Gambar Jumlah Rakaat Shalat Tarawih itu 11 atau 23 Dakwah.id

Jumlah Rakaat Shalat Tarawih itu 11 atau 23?

Terakhir diperbarui pada · 582 views

Debat kusir tentang jumlah rakaat shalat Tarawih sering kali mencuat di tengah umat Islam pada bulan suci Ramadhan.

Tidak jarang keberkahan bulan Ramadhan dinodai oleh ejekan, cemoohan, bully-an, dan ghibah-an orang-orang awam di medsos terhadap pihak-pihak yang berbeda pendapat dengan mereka dalam persoalan jumlah rakaat shalat Tarawih.

Bagaimana sebenarnya duduk perkara dalam masalah ini?

Tarawih dan Witir Lebih dari 11 Rakaat, Bid’ah?

Ulama hadits kontemporer, yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) dan murid-muridnya berpendapat shalat Tarawih itu harus delapan rakaat dan shalat Witir adalah tiga rakaat. Menurut mereka shalat Tarawih dan shalat Witir lebih dari sebelas rakaat adalah bid’ah.

Mereka berargumen dengan hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim:

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ: كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ؟ قَالَتْ: مَا كَانَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‌يَزِيدُ ‌فِي ‌رَمَضَانَ، ‌وَلَا ‌فِي ‌غَيْرِهِ، عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً. يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ. ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ. ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا.

Dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwasanya ia bertanya kepada Aisyah radhiyallahu anha, “Bagaimana tata cara shalat malam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada bulan Ramadhan?”

 Aisyah radhiyallahu anha menjawab, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak pernah melakukan shalat malam, dalam bulan Ramadhan maupun luar Ramadhan, lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, janganlah engkau menanyakan lama dan bagusnya shalat beliau. Lalu beliau shalat empat rakaat, janganlah engkau menanyakan lama dan bagusnya shalat beliau. Lalu beliau shalat Witir tiga rakaat.” (HR. Al-Bukhari no. 1147; HR. Muslim no. 738)

Syaikh Muhammad bin Nashiruddin al-Albani menuangkan pendapat tersebut dalam bukunya yang berjudul Risâlatu Shalâti at-Tarâwîh.

Pendapat Syaikh al-Albani terkait jumlah rakaat shalat Tarawih tersebut diikuti oleh sebagian muridnya. Di antaranya adalah Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari (w. 1442 H), yang menulis risalah sejenis.

Ijmak Salaf tentang Jumlah Rakaat Shalat Tarawih Tidak Seperti itu

Pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah dan murid-muridnya tersebut adalah sebuah pendapat yang “sangat baru”. Boleh dikata, pendapat seperti itu baru muncul pada abad 15 H/20 M.

Sebelumnya di tengah kaum muslimin belum muncul ulama fikih yang mengeluarkan pendapat “aneh” seperti itu. Sebab, seluruh ulama salaf dan khalaf berpendapat shalat Tarawih tidak memiliki batasan jumlah rakaat. Selama ia dilakukan dalam bilangan genap dan tiap dua rakaat melakukan salam, maka boleh dilakukan.

Ini adalah pendapat lima imam mazhab: (1) Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit, (2) Malik bin Anas, (3) asy-Syafi’i, (4) Ahmad bin Hambal, dan (5) Daud bin Ali azh-Zhahiri.

Imam at-Tirmidzi (w. 279 H) berkata,

«وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‌عِشْرِينَ ‌رَكْعَةً، وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ وَابْنِ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيِّ.

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: وَهَكَذَا أَدْرَكْتُ بِبَلَدِنَا بِمَكَّةَ يُصَلُّونَ ‌عِشْرِينَ ‌رَكْعَةً.»

“Mayoritas ulama mengikuti riwayat dari Umar bin Khatthab, Ali bin Abi Thalib, dan para sahabat lainnya, yaitu shalat Tarawih dua puluh rakaat. Ini juga merupakan pendapat Imam Sufyan ats-Tsauri, Abdullah bin Mubarak, dan asy-Syafi’i. Asy-Syafi’i berkata, ‘Saya mendapati di negeri kami, Makkah, mereka melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat.’” (Sunan at-Tirmidzi, penjelasan at-Tirmidzi atas hadits no. 806)

Imam Ibnu Abdil Barr al-Maliki al-Andalusi (w. 463 H) berkata,

فَلَا خِلَافَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ أَنَّ صَلَاةَ اللَّيْلِ لَيْسَ فِيهَا حَدٌّ مَحْدُودٌ وَأَنَّهَا نَافِلَةٌ وَفِعْلُ خَيْرٍ وَعَمَلُ بِرٍّ فَمَنْ شَاءَ اسْتَقَلَّ وَمَنْ شَاءَ اسْتَكْثَرَ.

“Tidak ada perbedaan pendapat di antara (ulama mujtahid) kaum muslimin bahwasanya shalat malam itu tidak memiliki batasan jumlah rakaat tertentu, dan bahwasanya shalat malam adalah amalan sunah, amal kebajikan, serta amal ketaatan.

Barang siapa ingin, ia boleh melakukan shalat malam dengan jumlah rakaat yang sedikit (minimalnya adalah dua rakaat, penj.). Dan barang siapa ingin, ia boleh melakukan shalat malam dengan jumlah rakaat yang banyak.” (At-Tamhîd li-Mâ fî al-Muwaththa min al-Maânî wa al-Asânîd, 21/70)

Baca juga: 12 Keutamaan Shalat Malam dalam Al-Quran dan Hadits Shahih

Qadhi Iyadh bin Musa al-Yahshubi al-Maliki (w. 544 H) menulis, dan dikutip serta disetujui oleh Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676 H):

وَلَا خِلَافَ أَنَّهُ لَيْسَ فِي ذَلِكَ حَدٌّ لَا يُزَادُ عَلَيْهِ وَلَا يَنْقُصُ مِنْهُ وَأَنَّ صَلَاةَ اللَّيْلِ مِنَ الطَّاعَاتِ الَّتِي كُلَّمَا زَادَ فِيهَا زَادَ الْأَجْرُ.

“Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwasanya dalam jumlah rakaat shalat malam itu tidak ada batasan pasti, yang tidak boleh ditambah dari batasan tersebut maupun tidak boleh dikurangi dari batasan tersebut. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa shalat malam termasuk amal ketaatan, yang semakin banyak jumlah rakaatnya, niscaya pahalanya juga semakin banyak.” (Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 6/19)

Imam Alauddin Mas’ud bin Abu Bakr al-Kasani al-Hanafi (w. 587 H) menulis:

وَالصَّحِيحُ قَوْلُ الْعَامَّةِ لِمَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ جَمَعَ أَصْحَابَ رَسُولِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ فَصَلَّى بِهِمْ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَلَمْ يُنْكِرْ أَحَدٌ عَلَيْهِ فَيَكُونُ إجْمَاعًا مِنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ.

“Pendapat yang lebih benar adalah pendapat mayoritas ulama, berdasarkan riwayat bahwa khalifah Umar bin Khatthab mengumpulkan seluruh sahabat radhiyallahu anhum dalam bulan Ramadhan untuk bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab. Maka Ubay bin Ka’ab mengimami mereka pada setiap malam sebanyak dua puluh rakaat. Tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkarinya. Maka hal itu menjadi ijmak generasi sahabat.” (Badai ash-Shanai fi Tartib asy-Syarai’, 2/272)

Imam Ibnu Rusyd al-Maliki al-Andalusi (w. 595 H) berkata,

فَاخْتَارَ مَالِكٌ فِي أَحَدِ قَوْلَيْهِ، وَأَبُو حَنِيفَةَ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَدَاوُد: الْقِيَامَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً سِوَى الْوِتْرِ، وَذَكَرَ ابْنُ الْقَاسِمِ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ كَانَ يَسْتَحْسِنُ سِتًّا وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ ثَلَاثٌ.

“Imam Malik dalam salah satu dari dua pendapat beliau, juga Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Daud bin Ali azh-Zhahiri berpendapat jumlah rakaat shalat Tarawih itu dua puluh rakaat, belum terhitung witir. Ibnu Qasim meriwayatkan bahwa Imam Malik (dalam salah satu dari dua pendapatnya) lebih memilih Tarawih 36 rakaat dan Witir tiga rakaat.”(Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, 2/460)

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hambali (w. 620 H) menyatakan,

وَرَوَى مَالِكٌ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ، قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَنِ عُمَرَ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً. وَعَنْ عَلِيٍّ، أَنَّهُ أَمَرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِهِمْ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً. وَهَذَا كَالْإِجْمَاعِ.

“Imam Malik meriwayatkan dari Yazid bin Ruman, yang berkata, ‘Penduduk pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab menunaikan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan sebanyak 23 rakaat. Dalam riwayat lain, Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan seorang ulama penghafal al-Quran untuk mengimami shalat Tarawih masyarakat pada bulan Ramadhan sebanyak dua puluh rakaat.’ Hal ini sama nilainya dengan ijmak (karena tidak adanya pengingkaran dari seorang pun ulama sahabat dan tabiin pada zaman itu, penj.).” (Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Khiraqi, 2/604)

Imam Zainuddin al-Iraqi asy-Syafi’I (w. 806 H) menulis:

وَبِهَذَا أَخَذَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَالثَّوْرِيُّ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَالْجُمْهُورُ. وَرَوَاهُ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ فِي مُصَنَّفِهِ عَنْ عُمَرَ، وَعَلِيٍّ، وَأُبَيُّ، وَشُكَيْلِ بْنِ شَكَلٍ، وَابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، وَالْحَارِثِ الْهَمْدَانِيُّ، وَأَبِي الْبَخْتَرِيِّ. قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ وَهُوَ الِاخْتِيَارُ عِنْدَنَا انْتَهَى. وَعَدُّوا مَا وَقَعَ فِي زَمَنِ عُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ كَالْإِجْمَاعِ.

“Pendapat ini (jumlah rakaat shalat Tarawih dan Witir 23 rakaat) diambil oleh Imam Abu Hanifah, Sufyan ats-Tsauri, asy-Syafii, Ahmad, dan mayoritas ulama salaf. Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkannya dalam kitab haditsnya, Mushannaf Ibni Abi Syaibah, dari riwayat Umar bin Khatthab, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Syukail bin Syakal, Ibnu Abi Mulaikah, al-Harits al-Hamdani, dan Abu al-Bakhtari.

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr berkata, ‘Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan menjadi pendapat yang dipilih oleh mazhab kami (yaitu mazhab Maliki). Mereka menganggap amalan generasi sahabat pada zaman Khalifah Umar tersebut sama nilainya seperti ijmak ulama.’” (Tharhu at-Tatsrib fi Syarh at-Taqrib, 3/97)

Landasan Ijmak Generasi Salaf

Ijmak generasi sahabat dan tabiin ini didasarkan kepada dalil-dalil sebagai berikut.

Dalil Pertama: Ayat-Ayat Al-Quran

Ayat-ayat al-Quran menjadikan lamanya waktu shalat malam sebagai standar penilaian keutamaan shalat malam. Semakin lama durasi shalat malam, maka semakin utama, semakin terpuji, dan semakin besar pahalanya.

Orang yang melaksanakan shalat malam selama 1 jam tidaklah sama nilainya dengan orang yang melaksanakan shalat malam selama 10 menit. Orang yang melaksanakan shalat malam selama 1 jam tentu tidak sama dengan orang yang melaksanakan shalat 3 jam, dan seterusnya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا (3) أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا (4)

Wahai orang yang berkelumun (Nabi Muhammad), bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil, (yaitu) seperduanya, kurang sedikit dari itu, atau lebih dari (seperdua) itu. Bacalah al-Quran itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzammil: 1—4)

وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا

Pada sebagian malam bersujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada malam yang panjang.” (QS. Al-Insan: 26)

كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ (17) وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (18)

Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam; dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzariyat: 17—18)

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا (63) وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا (64)

Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, ‘Salam.’ Dan, orang-orang yang mengisi waktu malamnya untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri.” (QS. Al-Furqan: 63—64)

Ayat yang semakna dengannya adalah as-Sajdah [32]: 16; al-Isra’ [17]: 79; az-Zumar [39]: 9;  dan Ali Imran [3]: 113.

Dalil Kedua: Hadits-Hadits Shahih

Hadits-hadits shahih menjadikan lamanya durasi waktu shalat malam sebagai standar penilaian keutamaan shalat malam.

Di antaranya adalah:

عَنْ عَبْدِ اللّٰهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إِلَى اللّٰهِ صِيَامُ دَاوُدَ. وَأَحَبَّ الصَّلَاةِ ‌إِلَى اللّٰهِ ‌صَلَاةُ ‌دَاوُدَ (عَلَيْهِ السَّلَامُ). كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ. وَيَقُومُ ثُلُثَهُ. وَيَنَامُ سُدُسَهُ. وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا.

Abdullah bin Amru bin Ash radhiyallahu anhuma meriwayatkan, Rasulullah shallalahu alaihi wasallam bersabda, “Shalat sunah yang paling dicintai Allah adalah shalat Nabi Daud alaihissalam dan shaum sunah yang paling dicintai Allah adalah shaum Nabi Daud.

Nabi Daud biasa tidur setengah malam, lalu bangun dan mengerjakan shalat sepertiga malam, lalu tidur kembali seperenam malam. Nabi Daud melakukan shaum satu hari dan tidak shaum pada hari berikutnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1131; HR. Muslim no. 1159)

Shalat malam Nabi Daud ‘alaihissalam adalah shalat malam terbaik, menurut penegasan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam, dalam hadits shahih di atas.

Shalat malam selama 1/3 malam (durasinya sekitar 3 jam) tersebut bisa dilakukan dengan dua cara:

Cara Pertama

Berdiri lama pada setiap rakaatnya dengan membaca surat al-Quran yang panjang, meskipun jumlah rakaatnya sedikit.

Cara ini dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam saat shalat malam sendirian, atau saat beliau mengimami segelintir sahabat, seperti Hudzaifah bin Yaman, Abdullah bin Mas’ud, dan Ibnu Abbas radhiyallahu anhum.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membaca Surat al-Baqarah, Ali ‘Imran, dan an-Nisa` (lebih dari lima juz) dalam satu rakaat dengan bacaan yang tartil. Hadits tentang hal itu diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Karena satu rakaat membaca sekitar lima juz, maka dalam satu malam beliau hanya shalat malam sebanyak dua hingga delapan rakaat saja.

Cara shalat malam seperti ini juga didasarkan kepada hadits shahih:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْضَلُ الصَّلَاةِ ‌طُوْلُ ‌الْقُنُوْتِ.

Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari radhiyallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah shallalahu alaihi wasallam bersabda, “Shalat yang paling utama adalah yang lama berdiri.” (HR. Muslim no. 756)

Cara Kedua

Shalat malam dilakukan dengan cara berdiri lebih singkat pada setiap rakaatnya dengan membaca surat al-Quran yang lebih pendek, namun memperbanyak jumlah rakaat.

Cara ini didasarkan kepada beberapa hadits shahih, di antaranya:

عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ كَعْبٍ الأَسْلَمِيُّ قَالَ: كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ. فَقَالَ لِي: سَلْ. فَقُلْتُ: أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ. قَالَ: أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ؟ قُلْتُ: هُوَ ذَاكَ. قَالَ: فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ ‌بِكَثْرَةِ ‌السُّجُودِ.

Dari Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami radhiyallahu anhu, ia berkata, “Saya menginap bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada malam hari, saya menyiapkan air wudhu beliau dan segala keperluan beliau saat terbangun malam.

Beliau bersabda kepadaku, ‘Mintalah sesuatu kepadaku!’

Aku menjawab, ‘Saya memohon agar bisa menemani Anda di surga kelak.’

Beliau bertanya, ‘Adakah keperluan lain selain permintaan ini?’

Aku menjawab, ‘Cukup satu permintaan ini saja.’

Beliau bersabda, ‘Jika begitu, bantulah aku dalam meluluskan keinginanmu itu dengan cara engkau memperbanyak sujud (yaitu memperbanyak rakaat shalat sunahmu).’” (HR. Muslim no. 489)

Dalil lainnya adalah pesan Rasulullah shallallah alaihi wasallam kepada Tsauban radhiyallahu anhu, mantan budak yang beliau merdekakan,

عَلَيْكَ ‌بِكَثْرَةِ ‌السُّجُودِ ‌لِلَّهِ. فَإِنَّكَ لَا تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلَّا رَفَعَكَ اللّٰهُ بِهَا دَرَجَةً. وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيْئَةً.

Hendaklah engkau memperbanyak sujud (yaitu memperbanyak rakaat shalat sunah)! Sebab, sesungguhnya engkau tidak melaksanakan satu sujud pun kepada Allah melainkan dengannya Allah meninggikanmu satu derajat dan menghapuskan darimu satu kesalahan.” (HR. Muslim no. 488)

Dalil Ketiga: Nabi pernah shalat malam lebih dari sebelas rakaat

Nabi pernah melaksanakan shalat malam lebih dari sebelas rakaat. Perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tersebut telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari beberapa orang sahabat.

Di antaranya, oleh Aisyah radhiyalahu anha, Ibnu Abbas, dan Zaid bin Khalid al-Juhani.

عَنِ ‌ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَتْ صَلَاةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‌ثَلَاثَ ‌عَشْرَةَ ‌رَكْعَةً، يَعْنِي بِاللَّيْلِ.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wasallam biasa mengerjakan shalat malam tiga belas rakaat.” (HR. Al-Bukhari no. 1138; HR. Muslim no. 764)

عَنْ ‌عَائِشَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِاللَّيْلِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، ثُمَّ يُصَلِّي إِذَا سَمِعَ النِّدَاءَ ‌بِالصُّبْحِ ‌رَكْعَتَيْنِ ‌خَفِيفَتَيْنِ.

Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengerjakan shalat malam tiga belas rakaat, lalu saat beliau mendengar azan Subuh, beliau segera mengerjakan dua rakaat shalat sunah yang ringan (yaitu shalat sunah fajar—qabliyah Subuh).” (HR. Al-Bukhari no. 1170)

Hadits Aisyah ini menunjukkan bahwa tiga belas rakaat shalat malam (Tahajud dan Witir) tersebut belum termasuk di dalamnya dua rakaat shalat sunah fajar.

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: لَأَرْمُقَنَّ صَلَاةَ رَسُولِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّيْلَةَ. فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ. ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ. ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا. ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا. ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا.ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا. ‌ثُمَّ ‌أَوْتَرَ. ‌فَذَلِكَ ‌ثَلَاثَ ‌عَشْرَةَ ‌رَكْعَةً.

Dari Zaid bin Khalid al-Juhani radhiyallahu anhu, ia berkata, “Sungguh saya akan mengamati shalat malam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada malam hari ini. Ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukan shalat dua rakaat yang ringan (yaitu shalat pembuka setelah bangun malam). Beliau kemudian melaksanakan shalat malam dua rakaat yang sangat amat panjang. Rasulullah lalu melaksanakan dua rakaat shalat malam yang sangat panjang, namun lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya.

Kemudian, Rasulullah melaksanakan shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya. Beliau kemudian melaksanakan shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya. Rasulullah kemudian melaksanakan shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya. Beliau lalu melaksanakan shalat witir (satu rakaat). Itulah tiga belas rakaat shalat malam beliau.” (HR. Muslim no. 765)

Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani ini menunjukkan bahwa tiga belas rakaat shalat malam (Tahajud dan Witir) tersebut berupa dua belas rakaat Tahajud dan satu rakaat Witir. Sesuai zhahir hadits ini, sebagian ulama menyatakan tiga belas rakaat ini termasuk dua rakaat ringan sebagai pembuka shalat malam.

Baca juga: Qiyamul Lail Beda dengan Shalat Tahajud, Baru Tahu? Baca Ini

Yang jelas, dua rakaat ringan sebagai pembuka itu dilaksanakan setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bangun malam, sehingga terhitung bagian dari shalat Tahajud (shalat malam).

Kesimpulannya, ketiga hadits shahih di atas menegaskan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melaksanakan shalat malam sebanyak tiga belas rakaat. Hal itu beliau kerjakan setelah bangun malam, seperti ditegaskan dalam hadits sahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma tentang shalat malam di rumah ummul mukminin Maimunah radhiyallahu anha (HR. Al-Bukhari no. 992; HR. Muslim no. 763).

Dalil Keempat: Dalil-dalil Umum

Dalil-dalil umum memperbolehkan shalat malam tanpa batasan jumlah rakaat. Di antaranya, hadits shahih berikut ini:

عَنِ ‌ابْنِ عُمَرَ : أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ، فَقَالَ رَسُولُ اللّٰهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: ‌صَلَاةُ ‌اللَّيْلِ ‌مَثْنَى ‌مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى.

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma bahwasanya seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang (jumlah rakaat) shalat malam. Maka beliau berkata, “Shalat malam itu setiap dua rakaat mengucapkan salam, setiap dua rakaat mengucapkan salam. Adapun jika salah seorang di antara kalian khawatir waktu Subuh telah tiba, hendaknya ia melakukan witir satu rakaat sebagai penutup dari seluruh rakaat shalat malam yang ia telah lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 990, 1137; HR. Muslim no. 749)

Dalil lainnya adalah hadits shahih tentang perintah memperbanyak sujud, hadits shahih bahwa setiap sujud akan mengangkat derajat dan menghapuskan kesalahan, serta hadits shahih yang menegaskan bahwa shalat malam Nabi Daud ‘alaihis salam adalah shalat yang paling dicintai Allah Ta’ala.

Dalil Kelima: Amalan yang berlangsung pada era generasi sahabat dan tabiin

Amalan yang berlangsung pada era generasi sahabat dan tabiin disebutkan dalam riwayat-riwayat sebagai berikut.

عَنْ يَزِيْدَ بْنِ رُوْمَانَ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ فِيْ رَمَضَانَ ‌بِثَلَاثٍ ‌وَعِشْرِيْنَ ‌رَكْعَةً.

Dari Yazid bin Ruman, ia berkata, “Penduduk (yaitu generasi sahabat dan tabiin) pada masa Khalifah Umar bin Khatthab melakukan shalat Tarawih dan shalat Witir pada bulan Ramadhan 23 rakaat.” (HR. Malik no. 5; HR. Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra no. 4680)

عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ: كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً. قَالَ: ‌وَكَانُوا ‌يَقْرَءُونَ ‌بِالْمِئِينِ، وَكَانُوا يَتَوَكَّئُونَ عَلَى عِصِيِّهِمْ فِي عَهْدِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ مِنْ شِدَّةِ الْقِيَامِ.

Dari Saib bin Yazid, ia berkata, “Penduduk (yaitu generasi sahabat dan tabiin) pada masa Khalifah Umar bin Khatthab melakukan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat. Para imam Tarawih pada zaman itu membaca surat-surat miîn (surat-surat yang terdiri sekitar 100-an ayat) pada setiap rakaat. Pada zaman Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, penduduk sampai berdiri dengan bertumpu pada tongkat karena panjangnya bacaan pada setiap rakaat Tarawih.” (HR. Al-Baihaqi no. 4617)

Hadits ini dinilai sahih oleh para ulama hadits. Di antaranya, Imam an-Nawawi asy-Syafi’I (w. 676H) dalam al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, Imam Jamaluddin az-Zaila’i al-Hanafi (w. 762 H) dalam Nashbur Raayah fi Takhrij Ahâdîts al-Hidâyah, as-Subki asy-Syafi’i dalam Syarh al-Minhaj, Zainuddin al-Iraqi asy-Syafi’i (w. 806 H) dalam Tharhu at-Tatsrib Syarh at-Taqrîb, Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H), dan Mulla Sulthan Ali al-Qari al-Hanafi.

عَنْ دَاوُدَ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: أَدْرَكْتُ النَّاسَ بِالْمَدِيْنَةِ فِيْ زَمَنِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ وَأَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ يُصَلُّوْنَ (سِتًّا) ‌وَثَلَاثِيْنَ ‌رَكْعَةً وَيُوْتِرُوْنَ بِثَلَاثٍ.

Daud bin Qais berkata, “Saya mendapati masyarakat di Madinah pada masa pemerintahan Gubernur Umar bin Abdul Aziz dan Gubernur Abban bin Utsman bin Affan (yaitu pada zaman tabiin, era pemerintahan Daulah Umawiyah) melaksanakan Tarawih 36 rakaat dan Witir tiga rakaat.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 7899)

Madinah pada masa itu merupakan negeri tempat tinggal generasi sahabat Muhajirin dan Anshar serta anak keturunan mereka dari generasi tabiin. Ratusan ulama Muhajirin, Anshar, dan tabiin tinggal di Madinah pada masa itu. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengingkari shalat Tarawih 36 rakaat tersebut.

عَنْ أَبِي الْخَصِيْبِ قَالَ: كَانَ يَؤُمُّنَا سُوَيدُ بْنُ غَفَلَةَ فِيْ رَمَضَانَ فيُصَلِّى خَمْسَ تَرْوِيحَاتٍ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً.

Abu al-Khashib berkata, “Suwaid bin Ghaflah radhiyallahu anhu mengimami kami shalat Tarawih pada malam bulan Ramadhan. Beliau melaksanakan lima kali tarwihah (setiap empat rakaat disebut satu tarwihah, penj.), yaitu dua puluh rakaat shalat Tarawih.” (HR. Al-Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir no. 232; HR. Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra no. 4619)

عَنْ ‌شُتَيْرِ ‌بْنِ ‌شَكَلٍ، وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ، أَنَّهُ كَانَ يَؤُمُّهُمْ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً، وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ.

Dari Syutair bin Syakal, salah seorang murid Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, bahwasanya ia mengimami masyarakat shalat Tarawih pada malam bulan Ramadhan sebanyak dua puluh rakaat, kemudian ia mengimami shalat Witir tiga rakaat. (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 7890; HR. Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra no. 4619)

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: ‌دَعَا ‌الْقُرَّاءَ ‌فِي ‌رَمَضَانَ فَأَمَرَ مِنْهُمْ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ عِشْرِينَ رَكْعَةً. قَالَ: وَكَانَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ يُوتِرُ بِهِمْ.

Dari Abu Abdurrahman as-Sulami dari Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu bahwasnaya ia memanggil para imam penghafal al-Quran pada bulan Ramadhan. Lalu Ali memerintahkan salah seorang imam penghafal al-Quran tersebut untuk mengimami penduduk shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat. Setelah itu, Ali mengimami mereka dalam shalat Witir.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Abdil Barr, dan al-Baihaqi no. 4620)

Dalil Keenam: Kaidah Usul Fikih

Menurut kaidah usul fikih, perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasallam (yang melaksanakan shalat sebelas rakaat atau tiga belas rakaat) tidaklah mengkhususkan keumuman sabda beliau.

Selain itu, Nabi shallallahu alaihi wasalam tidak melarang sahabat dari melakukan shalat malam lebih dari sebelas atau tiga belas rakaat. Terlebih, generasi sahabat menambah dari tiga belas rakaat pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab, Utsman, Ali, dan setelahnya, tanpa ada seorang ulama pun di kalangan sahabat dan tabiin yang mengingkarinya.

Khutbah Jumat Singkat: 7 Amalan di Bulan Ramadhan

Kesimpulan Kajian

Dari uraian di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Kesimpulan Pertama:

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dan murid-muridnya memegang teguh satu-dua hadits shahih, dengan mengabaikan banyak ayat al-Quran dan hadits shahih lainnya yang berkaitan dengan masalah shalat malam.

Kesimpulan Kedua:

Pendapat ulama salaf dan khalaf memadukan semua dalil ayat al-Quran dan hadits shahih yang berkaitan dengan masalah shalat malam.

Kesimpulan Ketiga:

Pendapat ulama salaf tersebut diamalkan oleh generasi sahabat dan tabiin tanpa ada seorang pun di antara mereka yang mengingkarinya, sehingga menjadi ijmak generasi sahabat dan tabiin.

Kesimpulan Keempat: Jumlah Rakaat Shalat Tarawih

Jumlah rakaat shalat Tarawih tidak ada batasannya, menurut ijmak yang ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Barr al-Maliki, Qadhi Iyadh bin Musa al-Yahshubi al-Maliki, Ibnu Daqiqil Ied asy-Syafi’i, Ibnu Qudamah al-Hambali, Ibnu Taimiyah al-Hambali, Zainuddin al-Iraqi asy-Syafi’i, dan lain-lain.

Kesimpulan Kelima:

Shalat Tarawih boleh dikerjakan 2 rakaat, 4 rakaat, 6 rakaat, 8 rakaat, 10 rakaat, 12 rakaat, 14 rakaat, 16 rakaat, 18 rakaat, 20 rakaat, 22 rakaat, 30 rakaat, 40 rakaat, atau 100 rakaat sekalipun.

Kesimpulan Keenam:

Shalat Witir boleh dikerjakan 1 rakaat, 3 rakaat, 5 rakaat, 7 rakaat, 9 rakaat, atau 11 rakaat.

Kesimpulan Ketujuh:

Dalam menentukan jumlah rakaat shalat Tarawih dan shalat Witir, selayaknya memperhatikan kemampuan jamaah makmum.

Apabila jamaah makmum kuat dan sabar melaksanakan dua puluh rakaat, maka jumlah dua puluh rakaat bisa dipilih. Adapun apabila makmum tidak kuat dan tidak sabar, maka jumlah delapan rakaat bisa dipilih.

Kesimpulan Kedelapan:

Hal yang lebih penting dari itu semua adalah mendidik dan memerintahkan jamaah makmum untuk menjaga pelaksanaan shalat wajib lima waktu secara rutin dan disiplin.

Demikian artikel “Jumlah Rakaat Shalat Tarawih itu 11 atau 23?”. Semoga dapat menjadi pencerahan yang lebih mendekati kebenaran. Wallahu alam bish-shawab. (Abu Ammar/dakwah.id)

Penulis: Abu Ammar
Editor: Ahmad Robith

Baca juga artikel Fikih Ramadhan terbaru:

Topik Terkait

Discover more from Dakwah.ID

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading