Kewajiban Mantan Suami Terhadap Anak dan Mantan Istri dakwah.id

Kewajiban Mantan Suami Terhadap Anak dan Mantan Istri

Terakhir diperbarui pada · 1,557 views

Kewajiban mantan suami sering kali diabaikan pasca terjadinya perceraian. Akibat dari ketidakpahaman suami—atau juga istri—terhadap hukum-hukum Islam mulai dari akad nikah hingga pasca perceraian menjadi salah satu faktor utama penyebab penelantaran hak dan tanggung jawab antar keduanya.

Terutama, hukum-hukum Islam yang tetap berlaku pasca perceraian. Banyak mantan suami yang mengira urusan selesai setelah cerai usai. Padahal tidak demikian.

Kewajiban Mantan Suami Terkait Hak Nafkah Mantan Istri

Jika suami menceraikan istrinya dengan perceraian pertama (talak satu) atau perceraian kedua (talak dua) dan keduanya tetap berpisah dan tidak rujuk sampai habis masa iddah istri, dalam kondisi seperti ini istri masih memiliki hak nafkah. Artinya, suami tetap memiliki kewajiban menafkahi selama masa iddah berlangsung.

Kemudian, jika suami menceraikan istrinya dengan cerai bain (talak bain) semisal perceraian ketiga (talak tiga) dimana konsekuensi hukum syar’inya keduanya tidak bisa rujuk kembali, maka gugurlah hak nafkah pada istri yang dicerai. Ia telah berstatus sebagai mantan istri. Mantan suami tidak memiliki kewajiban nafkah lagi kepada mantan istrinya.

Kasus seperti ini pernah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan rekam riwayat tentang ini menjadi dalil atas hukum yang berlaku pada kasus tersebut.

Dari Sya’bi, ia berkata,

دَخَلْتُ عَلَى فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ فَسَأَلْتُهَا عَنْ قَضَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهَا، فَقَالَتْ: طَلَّقَهَا زَوْجُهَا الْبَتَّةَ، فَقَالَتْ: فَخَاصَمْتُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ، قَالَتْ: فَلَمْ يَجْعَلْ لِي سُكْنَى وَلَا نَفَقَةً، وَأَمَرَنِي أَنْ أَعْتَدَّ فِي بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ

Saya masuk ke (rumah) Fatimah binti Qais, saya bertanya tentang keputusan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam atasnya. Maka beliau (Fatimah) menjawab, ‘Diceraikan oleh suaminya dengan perceraian yang tidak bisa rujuk lagi (Bain).’ Maka beliau mengatakan, ‘Maka saya mengadukan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam terkait tempat tinggal dan nafkah.’ Dia (Fatimah) mengatakan, ‘Beliau tidak menjadikan untukku tempat tinggal dan nafkah. Dan memerintahkan kepadaku menyelesaikan iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum.’” (HR. Muslim No. 1480)

Islam juga tetap menjaga perdamaian dalam perceraian dalam bentuk mut’ah. Mut’ah yang dimaksud dalam konteks ini adalah sejumlah harta—dapat berupa sandang, pangan, hamba sahaya, dan lainnya—yang diberikan kepada mantan istri sebagai bentuk untuk menyenangkan dan membesarkan hatinya.

Seorang suami wajib memberikan mut’ah kepada istri yang diceraikannya jika hingga waktu perceraian terjadi, suami belum pernah sama sekali menyetubuhi istrinya, atau belum menentukan jumlah maharnya. Ini pendapat mazhab Hanafi, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hanbali.

Sebagian ulama lain berpendapat hukum wajib ini berlaku bagi istri yang dicerai baik sudah disetubuhi atau belum. Besaran mut’ahnya sesuai kadar kemampuan dan diberikan dengan cara yang baik. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, al-Kuwaitiyah, 36/95)

Allah ‘azza wajalla berfirman,

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً ۖ وَّمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى الْمُوْسِعِ قَدَرُهٗ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهٗ ۚ مَتَاعًا ۢبِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ

Tidak ada dosa bagimu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut‘ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menyampaikan,

Setiap wanita yang ditalak berhak mendapatkan mut’ah, kecuali wanita yang ditalak itu belum digauli. Ia ditentukan mendapat separuh mahar, dan ia tidak mendapatkan mut’ah.” (Tafsir ath-Thabari, 5/126, dengan sanad yang shahih)

 

Kewajiban Mantan Suami Terhadap Anak Kandungnya

Semenjak akad nikah dinyatakan sah oleh para saksi, saat itu pula suami mulai terbebani dengan kewajiban menafkahi istrinya. Kewajiban ini akan berakhir ketika telah terjadi perceraian antara keduanya dengan ketentuan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Kemudian, semenjak ruh ditiupkan ke jasad janin yang ada dalam kandungan istrinya, saat itu pula suami mulai terbebani kewajiban untuk menafkahi anak yang menjadi darah dagingnya tersebut.

Cara menafkahinya adalah dengan memenuhi asupan gizi dan pemeliharaan kesehatan istrinya. Karena gizi dan kesehatan janin masuk melalui ibunya. Dari sini pula dibangun hukum wajibnya memberi upah menyusui anak. (Al-Muhadzab, 2/164; Nihayatul Muhtaj, 7/211; Al-Mughni, 9/288)

Perceraian sama sekali tidak menggugurkan kewajiban mantan suami untuk menafkahi anaknya.

Oleh sebab itu, hukum ini berdampak pada kasus perceraian bain atau talak bain yang terjadi saat istri dalam kondisi hamil.

Dalam kasus ini, menafkahi mantan istri dan menyediakan tempat tinggal untuknya hingga ia melahirkan menjadi kewajiban mantan suami yang harus ditunaikan. Para ulama sepakat akan hal ini. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/669; Jawahir al-Iklil, 1/604; Al-Qalyubi, 4/81; Al-Mughni, 7/606-608)

Allah berfirman,

وَاِنْ كُنَّ اُولَاتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ

Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan.” (QS. Ath-Thalaq: 6)

Sampai pada pembahasan ini, ada sedikit perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih soal apakah suami tetap wajib menafkahi istri yang berbuat nusyuz kepada suami sementara dia dalam keadaan hamil. Pembahasan lebih detail silakan merujuk ke kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, al-Kuwaitiyah (16/274)

Dengan demikian, maka sebenarnya para ulama tidak membedakan hukum yang berlaku bagi seorang ayah terkait kewajiban menafkahi anak, baik ketika ayah tersebut belum menceraikan istrinya (ibu si anak), atau setelah menceraikannya.

 

Kapan Kewajiban Mantan Suami Menafkahi Anak Kandungnya Berakhir?

Para Ulama sepakat bahwa seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anaknya yang masih kecil sampai anaknya menginjak baligh.

Ibnu Mundzir mengatakan,

وَأَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مَنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْءِ نَفَقَةَ أَوْلادِهِ الأَطْفَالِ الَّذِينَ لا مَالَ لَهُمْ. وَلأَنَّ وَلَدَ الإِنْسَانِ بَعْضُهُ، وَهُوَ بَعْضُ وَالِدِهِ، فَكَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ كَذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِ وَأَصْلِه

Seluruh ahli ilmu yang kami belajar kepadanya berijmak wajibnya seorang ayah untuk memberi nafkah anak-anaknya yang masih kecil yang tidak memiliki harta, karena anak seseorang adalah bagian dari dirinya, ia adalah bagian dari ayahnya. Maka, sebagaimana wajibnya seorang ayah untuk menafkahi dirinya dan keluarganya, ia juga wajib menafkahi bagian dari dirinya dan dirinya sendiri.” (Al-Mughni, 8/171)

Dasar hukum yang melandasi hukum wajibnya menafkahi anak adalah al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak.

Allah ‘azza wajalla berfirman,

فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ

Kemudian jika mereka menyusukan (anakanak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka.” (Ath-Thalaq: 6)

Ayat di atas secara eksplisit menerangkan wajibnya seorang ayah memberi upah jasa susuan untuk anaknya.

Dalam ayat lain disebutkan,

وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ

Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 233)

Kemudian, dalam sebuah hadits disebutkan, tentang sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun,

خُذِي مَا يَكْفِيك وَوَلَدَك بِالْمَعْرُوفِ

Ambillah bagian secukup kebutuhanmu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Al-Bukhari No. 5364; HR. Muslim No. 1714)

Para ulama juga sepakat akan wajibnya seorang ayah untuk menafkahi anaknya baik laki-laki atau perempuan yang tidak memiliki harta hingga anaknya memiliki kecukupan harta, tanpa membedakan usia yang masih kecil atau pun telah dewasa.

Para ulama juga sepakat atas tidak wajibnya seorang ayah menafkahi anaknya yang telah memiliki kecukupan harta meskipun usia anaknya masih kecil.

Para ulama juga sepakat akan tidak wajibnya menafkahi anaknya yang laki-laki jika telah mencapai usia baligh dan telah mampu bekerja/mendapat penghasilan sendiri.

Namun para ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang ayah menafkahi anaknya yang telah baligh, masih miskin (tidak memiliki harta), namun memiliki kemampuan untuk bekerja.

Dalam kasus seperti ini mayoritas ulama berpendapat ayah tersebut tidak wajib menafkahi anaknya, karena meski miskin atau tidak memiliki harta, tapi anaknya telah memiliki kemampuan untuk bekerja.

Pendapat lain menyatakan bahwa dalam kasus tersebut seorang ayah tetap wajib menafkahi anaknya yang telah baligh tapi tidak memiliki harta meski telah memiliki kemampuan untuk bekerja. Pendapat ini memiliki dua argumen kuat.

Argumen pertama, berdalil dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun,

خُذِي مَا يَكْفِيك وَوَلَدَك بِالْمَعْرُوفِ

Ambillah bagian secukup kebutuhanmu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Al-Bukhari No. 5364; HR. Muslim No. 1714)

Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan secara umum, tidak ada keterangan yang mensyaratkan anaknya sudah baligh atau belum.

Argumen kedua, kondisi anak tersebut adalah miskin, tidak memiliki harta. Sehingga ia berhak untuk mendapatkan nafkah dari ayahnya yang memiliki kecukupan harta. Seperti halnya kondisi anak yang sakit atau cacat fisik.

Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya. Apakah seorang ayah yang kaya harta memiliki kewajiban menafkahi anaknya yang tidak memiliki harta?

Beliau menjawab,

Ya, ia wajib menafkahi anaknya dengan cara yang baik jika anaknya dalam kondisi fakir dan tidak memiliki kemampuan untuk bekerja, sementara ayahnya dalam kondisi memiliki kecukupan harta.” (Al-Fatawa al-Kubra, 3/363; Majmu’ al-Fatawa, 34/105)

Selain itu, para ulama juga berbeda pendapat tentang wajibkah seorang ayah menafkahi anak perempuannya yang telah balig.

Mayoritas ulama berpendapat ayah tersebut tetap wajib menafkahi anak perempuannya dan berakhir tanggung jawab nafkah tersebut jika anak perempuannya menikah.

Inilah pendapat yang paling mendekati kebenaran, sebab anak perempuan tersebut memiliki kelemahan tidak bisa bekerja.

Ini penjelasan global yang disarikan dari pemaparan para ulama fikih. Untuk lebih detailnya, silakan merujuk ke kitab Al-Mabsuth (5/223), Al-Mudawwanah (2/263), Al-Masalik Syarh Tadrib as-Salik (3/244), Al-Umm (8/340), Al-Mughni (8/171).

 

Kewajiban Mantan Suami Terkait Nafkah dan Pengasuhan Anak

Soal pengasuhan anak, ketika seorang suami menceraikan istrinya, mantan istrinya lebih berhak mengasuh anaknya dari pada mantan suami (ayah dari anaknya) yang telah menceraikannya, selama wanita tersebut tidak menikah lagi.

Jika mantan istri tersebut menikah lagi, maka mantan suami, ayah kandung anak tersebut, lebih berhak untuk mengasuhnya.

Dasarnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita yang dicerai suaminya dan wanita tersebut membawa anak,

Kamu lebih berhak atasnya (anak), selama kamu tidak menikah.” (HR. Abu Daud No. 2276; HR. Ahmad, 13/101; dan lainnya. Sanad hadits ini Hasan)

Untuk anak yang sudah tidak perlu diasuh, ia diberi kebebasan untuk memilih apakah ikut ayah atau ikut ibunya.

Artikel konsultasi: Menikah Tanpa Sepengetahuan Orang Tua, Bagaimana Pandangan Syariat Tentang Ini?

Dasarnya, keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada seorang wanita datang untuk mengadukan persoalan hak asuh anak kepada beliau. Beliau berkata kepada si anak,

Ini ayahmu dan ini ibumu. Silakan kau raih tangan siapa di antara keduanya yang engkau inginkan.”

Si anak kemudian meraih tangan ibunya, lalu ibunya membawanya pergi. (HR. Abu Daud No. 2277; HR. At-Tirmizi No. 1357; HR. An-Nasa’i, 6/185; Ibnu Majah No. 2351. Sanad hadits ini Hasan)

Kemudian tentang pemeliharaan anak yang dikaitkan dengan tanggung jawab ayah dalam menafkahi, jika anak ikut tinggal dan dipelihara oleh ibunya yang telah diceraikannya (Hadhanah), maka nafkah tersebut diberikan kepadanya. Dan ibunya boleh meminta upah menyusui—jika anaknya masih membutuhkan ASI—kepada mantan suaminya. (Al-Mughni, 11/411, 432)

Allah ‘azza wajalla berfirman,

فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍۚ

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik.” (QS. Ath-Thalaq: 6)

Bentuk nafkah yang menjadi kewajiban mantan suami kepada anaknya setelah ia bercerai dengan ibu si anak berupa makanan pokok sehari-hari, pakaian, biaya pendidikan, dan semisalnya.

Persoalan yang menjadi ruang perbedaan pendapat ulama fikih adalah soal tempat tinggal anaknya ketika ia diasuh oleh ibunya yang telah diceraikannya, itu termasuk menjadi kewajiban mantan suami untuk menyediakannya atau bukan.

Sebagian ulama berpendapat menyediakan tempat tinggal untuk anaknya tersebut termasuk dari kewajiban mantan suami, ayah dari anak.

Sebagian ulama lain berpendapat, mantan suami tidak wajib menyediakan tempat tinggal untuk anaknya yang diasuh oleh ibunya yang telah ia ceraikan. Sebab, secara otomatis anak tersebut tentu akan tinggal bersama ibunya.

Ibnu Abidin memilih pendapat yang cukup bijaksana dalam hal ini. Ia berpendapat mantan suami wajib menyediakan tempat tinggal untuk anaknya jika ibunya yang telah diceraikannya belum memiliki tempat tinggal.

Jika ibunya telah memiliki tempat tinggal, ia tak perlu menyediakan tempat tinggal untuk anaknya. Karena itu tidak dibutuhkan lagi. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 3/562)

Perbedaan pendapat ini tentunya akan menimbulkan persengketaan ketika proses penyelesaian masalah pasca perceraian ayah dan ibu si anak.

Jika kondisinya demikian, maka kehadiran seorang hakim sangatlah penting untuk memutuskan perkara ini dengan hukum syar’i. Wallahu a’lam. (Sodiq Fajar/dakwah.id)

 

 

Artikel selanjutnya:
Perceraian dan Dampaknya bagi Remaja

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *