Jenazah Tertimbun Tanah, Apakah Tetap Wajib Dishalatkan-dakwah.id

Jenazah Tertimbun Tanah, Apakah Tetap Wajib Dishalatkan?

Terakhir diperbarui pada · 3,309 views

Bencana alam berupa gempa bumi yang terjadi di Palu-Donggala pada Jumat (28/9/2018) menyisakan banyak persoalan. Gempa bumi bermagnitudo 7,4 skala richter di Sulawesi tengah tersebut mengakibatkan terjadinya tsunami setinggi 3 meter. Peristiwa yang paling mengerikan adalah fenomena ratusan rumah yang ditelan bumi. Banyak sekali jenazah tertimbun tanah di sana.

Dalam ilmu geologi, fenomena ratusan rumah yang ditelan bumi itu terjadi karena adanya likuifaksi tanah (soil liquefaction). Likuifaksi tanah atau pencairan tanah adalah fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, misalnya getaran gempa bumi atau perubahan ketegangan lain secara mendadak, sehingga tanah yang padat berubah wujud menjadi cairan atau air berat.

Adanya likuifaksi tanah pascagempa Palu kemarin mengakibatkan ratusan rumah ditelan bumi. Dalam video gempa Palu yang sempat viral, tampak tanah berjalan dengan sangat cepat sejauh kurang lebih 1 kilometer.

Berdasar laporan BNPB, 4 daerah alami likuifaksi pascagempa Palu. Yaitu Jl Dewi Sartika Palu Selatan, di Petobo, Biromaru (Sigi), di Sidera, (Sigi). Fenomena inilah yang mengakibatkan banyak jenazah tertimbun tanah dalam kisaran jumlah yang cukup besar.

Bagi keluarga korban yang tertimbun tanah, terkhusus yang muslim, tentu mereka berharap agar jenazah keluarga mereka segera ditemukan dan dievakuasi, untuk kemudian rawat, dishalatkan, lalu dimakamkan sesuai dengan aturan Islam.

Namun, pertanyaan muncul ketika ternyata jenazah tertimbun tanah tersebut sulit untuk dievakuasi. Apakah itu sudah dihukumi sebagai penguburan jenazah, ataukah masih ada tanggungan bagi kaum muslimin atau keluarganya untuk menyalati ratusan jenazah yang tertimbun tanah tersebut? Bagaimana fikih Islam menjawab persoalan ini?

 

Jenazah Tertimbun Tanah dan Masih Dapat Dievakuasi

Pada prinsipnya, jumhur ulama sepakat bahwa shalat jenazah itu hukumnya fardhu kifayah, setelah sebelumnya dimandikan dan dikafani. Maknanya, jika telah ada sebagian kaum muslimin yang menyalatinya, maka hukum wajib menyalati jenazah gugur dari diri muslim yang lain. Namun jika tidak ada satu pun umat Islam yang menyalati jenazah tersebut, maka beban doa menimpa kepada seluruh kaum muslimin saat itu.

Oleh sebab itu, hendaknya kaum muslimin saling bahu-membahu berusaha mengevakuasi jenazah-jenazah tertimbun tanah dengan usaha semaksimal mungkin.

Jika jenazah-jenazah tertimbun tanah tersebut dapat dievakuasi secara utuh, maka jenazah-jenazah tersebut diperlakukan sebagaimana normalnya aturan Islam; dimandikan, dikafani, dishalatkan, lalu dikuburkan.

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا فَقَالَ هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا لَا فَصَلَّى عَلَيْهِ ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى فَقَالَ هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا نَعَمْ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ قَالَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَصَلَّى عَلَيْهِ

Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadirkan kepada beliau satu jenazah agar dishalatkan. Maka Beliau bertanya, ‘Apakah orang ini punya hutang?’ Mereka berkata, ‘Tidak’. Maka Beliau menyalatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain kepada Beliau, maka Beliau bertanya kembali, ‘Apakah orang ini punya hutang?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Maka Beliau bersabda, ‘Shalatilah saudaramu ini’. Berkata, Abu Qatadah, ‘Biar nanti aku yang menanggung hutangnya’. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan jenazah itu. (HR. Al-Bukhari No. 2131) 

Palu Likuifaksi-dakwah.id

Jenazah Tertimbun Tanah Dapat Dievakuasi, tapi Hanya Potongannya Saja.

Dalam proses evakusi jenazah tertimbun tanah atau bangunan, terkadang yang dapat ditemukan oleh tim SAR hanyalah potongan tangan saja, potongan kaki saja, tubuh tanpa kepala, dan semisalnya.

Dalam kondisi fisik jenazah seperti itu, apakah organ tubuh jenazah tersebut tetap dishalatkan? Jika dishalatkan, bukankah itu hanya potongan jasad jenazah saja?

Dalam persoalan ini, pendapat ulama terbelah menjadi tiga.

Pertama, ulama mazhab Hanafi berpendapat, jenazah yang hanya potongan organ tubuh tersebut tetap dishalatkan jika ukuran potongannya lebih dari 50% dari keseluruhan badan, meskipun organ kepalanya tidak ada. Jika ukurannya kurang dari itu, maka potongan organ jenazah tersebut tak perlu dishalatkan. (Bada’i’ ash-Shana’i’, 2/313; Al-Mabsuth, 2/54)

Kedua, ulama mazhab Maliki berpendapat, potongan organ jenazah tersebut dishalatkan jika ukurannya 2/3 dari keseluruhan jasad jenazah. Jika kurang dari itu, maka tidak perlu dishalatkan. (Al-Mudawwanah, 1/275; Hasyiyah ad-Dasuki, 1/676)

Ketiga, ulama mazhab Syafi’i, mazhab Hanbali, dan mazhab Zhahiri berpendapat, potongan organ jenazah tersebut dishalatkan baik ukurannya besar atau pun kecil, jika telah diyakini bahwa sisa potongan jasad tersebut telah meninggal. Kemudian shalatnya dilaksanakan dengan niat menyalati seluruh jasad jenazah. (Al-Majmu’, 5/151; Al-Mughni, 3/480; Al-Muhalla, 5/96)

Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat yang rajih adalah pendapat ulama mazhab Syafi’i, mazhab Hanbali, dan mazhab Zhahiri. Yakni, potongan organ jenazah tersebut tetap dishalatkan.

Tapi sebelumnya, jika ternyata ditemukan pasangan dari potongan organ jenazah tersebut, maka potongan-potongan tersebut disatukan terlebih dahulu.

Jika ternyata potongan organ jenazah lainnya ditemukan dan diketahui telah dishalatkan, maka potongan tersebut cukup dikubur setelah dimandikan dan dikafani, tanpa perlu menyalatinya lagi.

Jika potongan organ jenazah tersebut belum dishalati dan masih mungkin digabungkan dengan potongan organ lain yang telah dahulu ditemukan, maka hendaknya potongan organ jenazah tersebut disatukan kemudian dishalati.

Namun jika memang tidak ditemukan potongan lain yang melengkapi potongan organ jenazah tersebut dan belum yakin organ tersebut sudah dishalati atau belum, maka yang paling rajih adalah pendapat sebagaimana yang dikemukakan oleh mazhab Syafi’i, mazhab Hanbali, dan mazhab Zhahiri. (Al-Mustajadad Fi Kitab al-Janaiz, ‘Ayidh bin Muafa bin Jam’an al-Jad’ani, 295)

 

Jenazah Tertimbun Tanah dan Tidak Dapat Dievakuasi, Tapi Dapat Dipastikan Lokasinya

Jika jenazah tertimbun tanah berada di area lokasi yang dapat diketahui secara pasti, namun tim penyelamat kesulitan untuk mengevakuasi mereka setelah mengerahkan segala cara dan usaha, maka jenazah-jenazah tersebut tetap dishalatkan secara massal dalam kondisi mereka sudah tertimbun tanah.

Caranya, kaum muslimin yang hendak menyalatkan jenazah tertimbun tanah tersebut berdiri membentuk shaf menghadap kiblat di tempat di mana area tertimbunnya jenazah berada di hadapan mereka. Kemudian melaksanakan shalat jenazah. Tata cara shalatnya sama seperti tata cara shalat jenazah pada normalnya.

Begitu penjelasan salah seorang ulama Sudan, Syaikh ash-Shadiq Abu Abdillah al-Hasyimi, ketika kami bertanya langsung tentang persoalan ini via pesan tertulis. Beliau menambahkan, jenazah tertimbun tanah lebih utama untuk dishalatkan dengan cara di atas dari pada dengan cara shalat ghaib.

Persoalan ini berbeda dengan persoalan cara menyalatkan jenazah yang meninggal karena tenggelam.

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid fakkallahu asrah  dalam salah satu jawabannya menjelaskan, jika seseorang ditemukan atau berhasil dievakuasi dan meninggal karena tenggelam, maka wajib untuk dimandikan jenazahnya, lalu dikafani, kemudian dishalatkan.

Beliau melanjutkan, namun jika ternyata jenazah yang tenggelam itu tidak dapat ditemukan, maka wajib untuk dishalatkan dengan cara shalat ghaib. Sebab, shalat janazah itu hukumnya fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan. Maka, (sebagian) kaum muslimin berdiri membentuk shaf yang dipimpin oleh seorang imam, lalu melaksanakan shalat jenazah (shalat ghaib) seolah-olah jenazah tersebut berada di hadapan mereka.

Apakah boleh menyalatkan beberapa jenazah dengan sekali shalat? Boleh. Jumhur ulama fikih sepakat bahwa jika terdapat banyak sekali jenazah, boleh menyalatkan jenazah-jenazah itu dengan satu shalat jenazah. (Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 16/32; Ahkamul Janaiz, Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, 258)

Dalilnya hadits Ibnu Juraij, ia berkata,

سَمِعْتُ نَافِعًا يَزْعُمُ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ صَلَّى عَلَى تِسْعِ جَنَائِزَ جَمِيعًا

Aku mendengar Nafi’ menganggap bahwa Ibnu Umar pernah menyalati sembilan orang jenazah secara bersama.” (HR. An-Nasa’i No. 1952) 

Dalam hadits yang lain, dari Yahya bin Shabih, ia berkata,

حَدَّثَنِي عَمَّارٌ مَوْلَى الْحَارِثِ بْنِ نَوْفَلٍ أَنَّهُ شَهِدَ جَنَازَةَ أُمِّ كُلْثُومٍ وَابْنِهَا فَجُعِلَ الْغُلَامُ مِمَّا يَلِي الْإِمَامَ فَأَنْكَرْتُ ذَلِكَ وَفِي الْقَوْمِ ابْنُ عَبَّاسٍ وَأَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ وَأَبُو قَتَادَةَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ فَقَالُوا هَذِهِ السُّنَّةُ

Telah menceritakan kepadaku ‘Ammar mantan budak al-Harits bin Naufal, bahwa ia menyaksikan jenazah Ummu Kultsum dan anaknya. Anak diletakkan setelah (di belakang posisi) imam, kemudian aku mengingkari hal tersebut dan di antara mereka terdapat Ibnu Abbas dan Abu Sa’id Al Khudhri, Abu Qatadah serta Abu Hurairah, dan mereka mengatakan hal ini adalah sunnah.” (HR. Abu Daud No. 2778) 

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan,

وَلَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي جَوَازِ الصَّلَاةِ عَلَى الْجَنَائِز، دَفْعَةً وَاحِدَةً، وَإِنْ أَفْرَدَ كُلَّ جِنَازَةٍ بِصَلَاةٍ جَازَ

“Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang bolehnya menyalatkan beberapa jenazah dengan sekali shalat. Meski jika ingin menyalatkan masing-masing jenazah juga boleh.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, 2/419)

Mari sama-sama membantu para korban bencana alam dan berdoa agar Allah ‘azza wajalla senantiasa meringankan beban saudara-saudara kita yang ditimpa musibah di mana pun mereka berada, dan semoga Allah ‘azza wajalla senantiasa mengampuni dosa-dosa kita baik yang disengaja atau pun yang tidak disengaja. Wallahu a’lam. (Sodiq Fajar/dakwah.id)

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *