Pernah menyempatkan diri baca kisah di balik surat at-Tahrim ayat 4?
Ini kisah tentang kecemburuan yang dialami oleh istri-istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah ibu orang-orang beriman dan teladan bagi kaum muslimah sepanjang zaman.
Meski demikian, layaknya mayoritas kaum hawa yang sangat pecemburu, mereka juga memiliki perasaan yang sama. Terutama Ibunda Aisyah putri Abu Bakar, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Putri khalifah pertama ini, selalu ingin menjadi sosok yang paling dicintai oleh Nabi.
Kecemburuan itu sendiri sebenarnya adalah perilaku yang sangat manusiawi. Bahkan dalam sebuah hubungan, rasa cemburu mutlak dibutuhkan sebagai salah satu unsur keharmonisan. Tapi tentu saja tidak boleh berlebihan. Sebab, cemburu itu seumpama api: menghangatkan jika dinyalakan sesuai kebutuhan, membakar jika ia terlalu besar berkobar, namun ketiadaannya akan membuat dingin dan beku.
Maka, tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa cemburu adalah sebuah keniscayaan yang akan menimpa para pecinta, tidak terkecuali para shahabiyah mulia radhiyallahu ‘anhunna.
Artikel Sejarah: Aisyah Istri Rasulullah yang Sangat Dibenci Kaum Syiah
Mereka tentu mempunyai banyak keutamaan, tapi mereka juga manusia biasa. Ada saatnya mereka berbuat keliru, lalu turun wahyu dari Allah subhanahu wata’ala menegur dan meluruskan kekeliruan itu. Seperti firman Allah ‘azza waJalla dalam surat At-Tahrim ayat 4 berikut ini,
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا ۖ وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ بَعْدَ ذَٰلِكَ ظَهِيرٌ
“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.”
Asbabun Nuzul Surat At-Tahrim
Sebab turunnya surat At-Tahrim sangat berkaitan erat dengan dua istri Nabi yang dimaksud oleh ayat di atas. Mereka adalah Aisyah putri Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Hafshah putri Umar bin Khattab radhiyallhu ‘anhum ajma’in.
At-Tahrim artinya pengharaman. Maksudnya, “Dalam rangka menyenangkan hati istri-istrinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengharamkan sesuatu yang sebenarnya dihalalkan oleh Allah baginya.”
Namun, ketika membahas tentang apa yang diharamkan Nabi atas dirinya itu, ada banyak riwayat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir. Ada riwayat yang mengatakan, Rasulullah mengharamkan Mariyah Al-Qibthiyyah. Ada juga yang menyebutkan bahwa yang beliau haramkan adalah madu. Kedua versi ini, disebutkan oleh mayoritas mufasir seperti Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari, Imam Al-Qurthubi, Ibnu Katsir, Al-Baghawi dan lain-lain dalam kitab tafsir karya mereka.
Pendapat pertama, menceritakan bahwa suatu ketika, Nabi sedang bersama Mariyah di rumah Hafshah. Setelah melihat langsung pemandangan yang tidak mengenakan hatinya itu, putri Al-Faruq yang merasa keberatan berkata kepada Nabi, “Wahai Nabi Allah, engkau benar-benar telah melakukan sesuatu yang tidak engkau lakukan kepada seorang pun di antara istri-istrimu yang lain, di hariku, pada giliranku, dan di atas kasurku.”
Rasulullah pun berusaha menenangkan Hafshah, “Apakah engkau akan memafkan dan meridhaiku jika aku mengharamkan dia dan aku tidak mendekatinya?”
Hafshah menjawab singkat, “Iya.”
Setelah itu, Rasul mengajukan satu permintaan lagi agar “Jangan beritakan hal ini kepada siapa pun.”
Tetapi Hafshah tidak memenuhinya. Ia malah menceritakan kejadian itu kepada Aisyah.
Maka kemudian Allah menampakkan pembicaraan mereka berdua kepada Nabi, lalu menurunkan firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Tahrim: 1)
Pendapat kedua tentang sebab turunnya ayat di atas menyebutkan, Ibunda Aisyah mendapati Sang Nabi singgah di rumah Zainab binti Jahsy dan meminum madu di sana.
Kemudian, setelah mengetahui hal itu, Aisyah bersepakat dengan Hafshah apabila Rasulullah memasuki salah satu rumah mereka, maka ia akan berkata kepada beliau, “Sesungguhnya aku mencium bau maghafir pada dirimu. Pasti engkau telah meminum maghafir.”
Artikel Akidah: Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, Tertuduh Tapi Tak Bersalah
Maghafir itu semacam manisan yang lezat, berbentuk getah, diambil dari pohon Ramats atau pohon Urfuth. Meskipun bisa dinikmati dan enak rasanya, maghafir mempunyai bau tak sedap dan menyengat.
Ketika Nabi mendatangi salah satu dari Aisyah dan Hafshah, Nabi dinyatakan telah minum maghafir. Beliau pun menyangkalnya, “Tidak, tetapi aku telah meminum madu di rumah Zainab binti Jahsy, dan aku benar-benar tidak akan meminumnya lagi.”
Nabi adalah pribadi yang sangat menjaga diri dari mengonsumsi makanan atau minuman yang aromanya bisa mengganggu orang lain. Maka dari itu, Nabi tidak mau minum madu yang baunya seperti maghafir.
Setelah Nabi mengharamkan madu, maka turunlah ayat tersebut. Sebagian ulama, menganggap versi kedua ini paling rajih (kuat). Karena pendapat ini didukung sebuah hadits dalam Shahih al-Bukhari, Kitab Al-Aymaan wan Nudzzur, bab 25: Idzaa Harrama Tha’aman, nomor 6691.
Ada Apa di Balik Kata “Qulubukuma” dalam Surat At-Tahrim Ayat 4
Dr. Shalah Abdul Fattah Al-Khalidi, dalam kitabnya yang berjudul, “Lathaifun Qur’aniyyatun”, mencoba mencari pelajaran berharga dari surat At-Tahrim ayat 4 yang tafsirnya telah dibahas di atas. Beliau mentadabburi ayat tersebut dengan menyoroti sepotong ayat فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا “fa qad shaghat qulubukuma” (hati kalian berdua telah condong).
Sekilas, penggunaan kata “qulubukuma” (قُلُوْبُكُمَا) dalam ayat ini, menyalahi ilmu tata bahasa Arab yang mengenal istilah mufrad (tunggal), mutsanna (dua) dan jama’ (plural).
Sebagai contoh, kata “thayrun” (طَيْرٌ) yang artinya burung, adalah bentuk mufrad. “Thayrun wahidun” (طَيْرٌ وَاحِدٌ), satu burung. Jika ingin mengatakan ‘dua burung’, maka harus menggunakan bentuk mutsanna, yaitu “thayraani itsnaani” (طَيْرَانِ اثْنَانِ). Adapun bentuk jamaknya ialah “thuyurun” (طُيُوْرٌ), digunakan ketika jumlahnya tiga atau lebih.
Nah, kata “qulub” (قُلُوْب) dalam ayat yang sedang dibahas di sini, adalah bentuk jamak dari kata “qalbun’ (قَلْبٌ). Padahal, baik Aisyah ataupun Hafshah, sebagaimana manusia pada umumnya, hanya mempunyai satu hati.
Maka, secara kaidah, karena hanya ada dua hati yang disinggung, semestinya kata benda tersebut menggunakan bentuk mutsanna, yaitu “qalbaakuma” (قَلْبَاكُمَا). Di sinilah letak ketidaksesuaian surat At-Tahrim ayat 4 dengan kaidah bahasa Arab.
Tetapi, ada satu hal yang perlu diingat baik-baik, bahwa tidak mungkin terdapat sedikit kekeliruan pun di dalam Al-Qur’an. Sekiranya ada redaksi yang secara zahir terlihat salah, pasti ada hikmah yang tersembunyi di dalamnya.
Jadi, faidah dan pelajaran apa yang bisa dipetik dari kata “qulubukuma”? Berikut ini penjelasannya.
Artikel Sejarah: Ain Jalut, Saksi Bisu Ketika Mongol Bertekuk Lutut
Selain berisi perintah dan imbauan kepada dua istri Nabi untuk bertobat, ayat ini juga menjelaskan bahwa sesungguhnya hati mereka telah berpaling dari apa yang diharapkan oleh Rasulullah, yaitu menjaga rahasianya. Hal ini bisa dilihat dari potongan ayat yang berbunyi, “Fa qad shaghat” (فَقَدْ صَغَتْ).
Dalam bahasa Arab, “Shagha–yashghu” (صَغَى-يَصْغُوْ) artinya; berpaling, menyimpang, dan meluncur ke bawah.
Jadi, dosa yang dilakukan seorang mukmin akan membuatnya berpaling dari Allah dan derajat keimanannya pun berkurang. Hanya dengan bertobat, level keimanan yang sebelumnya menjadi rendah akibat maksiat, akan kembali meningkat dan melesat ke level tertinggi. Ketika itulah, hati seseorang dikatakan telah condong kepada kebenaran.
Penjelasan ini sesuai dengan salah satu kaidah dalam ilmu aqidah, yang mengatakan bahwa “Al-Imanu yaziidu wa yanqushu. Yaziidu bitha’atillah wa yanqushu bi ma’shiyatillah.” Keimanan bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan, dan berkurang dengan kemaksiatan kepada Allah.
Aktivitas naik dan turunnya derajat keimanan inilah yang menunjukkan bahwa hati seseorang, meskipun hanya satu, akan tetapi ia mempunyai gambaran yang berbeda-beda.
Maka dari itu, makna inilah yang diinginkan dari kata “qulubukuma.” Bahwa hati mereka berdua (Aisyah dan Hafshah), dilihat dari dampak kesalahan yang telah mereka perbuat, seakan-akan mempunyai lebih dari satu hati.
Untuk lebih memperjelas keterangan yang disampaikan Dr. Shalah Al-Khalidi, kita bisa mengibaratkan bahwa hati sebagai wadah keimanan, selayaknya baterai di dalam gawai yang biasa kita gunakan setiap hari. Saat kondisi baterai melemah, icon yang muncul di layar kaca akan memperlihatkan ruas-ruas daya yang berkurang. Dengan mengisi ulang selama beberapa waktu, ruas-ruas itu pun akan bertambah.
Sebenarnya, hanya ada satu baterai di dalam gawai. Tapi, ketika hendak menjelaskan bahwa baterai hampir kehabisan daya, kita biasa berkata, “Wah, bateraiku tinggal dua nih.” Sedangkan apabila baterai yang terisi penuh, biasanya ungkapan yang kita pakai adalah, “Bateraiku masih banyak, nih.”
Nah, demikian pula halnya dengan kata “qulubukuma” yang menunjukkan bentuk plural (jamak). Dari sini, jelas sudah bahwa kalimat fa qad shaghat qulubukuma, bukanlah suatu kekeliruan tata bahasa di dalam al-Quran.
Kesimpulannya, hikmah tersembunyi yang ingin disampaikan ayat ini ialah: bahwa setiap insan, mempunyai hati yang gambarannya bisa berubah-ubah, tergantung amal yang diperbuat. Pada level terendah, warna hati seseorang akan terlihat gelap penuh noda.
Sedangkan di level tertinggi, hati yang senantiasa disirami cahaya-cahaya ketaatan, akan nampak bersinar terang. Kemilaunya bagaikan mutiara yang indah memesona. Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiq. (Muhammad Faishal Fadhli/dakwah.id)
Referensi:
- Al-Hafidzh Imaduddin Abu Ismail Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil ‘Adzhiim, Darul Aqiidah, tahun 2008.
- Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi, Ma’alimut Tanzil, Darut Thaybah, tahun 1989.
- Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, Riyadh: Maktabah Darus Salam lin Nasyr wat Tauzi’, 1422 H /2002 M.
- Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqân fi ‘Ulûmil Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H.
- Shalah Abdul Fattah Al-Khalidy, Lathaifun Qur’aniyyatun, Damaskus: Darul Qalam, Cet. I, 1992 M/1412 H.
- Imam al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari