Iman kepada hari berbangkit adalah fondasi tawakal dan kebahagiaan seorang muslim. Mengapa demikian? Sahabat dakwah.id akan menemukan jawabannya pada artikel berikut.
Kisah yang masih hangat. Pada 8 September 2022, salah seorang ASN yang bekerja di Bappeda Kota Semarang ditemukan tewas terbakar. Korban dinyatakan hilang sejak 24 Agustus 2022, dan diduga kuat, korban merupakan saksi kunci dari kasus korupsi yang ia ketahui.
Ada juga kisah suami yang membunuh istrinya, lantaran istri tidak mau diajak rujuk oleh suami di Sulawesi.
Mendengar berita-berita ini, ada harapan dalam imajinasi, ending-nya pelaku tidak berhasil membunuh korban dan ia mendapatkan hukuman setimpal, atau setidaknya hukuman berat. Dan korban selamat, ikut menyaksikan pelaku dihukum. Karena sudah berencana menghilangkan nyawa orang.
Tapi ternyata, itu hanya harapan imajinatif. Pembunuhan sudah terjadi, yang mati tidak akan hidup kembali. Sebagian orang bahkan berharap, hukuman bagi pelakunya adalah pelaku dibakar dan dibunuh. Minimal, kehidupan pelaku harus rusak dan hancur lantaran perbuatannya.
Harapan orang-orang mungkin simpel, orang jahat harus diberi hukuman setimpal dan kontan di dunia. Akan tetapi, harapan seperti itu hanya terjadi di sinetron. Happy ending yang diharapkan oleh masyarakat hanyalah harapan fiktif dan tidak bisa terjadi secara mutlak dalam kehidupan.
Pelaku kejahatan tidak harus menerima hukumannya di dunia. Bisa jadi ia selalu bahagia di dunia, tercukupi rezekinya.
Namun, pelaku kejahatan tidak bisa lari dari pertanggungjawaban di kehidupan setelah kematian. Keyakinan ini yang menjadi salah satu fondasi tawakalnya seorang muslim dalam kehidupan di dunia.
Karma atau Balasan?
Dalam Islam, kebaikan dan keburukan pasti berbalas. Akan tetapi, tidak semua kebaikan dan keburukan dibalas di dunia. Dalam Islam, konsep seperti karma tidak bisa berlaku.
Secara singkat, karma meniscayakan adanya reinkarnasi (raj’ah) di kehidupan selanjutnya untuk mendapatkan akibat dari sebab yang ia usahakan di kehidupan sebelumnya. Karma adalah hukum sebab akibat (causality/the law of case and effect) tanpa adanya campur tangan penguasa atau raja.
Contoh dari pemahaman karma ini adalah, saat manusia terlahir sebagai orang miskin atau ia hidup susah, itu bukan hukuman dari Tuhan. Melainkan akibat perilakunya di kehidupan sebelumnya. Jadi, selama karma masih bersama kehidupan, senantiasa akan ada kehidupan berikutnya (Punarbhawa), dan kematian merupakan akhir yang sementara. Jika kekuatan karma yang baik sudah membaku disebut guna, akan memancar berwujud ‘aurora’.
Disebutkan sebuah kutipan dalam Slokantara 68, ‘Karma phala ngaranika phalaning gawe hala hayu’ yang artinya: Karma pahala itu namanya hasil perbuatan baik buruk. (Materi Pokok Pendidikan Agama Hindu, I Ketut Bantas dan I Nengah Dana, 149)
Dan ‘Anakaranam katham karyam samsaretra bhavisyasti’yang artinya: Mungkinkan sesuatu perbuatan tiada sebab (dan akibatnya) di dalam lingkungan samsara (lahir dan mati) di sini. (Panca Craddha, I. B. Oka Punyaatmadja, 58)
Artikel Refleksi: Benci Karena Cinta Kepada Allah
Jika orang berbuat baik dan buruk harus menemui akibatnya di dunia, tentu akan panjang usia dunia. Mengingat, semua orang pasti pernah berbuat salah, tidak ada yang sempurna.
Apakah semua manusia harus dihidupkan lagi di kesempatan berikutnya, sedangkan dunia harus berakhir dengan Kiamat? Apakah hari berbangkit?
Selain itu, keyakinan tentang konsep karma mengharuskan untuk tidak percaya hari Kiamat dan hari berbangkit.
Iman Kepada Hari Akhir dan Hari Berbangkit
Percaya kepada hari akhir dan hari berbangkit adalah keyakinan mendasar dan menjadi pokok akidah Islam. Tidak ada yang mengetahui kapan Kiamat dan kapan hari berbangkit (yaum ba’ts).
Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan urutan kehidupan yang bakal dilalui manusia,
Pertama, (dār al-ūlā) saat berada di rahim ibu. Di ruang yang sempit dan dalam tiga lapis kegelapan (zhulumāt ats-tsalāt): kegelapan perut ibu, kegelapan rahim ibu, dan kegelapan selaput penutup janin.
Kedua, kehidupan dunia. Tempat manusia akan bertumbuh, kehidupan yang menjadi bakal kebahagiaan atau kesengsaraan.
Ketiga, kehidupan barzakh. Lebih luas dan lebih besar daripada kehidupan di dunia. Namun, penisbatannya seperti kehidupan dunia dibanding kehidupan di rahim ibu.
Keempat, kehidupan selamanya (dār al-Qarār). Kehidupan di surga atau di neraka yang mana tidak ada kehidupan lagi setelah fase ini. (Rūḥ, Ibnu al-Qayyim, 116)
Setiap manusia akan diberi kesempatan hidup di dunia untuk mengumpulkan bekal. Kelak, seusai mati, ia akan menerima akibat dan pahala dari perilaku dan tingkah lakunya selama di dunia. Selama di dunia, mungkin sebagian orang sudah menerima sebagian akibat dari perbuatannya, tetapi penyempurnaan pahala akan didapat pada hari Kiamat.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Āli ’Imrān: 185)
Allah subhanahu wata’ala menjadikan setiap aktivitas dan tingkah laku manusia memiliki akibat. Akibat atau balasannya pun bertingkat, tidak sama antara satu perbuatan dengan yang lain. Dan itu akan dijumpai kelak di akhirat. Baik balasan di surga atau di neraka. Perbedaan dan tingkatan balasan-balasan tersebut, menjadikan berbeda pula tingkatan balasan di surga dan neraka. (Ijtimā’ juyūsy al-Islamiyah ‘ala ghazwi al-mu’aṭillah wa al-Jahmiyyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, 36)
Doa terbaik adalah doa mengharapkan surga dan berlindung dari neraka. Doa tersebut diajarkan oleh Nabi Ibrahim khalilullah (kekasih Allah).
Sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran. Nabi Ibrahim alaihissalām berdoa, mencontohkan kita, agar mendapatkan surga,
وَاجْعَلْنِي مِن وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ
“Dan jadikanlah aku termasuk orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan.” (QS. Asy-Syu’arā`: 85)
Keimanan Kepada Hari Berbangkit Sumber Kebahagiaan
Allah Maha Mengetahui apa yang dibutuhkan oleh hamba-hamba-Nya. Ibnu al-Qayim menuliskan, bahwa Allah mengetahui kalau hamba-Nya membutuhkan pertolongan dan perlindungan-Nya layaknya seorang anak yang membutuhkan pertolongan dan perlindungan bapaknya.
Keyakinan seperti ini menjadi sisipan sumber kebahagiaan terbesar hamba yang Allah berikan. Ketika seorang hamba meminta pertolongan, berharap, dan meminta perlindungan hanya kepada Allah, maka dengannya akan tercapai kebahagiaan. (Miftāḥ dār al-Sa’ādah wa mansyūr wilāyati al-Ilm wa al-Irādah, Ibnu al-Qayyim, 288)
Percaya dengan hari berbangkit juga merupakan salah satu pupuk guna meningkatkan ketawakalan kepada Allah. Keyakinan akan adanya kehidupan setelah kematian membuat seorang muslim merasa bahagia.
Apa pun yang diusahakan dan dialami dalam kehidupan, seorang muslim yakin akan mendapatkan balasan darinya. Jika tidak mendapatkan pahala, maka ia mendapatkan pengguguran dosa.
Artikel Hadits: Amalan Utama Ketika Gerhana Bulan atau Matahari
Kebahagiaan ini yang seharusnya dialami seorang muslim. Jika keimanan rapuh, ia mudah sedih, dan kesedihan adalah salah satu jeratan setan untuk mengendalikan manusia. Dengannya ia mudah terjerumus ke dalam perbuatan dosa lainnya.
Selain itu, dalam al-Quran ada perintah untuk tidak bersedih. Tertera dalam QS. Ali Imran,
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.” (QS. Āli ’Imrān: 139)
Seorang mukmin dengan keimanannya menduduki derajat tinggi. Karena tanpa iman, manusia adalah makhluk biasa. Kedudukan di surga juga meniscayakan orang yang memasukinya tidak bersedih hati,
“Tidak! Barang siapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Rabbnya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 112)
Bahkan, meski di situasi sesulit apa pun, jangan sampai kesedihan menguasai diri seorang muslim,
إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ فَأَنزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السفلى ۗ وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya,“Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Dan firman Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. At-Tawbah: 40)
Selain itu, bersedih hati juga termasuk jerat pintu setan untuk mengelabuhi dan mengendalikan hati manusia. Kesedihan dan rasa gundah termasuk di antara sifat Iblis,
إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu termasuk (perbuatan) setan, agar orang-orang yang beriman itu bersedih hati, sedang (pembicaraan) itu tidaklah memberi bencana sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah. Dan kepada Allah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal.” (QS. Al-Mujādilah: 10)
Tawakkal dan penuh harapan kepada Allah adalah kunci hidup bahagia di dunia. Seorang hamba yang bertawakal kepada Allah tidak akan risau dan waswas karena ia yakin bahwa semuanya sudah diatur oleh Allah, sehingga perhatiannya terfokus untuk beramal saleh dan berjariah, sebagai bekal untuk kehidupan kekalnya di akhirat.
Bahkan Nabi mengingatkan soal takdir,
وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
“Ketika kamu ditimpa musibah, jangan berkata, ‘Seandainya aku berbuat demikian dan demikian!’ Akan tetapi, katakanlah,‘Ini apa yang Allah tetapkan, setiap hal yang Dia kehendaki pasti terjadi.’” (HR. Muslim no. 2664)
Bagaimanapun takdir Allah adalah sesuai kehendak-Nya. Kita tidak perlu memikirkan, “Seharusnya begini dan begini”. Karena kata seharusnya itu hanya akan membuat hati gundah dan bersedih.
Begitu pula perihal kejahatan dan keburukan, semuanya akan dihisab. Jika tidak di dunia, maka di akhirat. Kita diperintahkan beramal, dan amal kita disaksikan oleh Allah subhanahu wata’ala.
Segala rasa sakit, rasa pedih, kehilangan harta, merasakan ketidakadilan, penindasan, ataupun bahkan harus kehilangan nyawa bukan hal terpenting.
Kepedihan akan sirna, sakit akan sembuh, dan kelak setelah kematian pun ada kehidupan. Tinggal pahala dan dosa yang tetap dan akan dipertanggungjawabkan.
Dunia disifati sebagai tempat senda gurau, dan pernak-perniknya adalah tipuan. Di dunia, orang bisa memanipulasi sehingga kejahatan seperti kebaikan, yang jahat dibebaskan yang baik dihukum. Itulah dunia yang penuh tipuan. Manusia tertipu dengan kemewahannya.
Allah subhanahu wata’la berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَّا يَجْزِي وَالِدٌ عَن وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَن وَالِدِهِ شَيْئًا ۚ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabbmu dan takutlah pada hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sungguh, janji Allah pasti benar, maka janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu teperdaya oleh penipu dalam (menaati) Allah.” (QS. Luqmān: 33)
Jika di dunia orang-orang yang berada di barisan kebenaran pun kadang masih risau, karena hakim bisa disogok oleh pelaku kejahatan, maka kelak di akhirat yang mengadili adalah Allah yang Mahaadil.
Pada hari itu, kebaikan akan tampak dan keburukan akan tampak. Segala ketidakadilan dan kezaliman yang biasa dan bisa dilakukan di dunia tidak bisa dilakukan. Semua akan diadili dan dihisab seadil-adilnya.
Dengan iman kepada hari berbangkit, membuat seorang muslim selalu bahagia di kehidupan ini, meski jika dilihat dari sudut pandang kenyamanan ia dalam kondisi yang kurang menguntungkan atau bahkan pada posisi yang bisa mengancam nyawanya.
Wallahu muwwafiq ilā aqwami Ṭarīq wa Nas’alullah al-āfiyah fi-dunyā wal- akhirah. (dakwah.id/syahidridwanullah)
Baca juga artikel Akidah atau artikel menarik lainnya karya Syahid Ridwanullah.
Artikel Akidah terbaru: