Berlipat pahala, bertabur ampunan, dan peningkatan derajat takwa adalah janji pasti Allah subhanahu wata’ala di bulan suci Ramadhan. Inilah keutamaan Ramadhan.
Hingga bisa diibaratkan, Ramadhan bak kran yang mengalirkan air deras; air pahala yang mengisi bejana amalan, dan air penyuci yang mampu membilas bulir dosa yang melekat di badan.
Mungkin inilah salah satu alasan kenapa bulan Ramadhan kedatangannya selalu didamba, kehadirannya selalu dinanti, dan kehangatannya selalu dikagumi.
Bagi para pemburu ridha Allah, Ramadhan adalah momentum; momen untuk melipatgandakan pahala, momen untuk mengikis kerak dosa yang mengotori hati, dan momen meningkatkan nilai takwa di hadapan Ilahi.
Tak Semua Orang Berkesempatan Mendapat Keutamaan Ramadhan
Namun sayangnya, tidak ada kepastian bahwa tiga keutamaan Ramadhan tersebut dapat diraih oleh semua insan.
Demikian pula dengan tujuan dari perintah puasa Ramadhan, yaitu agar para hamba menjadi orang yang bertakwa atau menjadi lebih bertakwa. Menjadi orang bertakwa adalah harapan dari Allah subhanahu wata’ala, belum langsung menjadi kepastian.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan cukup menarik dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkami al-Quran tentang makna lafal “لَعَلَّ” pada ayat di atas. Ada tiga penafsiran atas lafal ini.
Artikel Tsaqafah: 4 Isyarat Ilmiah dalam Kisah Ashabul Kahfi
Pertama: kata ini masuk dalam bab at-Tarajji wa at-Tawaqqu’, artinya harapan, sedang harapan ditujukan kepada hamba yang mengerjakan.
Maka, dalam perintah puasa terdapat harapan Allah bahwa ketika seorang hamba mengerjakan puasa ia akan menjadi orang yang bertakwa, pendapat satu ini didukung oleh seorang ulama bahasa, Imam Syibawaih, abu al-Ma’ali, dan Imam al-Qurthubi sendiri.
Kedua, penggunaan istilah la’alla di masyarakat Arab mengandung makna indikasi adanya sebuah keraguan dalam ungkapan atau perkataan, yang diwakili dengan menggunakan lam kay (ل). Sehingga, penggunaan lafal ini dalam ayat di atas menunjukkan bahwa seruan Allah tentang tujuan diwajibkannya berpuasa mengandung ketidakpastian: apakah hamba tersebut bisa menjadi bertakwa, ataukah tidak.
Pendapat ini adalah pendapat Imam ath-Thabari.
Ketiga, la’alla adalah lafal yang bermakna at-Ta’arudh li asy-Syai’, yaitu untuk menunjukkan atau memperlihatkan suatu hal. Maka, perintah puasa Ramadhan ini jika dikerjakan oleh seseorang akan menunjukan bahwa orang tersebut bertakwa.
Dua dari tiga tafsiran di atas menunjukkan bahwa tidak ada sebuah kepastian bahwa semua orang akan mendapat ampunan, ganjaran, dan predikat takwa pada akhirnya.
Mengapa bisa demikian?
Sebab Kehilangan Keutamaan Ramadhan
Sebab dari gagalnya manusia menggapai keutamaan Ramadhan ini tak lain karena ulah manusia sendiri. Setiap dari diri manusia punya potensi menjadi penyebab tersebut; hati, lisan, hingga anggota badan.
Mulai dari hati, melupakan niat, baik lupa melafalkan niat atau keliru dalam meniatkan sebuah amalan; untuk Allah subhanahu wata’ala semata, atau untuk selain-Nya.
Itu semua akan mempengaruhi bagaimana nilai setiap ibadah yang dikerjakan di bulan Ramadhan.
Serial #MadrasahRamadhan: Visi dan Misi Madrasah Ramadhan
Selain itu, problematika kondisi hati yang masih menyimpan penyakit seperti iri, dengki, riya’, sum’ah, sombong, namimah, dan lain sebagainya sangatlah menjadi sebab seseorang kehilangan keutamaan Ramadhan.
Demikian juga lisan yang tak terjaga. Lisan yang masih menuruti perintah hawa nafsu juga menjadi sebab kehilangan keutamaan Ramadhan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
من لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Al-Bukhari No. 1903)
As-Suyuthi mengatakan bahwa az-Zuur adalah berkata dusta dan menfitnah (buhtan). Sedangkan mengamalkannya berarti melakukan perbuatan keji yang merupakan konsekuensinya yang telah Allah larang. (Syarh Sunan Ibnu Majah, 1/121)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ، إِنِّي صَائِمٌ
“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan laghwu dan rafats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al-Albani dalam Shahih At–Targib wa At–Tarhib No. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalam Fathul Bari (3/346), Al-Akhfasy mengatakan,
اللَّغْو الْكَلَام الَّذِي لَا أَصْل لَهُ مِنْ الْبَاطِل وَشَبَهه
“Lagwu adalah perkataan sia-sia dan semisalnya yang tidak berfaedah.”
Al-Azhari mengatakan,
الرَّفَث اِسْم جَامِع لِكُلِّ مَا يُرِيدهُ الرَّجُل مِنْ الْمَرْأَة
“Istilah rafats adalah istilah untuk setiap hal yang diinginkan laki-laki pada wanita.”
Pun dengan amal maksiat yang dikerjakan oleh anggota badan, perbuatan itu dapat menjadi sebab utama seseorang kehilangan keutamaan Ramadhan. Mulai dari mengerjakan hal-hal terlarang hingga meninggalkan apa yang diperintahkan.
Sampai-sampai muncul pertanyaan, bagaimana hukum seseorang yang melaksanakan puasa Ramadhan sementara ia meninggalkan shalatnya?
Artikel Fikih: Hukum Meninggalkan Shiyam Ramadhan Tanpa Udzur Syar’i
Maka, tak perlu jawaban berbelit, meminjam istilah dari ushul fiqih “mafhum muwafaqh” untuk menghukumi hal tersebut, jika seseorang setelah mengucapkan perkataan zuur sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, itu sudah cukup menjadi sebab pahala puasanya tidak ternilai dihadapan Allah. Apalagi sampai ia puasa tapi tidak shalat?
Wal akhir, jika Ramadhan diibaratkan aliran dan manusia adalah ember penampung. Maka, perbuatan maksiat yang dilakukan oleh hati, lisan, atau badan adalah paku tajam yang melubangi ember tersebut.
Pahala akan terus mengalir, namun ember tak akan pernah penuh. Jadilah amal puasa seorang hamba tidak tersisa kecuali lapar dan dahaga. Jadilah qiyam-nya di malam hari tak tersisa kecuali lelah dan kantuk sia-sia.
Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabada,
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar, dan betapa banyak orang yang mengerjakan qiyam di malam harinya namun tak mendapat apa-apa kecuali kantuk.” (HR. Ibnu Majah)
Sungguh kerugian yang amat besar.
Jadi, mari perbaiki lagi kualitas ibadah masing-masing. Jangan biarkan diri kita kehilangan keutamaan Ramadhan sedikit pun. Wallahu a’lam (Risdhi ar-Rasyid/dakwah.id)