Istri Berbuat Nusyuz Begini Cara Menghadapinya-dakwah.id

Istri Berbuat Nusyuz? Begini Cara Menghadapinya

Terakhir diperbarui pada · 7,630 views

Dalam suasana seperti itu, suami dituntut harus cerdas dalam mengelola situasi. Suami dituntut harus bijaksana dalam mengambil setiap langkah keputusan. Suami harus adil dalam bersikap. Suami harus mengerti ilmunya ketika istri berbuat nusyuz.

***

Istri itu beda dengan suami. Istri itu memiliki tingkat kedewasaan akal dan kehati-hatian lebih rendah dari suami dalam menghadapi berbagai masalah. Kemampuan Istri dalam menahan penderitaan yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari jauh di bawah kemampuan suami. Istri lebih mudah menangis daripada suami. Tingkat kecemburuan istri juga lebih besar.

Oleh sebab itu, ketaatan istri kepada suami adalah sebuah kewajiban, bukan sekedar anjuran. Suami adalah pemimpin keluarga. Istri adalah rakyatnya, wajib taat kepada suami dalam keluarga. Taat dalam kebaikan, bukan taat dalam kemaksiatan.

Namun, belum tentu semua istri memiliki sifat penurut dan taat. Banyak sekali terjadi kasus pembangkangan istri terhadap perintah suami. Dalam literatur Islam, sikap pembangkangan dan ketidaktaatan istri terhadap suami dikenal dengan istilah Nusyuz.

Baca Juga: Iddah Perempuan Keguguran Dan Suami Wafat Itu Bagaimana?

Jika nusyuz ini sampai terjadi dalam kehidupan rumah tangga Anda, berarti rumah tangga Anda sedang dalam masalah besar. Dalam suasana seperti itu, suami dituntut harus cerdas dalam mengelola situasi. Suami dituntut harus bijaksana dalam mengambil setiap langkah keputusan. Suami harus adil dalam bersikap. Suami harus mengerti ilmunya ketika istri berbuat nusyuz.

Beruntung sekali saat ini Allah ‘azza wajalla meletakkan kita di atas garis takdir sebagai seorang Muslim. Umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dibekali dengan pedoman hidup yang super lengkap. Pedoman itu berupa firman-firman Allah yang tersusun dalam 114 surat. Problem solving dari seluruh pokok permasalahan dalam rumah tangga juga tercantum di dalamnya, termasuk masalah nusyuz.

Di antara susunan 114 surat dalam al-Quran, petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla dalam mengatasi nusyuz istri terhadap suami terdapat dalam surat an-Nisa’, tepatnya pada ayat ke-34. Silakan dibuka al-Qurannya.

Konsep global yang digunakan berdasar penjabaran surat an-Nisa ayat 34 adalah bertahap dalam memberikan sanksi. “Hendaknya suami memberi hukuman atau sanksi kepada istrinya dari tahapan yang ringan, lalu naik ke tahapan berikutnya,” demikian tutur Syaikh as-Sa’di saat menginterpretasi surat an-Nisa’ ayat 34 di atas (Tafsir Karimurrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, 1/177).

Dalam memahami tahapan yang harus dilakukan dalam proses menyadarkan ketika istri berbuat nusyuz, kita juga perlu melihat bagaimana praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mengimplementasikan ayat tersebut. Sehingga, menggabungkan pemahaman firman Allah surat an-Nisa’ ayat 34 dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi sebuah metode ngaji yang sangat fundamental dalam hal ini.

Baca Juga: Nadzar Belum Terlaksana, Ahli Waris Wajib Mewujudkannya?

Istri Berbuat Nusyuz, Nasehati Dia. Bimbing Dia

فَعِظُوهُنَّ

“..Maka, nasehatilah mereka…” (QS. An-Nisa’: 34)

Menasihati bukan perkara yang bisa dianggap mudah begitu saja. Agar tepat sasaran, menasihati perlu mempertimbangkan waktu. Suami dituntut untuk betul-betul bisa mencari celah waktu yang tepat untuk menasihati ketika istri berbuat nusyuz. Pilihan waktu yang salah, menjadikan nasehat yang sejatinya mampu mengubah sifat malah berbalik membuat istri tambah tidak taat.

Pilihan bahasa dan retorika berbicara juga memengaruhi kualitas nasehat. Seorang suami harus memiliki karakter santun dan lemah lembut dalam bertutur kata, terutama terhadap istri atau orang tua istri. Bukan dalam rangka untuk menggombal semata, namun, nasehat tanpa balutan kata yang sesuai akan tampak seolah tak bermakna. Didengar saja tak nyaman, apalagi dimaknai sampai menyentuh hati.

Dalam konsep Islam, konten nasehat itu terdiri dari dua unsur; at-Targhib dan at-Tarhib. At-Targhib memuat kalimat indah yang memotivasi istri dengan kepastian janji-janji Allah ‘azza wajalla, keutamaan istri shalihah, besarnya pahala ketaatan istri kepada suami, kabar-kabar baik seputar kewajiban istri kepada suami, dan sebagainya.

Sementara at-Tarhib memuat kalimat-kalimat ancaman Allah ‘azza wajalla kepada istri yang durhaka kepada suami, dahsyatnya siksaan bagi istri yang tidak taat kepada suami, kabar tentang betapa ngerinya azab Allah ‘azza wajalla terhadap para wanita yang menyimpang dari kewajibannya sebagai seorang istri, dan sebagainya.

Saat menjelaskan makna dari potongan firman Allah ‘azza wajalla, “…Maka, nasehatilah mereka…,” Ibnu Katsir mengatakan, “Hendaknya suami menasihatinya dan menakut-nakutinya dengan azab Allah atas perbuatannya yang menyimpang. Sebab Allah ‘azza wajalla telah mewajibkan kepada istri agar menaati suami, dan mengharamkan untuk durhaka, karena suami memiliki keutamaan yang lebih atas istrinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/493)

Konten nasehat berupa at-Targhib wa at-Tarhib juga dikemukakan oleh Imam asy-Syaukani saat menafsirkan ayat di atas. Yaitu, ingatkan istri terhadap kewajiban untuk menaati suami dan mempergaulinya dengan baik, memotivasi istri dengan balasan jannah jika menaati suami, dan ancamlah istri dengan azab Allah jika mendurhakai suami. (Fathul Qadir, 1/461)

Dalam menasihati istrinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering menggunakan bahasa kiasan dengan pilihan kata yang sangat menyentuh untuk memperlembut nasehat. Trik ini pernah beliau gunakan untuk meredam nusyuz Aisyah berupa kecemburuan terhadap istri beliau yang lain, Shafiyah, yang diwujudkan dalam ujaran tidak mengenakkan, “Shafiyah berpostur pendek!” Perbuatan nusyuz Aisyah ini ditimpali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kata-kata,

لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ

Sungguh, engkau telah mengucapkan kalimat yang sekiranya dicampur dengan air laut, niscaya ia akan mengubahnya.” (Sunan Abu Daud, 4/269, Sunan at-Tirmidzi, 4/660)

Baca Juga: Ingin Melamar Perempuan? Baca Ini Dulu

Masyarakat Arab sangat menyukai syair yang sarat dengan kiasan, peribahasa, dan majaz. Bagi mereka, penggunaan kiasan dalam tutur kata akan memberikan kesan khas tersendiri dibanding dengan kalimat biasa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin menegur Aisyah dengan bahasa sehalus mungkin namun tetap berkesan. Maksud dari kalimat di atas, ujaran singkat Aisyah yang merendahkan Shafiyah tadi dapat menimbulkan efek negatif bagi keharmonisan suasana keluarga beliau. Beliau mengilustrasikan rusaknya air laut yang luas akibat campuran ‘cairan’ ujaran singkat yang dituangkan Aisyah. “Nila setitik rusak susu sebelanga, kira-kira begitulah dalam peribahasa Nusantara.

Istri Berbuat Nusyuz, Pisah Ranjang Dengannya

وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ

“…Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka…” (QS. An-Nisa’: 34)

Sangat mungkin tak cukup hanya sekedar dihukum dengan nasehat lisan saat istri berbuat nusyuz. Jika kondisinya seperti ini, perlu solusi lanjutan. Dari nasehat lisan, sedikit meningkat ke level tindakan; pisah ranjang dengan istri.

Agaknya terkesan ekstrem dan tidak adil menegur perbuatan nusyuz dengan cara berpisah ranjang dengan istri. Namun sebenarnya tidak. Ukurannya adalah tingkat kedurhakaan istri. Semakin parah tingkat kedurhakaan dan pembangkangan istri terhadap suami, maka perlu ditingkatkan pula model hukuman suami untuk menyikapi perilaku istrinya tersebut.

Terkecuali dalam kasus-kasus tertentu yang memang dengan nasehat lisan saja sudah cukup untuk menyadarkan istri dari perilaku nusyuz. Ibarat batu, semakin keras komposisi batu, maka butuh alat yang semakin kuat pula untuk memecahkannya.

Penafsiran penggalan ayat “…Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka…” sangat lah beragam. Namun, seluruh perbedaan penafsiran para ulama tersebut mengarah pada satu maksud utama pemberian sanksi kepada istri yang berbuat nusyuz, yaitu dengan tidak tidur bersama istri di ranjang, atau membelakanginya ketika tidur bersamanya dalam satu ranjang, atau tidak berhubungan badan dengannya, atau tidak mengajaknya berbicara. Semua mengarah kepada satu makna; hajr. Hajr berarti meninggalkan atau menjauhi (Lisanul ‘Arab, 5/250).

Oleh Ibnu Katsir, Hajr dimaknai dengan tidak mengumpuli istri, tidak satu ranjang dengan istri, berpaling dari istri, dan tidak berbicara dengan istri. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/493)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mempraktikkan cara ini. Ketika beliau merahasiakan sesuatu kepada Hafshah, ternyata Hafshah malah menceritakannya kepada Aisyah. Lalu keduanya malah saling membantu menyusahkan posisi Nabi melalui beberan rahasia itu. Perilaku nusyuz Hafshah dan Aisyah inilah yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akhirnya mengambil jalan pisah ranjang dengan keduanya selama sebulan dalam rangka menyadarkan kedua istri beliau akan keburukan perilaku nusyuz tersebut. (Tafsir As-Sa’di, 1/177)

Baca Juga: Syarat Dan Rukun Pernikahan Yang Harus Anda Ketahui

Istri Berbuat Nusyuz, Pukul Lembut Dia

وَاضْرِبُوهُنَّ

“…Dan pukullah mereka…” (QS. An-Nisa’: 34)

Keliru jika memaknai “memukul istri” dalam ayat di atas dengan pukulan sebagaimana seorang petinju yang njotosi lawan tandingnya. “Memukul” dalam ayat tersebut maksudnya adalah memukul istri dengan pukulan yang tidak melukai dan tidak membahayakan. Pukulan yang mendidik, pukulan tak membekas, tanpa meninggalkan luka. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/493)

Kenapa sampai harus memukul istri? Karena istri berbuat nusyuz, sudah disadarkan dengan nasehat lisan, lalu pisah ranjang, namun itu belum juga menyadarkan istrinya dari tindakan nusyuz. Memukul istri adalah langkah ketiga dalam menyadarkan istri, setelah langkah pertama dan kedua sudah ditempuh, dan gagal.

Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memukul istrinya? Tidak, Rasulullah tak pernah memukul istrinya. Pernyataan ini diperkuat langsung oleh kesaksian Aisyah istri beliau. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tak pernah memukul siapa pun dengan tangannya, baik kepada istrinya atau kepada pembantunya, kecuali saat beliau berjihad di jalan Allah.” (HR. Ahmad No. 2209)

Artinya, dalam kehidupannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mendapati perbuatan istri-istri beliau yang membangkang (nusyuz) sampai pada tingkatan cara menyadarkannya harus dengan memukul. Pernah suatu kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menepuk, sedikit mendorong, bagian dada Aisyah dengan posisi tangan mengepal. Oleh para ulama fikih, tindakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini tidak dimaknai dengan memukul sebagaimana tafsir ayat di atas. Tindakan itu hanya sanksi ringan karena Aisyah telah berburuk sangka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (Hasyiyah as-Sindi ‘ala Sunan an-Nasa-i, 4/93)

Perbuatan nusyuz istri yang sudah mencapai tingkatan harus dengan sanksi pukulan, hendaknya tetap dilakukan dengan penuh cinta, niat mendidik, tanpa campur tangan hawa nafsu dan emosi. Semoga Allah senantiasa menjaga kita dan istri kita dari perbuatan-perbuatan buruk semacam nusyuz ini. Amin. (Sodiq Fajar/dakwah.id)

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

3 Tanggapan

Wanita banyak menyangkal dengan dalil2 yg menguntungkan mereka. Apalagi yg merasa berpenghasilan. Padahal suaminya berperan besar dalam hal tersebut.

Jazakallah atas uraian di atas

Amin. Semoga artikelnya bermanfaat dan berkah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *