan sekumpulan syariat (aturan-aturan) agama yang komplit dan sempurna.
Syariat Islam mencakup setiap dimensi kehidupan manusia, dalam kehidupan pribadinya, kehidupan keluarga bahkan masyarakat dan negara.
Sebagaimana definisi fikih Islam menurut Musthafa Zarqa, yaitu sekumpulan hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis dalam Islam. Kemudian lebih lanjut beliau utarakan bahwa hukum-hukum yang dimaksud selain mencakup ibadah seperti shalat, shiyam, dan sebagainya, ia juga mencakup hukum kekeluargaan (ahwal syakhsiyah), hukum terkait dengan dengan muamalah, hukum kenegaraan (siyasah syar’iyah), peradilan, dan juga adab.
Begitu luasnya cakupan fikih Islam ini, maka banyak di antara ulama yang melakukan eksplorasi (ijtihad) yang begitu mendalam. Mereka juga menerangkan adanya perbedaan yang prinsipil antara aturan hidup (syariat) Islam dengan syariat agama yang lain serta undang-undang positif buatan manusia.
Baca juga: Fenomena Perbedaan Fatwa di Kalangan Para Ulama Fikih
Di antara perbedaan tersebut adalah bahwa syariat Islam bersifat samawi, artinya pembentukan syariat Islam tidak lepas dari Allah ‘azza wajalla. Namun keadaan dan problematika di sekitarnya juga memiliki peran tersendiri.
Di sisi lain, syariat Islam juga mempunyai suatu keistimewaan, yaitu ia disyariatkan secara universal kepada seluruh manusia pada setiap zaman dan tempat. Hal ini tidak dimiliki oleh oleh syariat agama lain, atau syariat sebelum Islam, walaupun pada dasarnya sumbernya sama, yakni Allah ‘azza wajalla.
Dalam sebuah ayat disebutkan,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’ (34): 28).
Dari teks ayat ini, dengan jelas tampak universalitas syariat Islam yang tidak dimiliki oleh syariat agama lain atau syariat sebelum Islam, terlebih perundangan-perundangan yang dibuat oleh manusia.
Perlu diketahui juga, bahwa fikih Islam tidak lahir sebagai produk instan yang langsung jadi begitu saja, namun ia melewati masa dan periodik yang cukup lama.
Syaikh Manna’ Qaththan menyatakan bahwa periode-periode pembentukan fikih ini saling berkaitan. Sehingga mempelajari sejarah pembentukan fikih tersebut memiliki manfaat dan urgensi yang sangat besar.
Karena dengan sejarah tersebut kita dapat melihat contoh-contoh kehidupan, yang dengannya ia bisa memahami syariat dan berbuat untuk kebaikan dunia dan akhirat. Di samping memberikan gambaran tentang pembentukan syariat islam, kita juga dapat mengetahui hal-hal yang mendukung pertumbuhannya dan penghambat-penghambatnya.
Baca juga: 5 Langkah Rasulullah dalam Membangun Masyarakat Islam di Madinah
Secara umum, pertumbuhan dan perkembangan fikih sepanjang sejarah hukum Islam oleh Mustafa Zarqa dibagi dalam beberapa periode.
Pertama, periode risalah, yaitu semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, periode al-Khulafa’ ar-Rasyidun (empat khalifah besar/utama) sampai pertengahan abad pertama hijriyah.
Ketiga, dari pertengahan abad pertama hijriyah sampai permulaan abad kedua hijriyah.
Keempat, dari awal abad kedua sampai pertengahan abad keempat hijriyah.
Kelima, dari pertengahan abad keempat sampai jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad ketujuh hijriyah.
Keenam, dari pertengahan abad ketujuh sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah (Kodifikasi Hukum Perdata Islam) di zaman Turki Utsmani (kerajaan Ottoman) yang diundangkan tanggal 26 Sya’ban 1293.
Dan terakhir ketujuh, sejak munculnya Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah sampai pada zaman modern.
Tantangan Fikih Islam
Manna’ Qaththan menjelaskan bahwa dalam sejarahnya, Islam mendapatkan serangan dari berbagai pemikiran atau juga disebut dengan ghazwul fikri. Serangan-serangan tersebut dimaksudkan untuk memberikan keraguan dan kerancuan dalam memahami Islam serta menyelewengkan dari kebenaran, baik pada masa dahulu ataupun sekarang.
Pada masa dahulu, serangan yang ada berasal dari filsafat Yunani dan Persia. Keduanya berusaha memasukkan sesuatu yang baru dalam syariat Islam, dengan mengelabui lewat permainan akal dan adu argumentasi.
Mereka berupaya memadukan antara dien dengan filsafat lewat ilmu kalam, dengan memasukkan unsur-unsur asing ke dalam Islam dengan harapan syariat Islam tidak lagi murni.
Akan tetapi, dengan izin Allah ‘azza wajalla, kejernihan akidah Islam dan usaha yang ikhlas dari para ulama dapat menggagalkan semuanya.
Hari ini, syariat Islam mendapatkan perlawanan dari yang lainnya, baik dari dalam yaitu orang-orang munafik, atau dari luar, yaitu orang-orang kafir. Baik dari barat maupun dari komunis internasional. Mereka memberikan keraguan kepada kaum muslim akan keontetikan syariat Islam. Mereka juga memberikan pemahaman kepada umat Islam bahwa syariat Islam telah usang dan tidak sesuai dengan zaman sekarang.
Oleh karena itu, mengingat posisi fikih Islam sebagai perwujudan kehidupan umat secara praktis dan mencakup kehidupan sosial masyarakat, tentu menjaga dan melindunginya dari serangan-serangan di atas tidak boleh dilalaikan. Di antara upayanya adalah mengembalikan syariat kepada sumber asalnya dengan mempelajari usaha-usaha pendahulu kita dalam membentuk dan mempertahankan syariat Islam. []
Penulis: Ust. Mukhlas
Sumber: Majalah Fikih Islam Hujjah https://www.hujjah.net/
Dipublikasikan ulang oleh www.dakwah.id
Referensi:
Manna’ Qaththan, Tarikh Tasyri’ Al-Islamy, (Riyadh: Maktabah Al Ma’arif, Cet-2, 1417 H, 1996 M)
Musthafa Ahmad Zarqa, Al-Madkhal Al-Fiqhiy Al-‘Aam, (Damaskus: Darul Qalam, Cet-1, 1418 H, 1998 M)