Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah mendeskripsikan kelompok manusia yang mendatangi dukun atau peramal dilihat dari sisi konskuensi hukumnya. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/184)
1. MENDATANGI DUKUN, BERTANYA, TANPA MEMBENARKAN
Kelompok yang pertama adalah orang yang mendatangi dukun atau peramal lalu bertanya sesuatu berkaitan dengan aktivitas perdukunannya, tapi tidak membenarkan apa yang dikatakan dukun tersebut.
Perbuatan jenis ini hukumnya haram. Konsekuensinya, ibadah shalat pelakunya selama empat puluh hari tidak akan diterima. Sebagaimana ditunjukkan dalam sebuah hadits,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa mendatangi paranormal, lalu bertanya tetang sesuatu, maka tidak diterima sholatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim: 2230)
Maksud dari tidak diterima shalatnya adalah tidak diterima pahala shalatnya. Jadi, shlatnya selama empat puluh hari hanya sekedar memenuhi kewajibna saja, tanpa mendapat pahala.
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Makna tidak diterima shalatnya adalah tidak ada pahala baginya dalam shalat tersebut, meski shalatnya cukup untuk menggugurkan kewajiban darinya, sehingga dengan itu ia tidak perlu untuk mengulang shalatnya.” [Syarh Muslim, 14/227, Taisirul ‘Azizil Hamid, 347-348]
2. MENDATANGI DUKUN, BERTANYA, DAN MEMBENARKAN
Kelompok yang kedua adalah orang yang mendatangi dukun atau peramal lalu bertanya sesuatu berkaitan dengan aktivitas perdukunannya, dan dia membenarkan apa yang dikabarkan dukun tersebut.
Perbuatan jenis ini menjadikan pelakunya kufur kepada Allah. Sebab dia telah membenarkan orang yang mengaku mengetahui ilmu ghaib. Perbuatan membenarkan manusia yang mengaku mengetahui ilmu ghaib merupakan sikap pendustaan.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
قُل لَّا يَعۡلَمُ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ ٱلۡغَيۡبَ إِلَّا ٱللَّهُ
“Katakanlah: ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah.” (QS. An-Naml: 65)
Dalam hadits shahih disebutkan,
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَعَلَى مُحَمَّد
“Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal, lalu ia mempercayai ucapan dukun atau peramal tersebut maka ia telah kafir terhadap (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.” (HR. Ahmad. Ash-Shahihah, 3387)
3. MENDATANGI DUKUN, MEMBUKTIKAN KEDUSTAANNYA
Kelompok yang ketiga adalah orang yang mendatangi dukun atau peramal lalu bertanya sesuatu berkaitan dengan aktivitas perdukunannya untuk kemudian membantah, menunjukkan, serta membuktikan kedustaan jawaban dukun tersebut. Lalu kemudian dijadikan bahan untuk memahamkan umat tentang kedustaan praktik perdukunannya.
Perbuatan jenis ini diperbolehkan oleh syariat.
Dalilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi seseorang bernama Ibnu Shayyad yang mengaku sebagai utusan Allah, padahal hakikatnya dia adalah seorang dukun.
Rasulullah mengujinya dengan sebuah pertanyaan untuk kemudian menunjukkan kedutasaan Ibnu Shayyad. Sebagaimana dalam riwayat,
ثُمَّ قَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ لَكَ خَبِيْئاً. فَقَالَ ابْنُ صَيَّادٍ: هُوَ الدُّخُّ. فَقَال لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اخْسَأ، فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ
“Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya (bermaksud menguji): “Aku sembunyikan sesuatu untukmu?” Ibnu Shayyad menebak: “Ad-Dukh (asap/kabut).” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tetaplah di tempatmu. Engkau tidak akan melampaui apa yang telah Allah takdirkan padamu.” (HR. Al-Bukhari: 1354, Ahmad: 6075, 6076) Wallahu a’lam. [Shodiq/dakwah.id]