Daftar Isi
Zalim adalah perbuatan tercela yang berbuah dosa. Bahkan dosa besar. Karenanya, Allah menyediakan hukuman di dunia bagi pelaku kezaliman, di akhirat juga terancam siksa.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (QS. Ibrahim: 24)
Dalam hadits Qudsi disebutkan bahwa Allah subhanahu wata’ala berfirman,
إِنِّى حَرَّمْتُ عَلَى نَفْسِى الظُّلْمَ وَعَلَى عِبَادِى فَلاَ تَظَالَمُوا
“Sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diriku dan aku jadikan kezaliman itu haram atas hamba-hambaKu maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim)
Sebaliknya, keadilan adalah sifat dan esensi ajaran Islam. Dalam berbagai sisi ajarannya Islam mengandung keadilan. Islam adalah ajaran yang pertengahan antara sikap meremehkan dan berlebihan, Islam adalah ajaran yang menyeimbangkan antara keyakinan, hukum, akhlak dan ibadah, antara dunia dengan akhirat.
Penyebab penyimpangan manusia bersumber pada dua hal; kezaliman dan kebodohan. Jika manusia menyimpang atau melanggar batasan aturan Allah secara sadar dan tahu, maka ia zalim. Jika manusia menyimpang atau melampaui batas karena ketidaktahuannya, maka itulah kebodohan. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Sesungguhnya kami menawarkan amanat kepada langit dan bumi namun mereka enggan untuk memikulnya karena takut. Lalu amanah itu dipikul oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim lagi bodoh.” (QS.Al-Ahzab: 72)
Zalim kepada Diri Sendiri
Setiap maksiat yang dilakukan oleh seorang muslim kecil maupun besar, adalah bentuk kezaliman kepada dirinya sendiri. Sebab akibat perbuatan dosa tersebut akan kembali kepada dirinya.
Oleh karena perbuatan dosa akan memberi dampak buruk pada diri sendiri baik di dunia maupun di akhirat, maka pelakunya disebut sebagai orang yang zalim kepada dirinya sendiri. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖ
…dan ada di antara mereka yang zalim kepada diri mereka sendiri…” (QS. Fathir: 32)
Menjelaskan ayat ini, Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa zalimun linafsih adalah orang yang mencampuradukkan antara kebaikan dan keburukan, orang yang terkadang meninggalkan kewajiban dan melanggar larangan.
Zalim kepada Orang Lain
Bentuk kezaliman lainnya adalah zalim kepada orang lain, bersikap melampui batas dan melanggar hak orang lain.
Kezaliman kepada orang lain, menurut Imam Ibnu Jauzy, mengandung dua unsur maksiat,
Pertama, melanggar hak orang lain; dan
Kedua, melanggar perintah Allah dengan bermaksiat dan menyelisihi syariatNya.
Beliau menjelaskan, dosa perbuatan zalim lebih berat daripada selainnya karena biasanya yang menjadi sasaran adalah orang-orang lemah yang memang tidak berdaya untuk melawan.
Menurut beliau, kezaliman bermula dari hati yang gelap, karena seandainya jiwa benderang dengan cahaya petunjuk, niscaya ia akan bisa mengambil pelajaran.
Seandainya orang-orang zalim itu bisa mencapai cahaya yang diraih oleh orang-orang bertakwa dengan ketakwaannya, niscaya mereka akan berhenti dari kezalimannya karena menyadari kezaliman sama sekali tidak menguntungkan dirinya.
Akibat Perbuatan Zalim di Dunia
Syaikh Muhammad Hassan menceritakan kisah yang mengingatkan kita akibat kezaliman kepada sasama. Kisah nyata yang diceritakan oleh orang yang mengalami sendiri kejadiannya.
Sebuah keluarga kaya memiliki seorang pembantu. Pembantu yang baik dan rajin; Semua pekerjaan rumah ia selesaikan dengan baik. Namun kesombongan dan kezaliman telah membutakan mata majikannya.
Sedikit kesalahan yang ia lakukan akan berbuah perkataan yang kasar, suara yang meninggi, bahkan hukuman fisik yang sungguh tak seharusnya ia dapatkan.
Sang pembantu tiada mengubah kebaikan dan pelayanannya. Demikian pula kezaliman tidak berhenti ia hadapi. Sampai suatu hari ia menderita sakit yang mengakibat ia kehilangan penglihatannya. Buta.
Sang pemiliki rumah pun menyuruhnya pergi karena dianggap sudah tidak lagi berguna. Sang pembantu pun pergi dengan membawa kesedihan tak terperi.
Waktu terus belalu. Keluarga mereka bahagia. Sudah tidak ada kenangan yang tersisa dari pembantu yang malang itu. Hingga anak-anak mereka yang sudah dewasa sudah menyesaikan pendidikannya di perguruan tinggi. Tak lama berselang anaknya mereka menikah.
Singkat cerita kebahagiaan keluarga besar ini semakin lengkap dengan lahirnya seorang bayi laki-laki yang mungil. Kebahagiaan mereka pun merekah. Namun tiba-tiba kebahagiaan itu berubah menjadi tangis. Bayi laki-laki yang lahir ternyata mengalami kebutaan.
Segala upaya sudah dilakukan. Mereka bolak balik rumah sakit, mendatangi dokter spesialis untuk berkonsultasi. Sudah tak terhitung biaya yang mereka keluarkan untuk mengobati sang buah hati.
Tiba-tiba mereka teringat dengan pembantu yang dahulu tinggal bersama mereka. Allah seperti menuntun ingatan mereka kepadanya. Teringatlah mereka dengan perlakukan buruk yang telah mereka berikan kepadanya. Kesadaran bahwa keadaan sang cucu adalah akibat dari kezaliman yang telah mereka lakukan. Kezaliman yang telah hampir mereka lupakan.
Akirnya dengan segala cara mereka mencari tahu keberadaan sang pembantu. Hingga mereka menemukannya di sebuah rumah sederhana di tengah kampung yang jauh.
Mereka menangis mengemis maaf kepada mantan pembantu yang buta. Sang pembantu tampak tabah sabar dan ceria, dengan hati yang mulia menyambut kedatang keluarga yang dulu sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri.
Akibat Perbuatan Zalim di Akhirat
Ketika manusia hanya berharap kepada kasih sayang Allah.
Ketika manusia hanya berharap amal baiknya diterima oleh Allah dan dosa-dosanya diampuni.
Ketika tidak beranfaat lagi harta benda sepenuh bumi dan anak keturunan yang banyak.
Setelah manusia melintasi sirath, maka dilakukanlah peroses qishash; semacam penyelesaian terakhir terhadap segala persoalan yang terjadi antar sesame manusia yang belum terselesaikan di dunia.
Karena sudah tidak ada pengembalian berupa harta, dan tiada lagi orang punya waktu untuk meminta dan memberi maaf, maka yang digunakan sebagai alat penyelsaian adalah amal baik maupun buruk.
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan dalam sabda beliau,
“Jauhilah oleh kamu sekalian perbuatan zalim, karena kezaliman itu akan menjadi kegelapan pada hari kiamat.” (Muttafaq alaih)
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar kita menyelesaikan segala urusan dan tanggungan dunia dengan sesame, agar kelak tidak dihisab karena perkara yang belum selesai.
Beliau bersabda,
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا، فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ، مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
“Siapa yang memiliki kezaliman kepada saudaranya baik kezaliman terhadap kehormatannya, atau sesuatu yang lain, maka hendaknya ia meminta agar dihalalkannya, sebelum tiba hari tiada dinar dan dirham. Jika ia memiliki amal shalih maka amal shalih itu akan diambil darinya sesuai dengan kadar kezalimannya, jika ia tidak memiliki amal shalih maka dosa maksiat orang yang dizaliminya akan diambil dan ditimpakan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6534)
Melawan Kezaliman itu Bagian dari Syariat
Jika telah jelas bahwa tindakan zalim dan semena-mena adalah perbuatan dosa besar, maka mencegah dan melawannya adalah bagian dari syariat Islam.
Mencegah dan melawan kezaliman adalah merupakan bagian dari nahi munkar, bagian dari dakwah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Hendaklah ada di antara kalian sekelompok orang yang menyeru kepada yang kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali Imran: 104)
Dalam Islam, mencegah dan menghentikan kemungkaran adalah bagian dari sikap peduli dan empati kepada sesama manusia umumnya dan sesama muslim khususnya. Karena semua kemungkaran pastilah berujung keburukan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tolonglah saudaramu baik ia berbuat zalim maupun terzalimi.”
Para shahabat bertanya, “Menolong orang yang terzalim sudah tentu wahai Rasulullah, lalu bagaimana menolong orang yang berbuat zalim?”
Rasulullah menjawab, “Yaitu dengan menahannya dari berbuat zalim.” (HR. Al-Bukhari)
Jika orang-orang yang berbuat zalim adalah kelompok manusia yang memiliki kekuatan atau kekuasaan, maka syariat menyediakan jalan jihad untuk menghilangkannya. Oleh karena itu di antara bentuk jihad adalah jihad melawan orang-orang zalim.
Jika kaum muslim lemah tak memiliki kekuatan, maka jihad dengan kata-kata dalah pilihannya, jihad melalui lisan maupun tulisan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang aniaya.” (HR. Abu Dawud No. 4344; HR. At-Tirmidzi No. 2174; HR. Ibnu Majah No. 4014. Hadits shahih)
Wallahu a’lam (Ibnu Syarqi/dakwah.id)
Artikel dakwah.id terkait Kezaliman: