Para ulama ahli fikih sepakat bahwa melaksanakan shalat fardhu secara berjamaah adalah lebih utama daripada melaksanakannya sendiri-sendiri. Mereka juga sepakat bahwa berjamaah dalam melaksanakan shalat fardhu sangat ditekankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berjamaah merupakan ibadah yang sangat ditekankan dalam Islam.
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
”Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.” (HR. Al-Bukhari, kitab Al Adzan, Bab Fadhlu Shalatul Jama’ah, no. 609.)
Dalam hadits lain disebutkan:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar. Lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat, dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah), lalu aku bakar rumah-rumah mereka. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bahkan, Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan untuk melaksanakan shalat dengan berjamaah meski dalam kondisi darurat seperti dalam shalat khauf, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 102.
Di kalangan para ulama ahli fikih ada yang berpendapat berjamaah dalam melaksanakan shalat fardhu hukumnya wajib. Ada yang berpendapat hukumnya sunnah muakkadah. Ada pula yang berpendapat bahwa itu fardhu kifayah. Mereka berbeda pendapat dalam masalah ini.
SUNNAH MUAKKADAH
Al-Karkhi–salah satu ulama fikih Hanafiyah–, Malikiyah, dan sebagian Syafi’iyah (Abu Hamid, pendapat kedua mereka) berpendapat sunnah muakkadah. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 1/371, Hasyiyah Ad-Dasuki, 1/319,320)
Pendapat ini juga dirajihkan oleh Asy-Syaukani dan Shidiq Hasan Khan serta Sayyid Sabiq.
Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.” (HR. Al-Bukhari, kitab Al Adzan, Bab Fadhlu Shalatul Jama’ah, no. 609.)
FARDHU KIFAYAH
Ini adalah pendapat pendapat Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Ibnu Rusyd, Ibnu Basyir dari Malikiyah, jumhur ulama Syafi’iyah mutaqaddimin (terdahulu), dan banyak ulama Hanafiyah maupun Malikiyah. (Al-Majmu’, 4/85, Hasyiyah Ad-Dasuki, 1/319,320)
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata,“Dzahir nash (perkataan) Syafi’i, shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Inilah pendapat jumhur mutaqaddimin dari ulama Syafi’iyah dan banyak ulama Hanafiyah serta Malikiyah.” (Fathul Bari, Ibnu hajar al-Asqalani, 2/26)
Di antara dalilnya adalah,
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
“Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali Syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian.” (HR. Abu Dawud, no. 460, An Nasa’i, no.738, Ahmad, no. 26242)
WAJIB TAPI BUKAN SYARAT SAH
Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al Asy’ariy, Atha’ bin Abi Rabbah, Al Auza’i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, sebagian besar ulama Hanafiyah dan madzhab Hambali. (Syarh Fath Al-Qadir, 1/353, Mughni Al-Muhtaj, 1/229, Al-Mughni, Ibn Qudamah , 2/240,241)
Di antara dalilnya adalah firman Allah,
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan se-raka’at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu,..” (QS. An-Nisa’: 102)
Rasulullah bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
“Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar. Lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat, dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah), lalu aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Banyak ulama kontemporer yang memilih pendapat berjama’ah dalam shalat fardhu lima waktu hukumnya wajib bagi laki-laki yang telah baligh, kecuali bagi yang memiliki udzur. Demikian pula pendapat yang dipilih oleh syaikh Ibnu Baaz dan syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
Namun, kewajiban ini bukanlah menjadi syarat sahnya shalat. Maksudnya, jika seseorang menegakkan shalat fardhu sendirian, maka ia mendapat pahala atas ibadahnya tersebut.
Akan tetapi secara bersamaan ia juga terkena dosa tanpa ada kewajiban untuk mengulang shalatnya kembali. Karena ada hadits yang menyebutkan bahwa shalat sendiri pun juga memiliki nilai kebaikan meski tak sebanding dengan berjamaah.
Pendapat yang menyatakan hukumnya wajib tapi bukan syarat sah dinilai sebagai pendapat yang paling adil dan mendekati kebenaran serta banyak diamalkan oleh para ulama. Wallahu a’lam. [Shodiq/dakwah.id]