Gambar Haruskah Istinja Setelah Kentut dakwah.id.jpg

Haruskah Istinja Setelah Kentut

Terakhir diperbarui pada · 1,844 views

Banyak pertanyaan di antara kaum muslimin terkait haruskah istinja setelah kentut. Jika kentut, bolehkah langsung berwudhu atau harus istinja terlebih dahulu sebelum wudhu jika ia kentut.

Secara umum, wudhu adalah ibadah yang dikerjakan karena seseorang berhadats kecil, sedangkan istinja adalah ibadah yang dikerjakan karena seseorang keluar najis dari salah satu dua lubang.

Istinja

Menurut KBBI (V), istinja adalah membersihkan dubur atau kemaluan setelah buang air besar maupun kecil. Kata istinja dalam bahasa Indonesia adalah kata serapan dari bahasa Arab, yaitu istinja’.

Istinja’ adalah menghilangkan najis atau membersihkannya dari tempat keluarnya air kencing dan tinja. (Al-Fiqhu al-Manhaji ‘ala Mazhab Imam asy-Syafii, Dr. Musthafa al-Khan dkk, 45)

Beristinja hukumnya wajib setelah seseorang buang air besar maupun air kecil.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُ الْخَلَاءَ فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلَامٌ إِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وَعَنَزَةً يَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki toilet, lalu aku dan seorang pelayan membawakan bejana yang berisi air dan tombak kecil yang beliau gunakan untuk beristinja.” (HR. Al-Bukhari no. 151; HR. Muslim no. 271)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan,

أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke WC, beliau menyuruhku membawakannya tiga buah batu.” (HR. Al-Bukhari no. 155)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ يَسْتَطِيبُ بِهِنَّ فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ

Jika salah seorang dari kalian hendak pergi ke WC, maka hendaknya ia membawa tiga buah batu dan beristinja dengannya, itu telah mencukupinya.” (HR. Abu Dawud no. 40)

Adapun artikel tentang “istinja” lebih mendetail dapat sahabat baca di link berikut: Ngaji Fikih #46: 6 Syarat Istinja Menggunakan Batu

Kentut Termasuk di antara Pembatal Wudhu

Jika keluar sesuatu dari dua lubang kemaluan, kubul dan dubur, maka wudhu menjadi batal. Seperti keluarnya air kencing, tinja, kentut, madzi, wadi, dan mani.

Keluarnya benda-benda tersebut menyebabkan seseorang berhadats. Sementara fungsi wudhu adalah mensucikan diri dari hadats. Sehinggga, keluarnya benda-benda tersebut menjadikan tubuh berhadats kembali, wudhunya batal. Ini sudah menjadi Ijmak para ulama fikih.

Kenapa kentut membatalkan wudhu?

Sebab kentut membatalkan wudhu adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian jika berhadats, sampai dia berwudhu.”

Seorang laki-laki dari Hadramaut berkata,

Hadats seperti apa yang Rasulullah maksud wahai Abu Hurairah?”

Kemudian Abu Hurairah menjawab,

Yaitu kentut.” (HR. Al-Bukhari no. 135 dan 6554; HR. Muslim no. 225)

Abu Hurairah radhiyallahu anhu menyebutkan kentut, karena kentut adalah hadats yang paling rendah tingkatannya, dan kentut terjadi kapan saja. Sehingga hadats yang lebih tinggi dari kentut juga termasuk dalam pembatal wudhu.

Baca artikel lebih lengkap tentang wudhu: Wudhu Anda Sudah Benar? Mari Cek di Sini

Terkait masalah kentut ini, Anda bisa mendapatkan informasi lebih lengkapnya pada artikel yang berjudul: Ngaji Fikih #47: Yang Keluar Dari Dua Lubang Adalah Pembatal Wudhu

Istinja Setelah Kentut

Dari pembahasan sebelumnya, terbentuk gambaran bahwa Istinja disyariatkan untuk menghilangkan najis yang keluar dari dua lubang, kubul dan dubur, baik najis tersebut berbentuk benda cair ataupun padat semisal air kencing, tinja, mazi, dan wadi yang mana terdapat bekasnya baik itu di kubul atapun dubur setelah najis tersebut keluar.

Adapun kentut, itu bukanlah termasuk benda najis sehingga seseorang tidak wajib beristinja setelah kentut, baik kentut tersebut memiliki bunyi maupun tidak memiliki bunyi.

Meskipun tidak menjadikan seseorang harus istinja, kentut tetaplah membatalkan wudhu karena ia termasuk dari hadats kecil.

Sebagian ulama ahli fikih memakruhkan beristinja karena kentut. Sebagian yang lain berpendapat bahwa seseorang yang melakukannya dan beranggapan bahwa hal itu disyariatkan, maka ia telah melakukan bid’ah.

Ibnu Najim rahimahullah dalam Al-Bahru ar-Raiq Syarhu Kanzu ad-Daqa’iq (1/252) mengatakan bahwa hal itu adalah bid’ah sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Mujtaba.

Jika seseorang kentut setelah istinja, maka ia tidak wajib beristinja kembali sekalipun tempat keluar kentutnya basah.

Tidak perlunya istinja setelah kentut adalah pendapat dari mazhab fikih yang empat; Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.

Ibnu Najim rahimahullah, dari mazhab Hanafi, berkata,

أَنَّ الِاسْتِنْجَاءَ لَا يُسَنُّ إلَّا مِنْ حَدَثٍ خَارِجٍ مِنْ أَحَدِ السَّبِيلَيْنِ غَيْرِ الرِّيحِ

Istinja hanya disunahkan pada hadats yang keluar dari salah satu dua lubang, selain kentut.” (Al-Bahru ar-Raiq, Zainuddin Ibnu Najim, 1/252)

Al-Kasani rahimahullah, dari mazhab Hanafi, berkata,

وَلَا اِسْتِنْجَاءَ فِيْ الرِّيْحِ

Tidak ada istinja karena kentut.” (Bada-i‘u as-Sana-i‘, Abu Bakar al-Kasani, 1/19)

Al-Hathab ar-Ru’yani rahimahullah, dari mazhab Maliki, berkata,

قَالَ مَالِكٌ فِي الْمُدَوَّنَةِ: وَلَا يَسْتَنْجِي مِنْ الرِّيحِ

Imam Malik dalam al-Mudawanah berpendapat bahwa tidak ada istinja karena kentut.” (Mawahibu al-Jalil, al-Hathab ar-Ru‘yani, 1/286)

Al-Khurasyi rahimahullah, dari mazhab Maliki, berkata,

وَأَمَّا بِغَيْرِهَا فَلَا ‌اسْتِنْجَاءَ كَالرِّيحِ

Adapun selainnya maka tidak ada istinja, seperti pada kentut.” (Syarhu Mukhtashar Khalil, Muhammad bin Abdullah al-Khurasyi, 1/148)

Al-Mawardi rahimahullah, dari mazhab Syafii, berkata,

وَقِسْمٌ لَا يَجُوْبُ الِاسْتِنْجَاءَ وَهُوَ الصَّوْتُ وَالرِّيحُ

Dan jenis (yang keluar dari dua lubang) yang tidak mewajibkan istinja adalah suara dan angin (kentut).” (Al-Hawi al-Kabir, al-Mawardi, 1/160)

Al-Mardawi rahimahullah, dari mazhab Hambali, berkata,

ويَجِبُ الاستنجاءُ من كلِّ خارِج إلَّا ‌الرِّيحَ

Dan wajib istinja dari segala yang keluar, kecuali kentut.” (Al-Inshaf, Ali bin Sulaiman al-Mardawi, 1/232)

Bahkan terdapat nukilan dari beberapa ulama semisal Ibnu Qudamah rahimahullah (Al-Mughni, 1/111) dan Imam an-Nawawi rahimahullah (Al-Majmu’, 2/96) bahwa terjadi ijmak tidak adanya syariat istinja setelah kentut.

Al-Khathib asy-Syarbini rahimahullah, ulama mazhab Syafii, berkata,

فَقَدْ نَقَلَ الْمَاوَرْدِيُّ وَغَيْرَهُ الْإِجْمَاعُ عَلَى ‌أَنَّهُ ‌لَا ‌يَجِبُ ‌الِاسْتِنْجَاءُ ‌مِنْ ‌النَّوْمِ وَالرِّيْحِ

Al-Mawardi dan selainnya menyebutkan adanya ijmak ulama bahwa tidur dan kentut tidak mewajibkan istinja.” (Al-Iqna’ fi Hilli Alfaz Abi Syuja’, Al-Khathib asy-Syarbini, 1/55)

Beliau melanjutkan,

قَالَ ابْنُ الرِّفْعَة وَلَمْ يُفَرِّقْ الْأَصْحَابُ بَيْنَ أَنْ يَكُوْنَ الْمَحَلُّ رَطْبًا أَوْ يَابِسًا وَلَوْ قِيْلَ بِوُجُوبِهِ إِذَا كَانَ الْمَحَلُّ رَطْبًا لَمْ يُبْعَدْ…فَقَدْ قَالَ الْجِرْجَانِيّ إِنْ ذَلِك مَكْرُوْهُ

“Ibnu ar-Rif‘ah berkata,

‘Para ulama mazhab Syafii tidak membedakan antara basah atau tidaknya tempat keluarnya kentut. Pendapat yang mewajibkan istinja jika tempat keluar kentut basah, harus dijauhi…. Al-Jurjani berkata bahwa istinja setelah kentut hukumnya makruh.’” (Al-Iqna’ fi Hilli Alfaz Abi Syuja’, Al-Khathib asy-Syarbini, 1/55)

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, ulama mazhab Hambali,berkata,

وَلَيْسَ عَلَى مَنْ نَامَ أَوْ ‌خَرَجَتْ ‌مِنْهُ ‌رِيْحَ ‌اِسْتِنْجَاءٌ وَلَا نَعْلَمُ فِيْ هَذَا خِلَافًا.

قَالَ أَبُوْ عَبْدُ اللهِ لَيْسَ فِيْ الرِّيْحِ اِسْتِنْجَاءٌ؛ فَيْ كِتَابِ اللهِ، وَلَا فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِهِ، إِنَّمَا عَلَيْهِ الوُضُوْءُ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ:

مَنِ اسْتَنْجَى مِنْ رِيْحٍ فَلَيْسَ مِنَّا. رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِيْ مُعْجَمِهِ الصَّغِيْرِ،

وَعَنْ زَيْدٍ بْنِ أَسْلَمَ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ} [المائدة: 6]. إِذَا قُمْتُمْ مِنَ النَّوْمِ، وَلَمْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ، فَدَلَ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجِبُ؛ وَلِأَنَّ الوُجُوْبَ مِنَ الشَّرْعِ، وَلَمْ يَرِدْ بِالاِسْتِنْجَاءِ هُنَا نَصٌ، وَلاَ هُوَ فِيْ مَعْنَى المَنْصُوْصُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الاِسْتِنْجَاءَ إِنَّمَا شُرِعَ لِإِزَالَةِ النَّجَاسَةَ، وَلَا نَجَاسَةٌ هَاهُنَا

“Orang yang tidur atau yang kentut tidak wajib istinja. Kami tidak tahu ada perbedaan pendapat terkait masalah ini. Abu Abdullah (Imam Ahmad) berkata,

‘Tidak ada perintah istinja karena kentut, baik dalam Kitabullah ataupun dalam Sunah Rasul-Nya. Seseorang yang kentut hanya wajib wudhu.

Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, ‘Barang siapa yang istinja karena kentut, maka bukan golongan kami’…kewajiban merupakan bagian dari syariat, sedangkan perintah istinja karena kentut tidak ditemukan nasnya. Karena, istinja disyariatkan untuk menghilangkan najis sedangkan (kentut dan tidur) tidak mengandung najis.” (Al-Mughi, Ibnu Qudamah, 1/111)

Jadi, kesimpulan dari masalah haruskah istinja setelah kentut adalah tidak perlu istinja. Jika seorang muslim kentut lalu hendak berwudhu, ia tidak perlu istinja, wudhunya pun tetap sah. Wallahu a’lam. (Ahmad Robith/dakwah.id)

Penulis: Ahmad Robith
Editor: Sodiq Fajar

Baca juga artikel Fikih atau artikel menarik lainnya karya Ahmad Robith.

Artikel Fikih terbaru:

Topik Terkait

1 Tanggapan

Bagaimana jika kentut lalu setelah dilihat celana dalam ternyata basah apakah disifati najis?
Sama halnya dengan menahan berak pasti ada embun disekitar dubur apakah disifati najis?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *