Daftar Isi
Kitab Bidayatul Hidayah merupakan buah karya terbaik seorang ulama tersohor yaitu Hujjatul Islam Imam al-Ghazali.
Nama lengkap beliau Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i yang lahir di Thus pada tahun 1058 M/450 H dan meninggal di Thus pada tahun 1111 M/505 H. Nama kunyah beliau adalah Abu Hamid sedangkan laqab-nya adalah Ḥujjatul Islâm.
Beliau adalah seorang filsuf dan teolog muslim yang berasal dari Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat pada abad Pertengahan. Adapun kitab Bidayatul Hidayah yang beliau karang ini masuk dalam kategori kitab akhlak-tasawuf. Dalam bahasa Indonesia kitab ini berarti ‘permulaan petunjuk’.
Kitab Bidayatul Hidayah juga merupakan salah satu kitab paling masyhur di antara para santri. Bahkan, ada beberapa pondok pesantren yang menjadikannya sebagai kitab adab pertama sebelum menelaah kitab-kitab adab yang lain.
Adapun di kalangan masyarakat umum, kitab tersebut menjadi salah satu referensi kitab turats klasik yang representatif untuk pembinaan hati, iman, dan amal saleh.
Oleh karena itu, terjemah kitab Bidayatul Hidayah saat ini banyak diterbitkan oleh penerbit Islam di Indonesia.
Kandungan Kitab Bidayatul Hidayah
Secara umum, kitab ini berisikan tentang al-imtitsāl bi awāmirillāh wajtinābi maḥārimillâh yaitu pesan takwa dalam menjalankan perintah dan menjauhi semua larangan Allah dan Rasul-Nya.
Dalam kata lain, beliau ingin berpesan melalui kitabnya kepada setiap muslim yang menginginkan agar senantiasa disertai petunjuk Allah hendaklah melalukan tiga hal yang terkandung dalam tiga bab buku yang ia karang.
Pertama, senantiasa taat dan patuh dalam beribadah.
Kedua, menghindari perbuatan dosa.
Ketiga, berinteraksi yang baik kepada sesama. Untuk lebih detailnya adalah sebagai berikut.
Bab pertama tentang ketaatan
Imam al-Ghazali secara khusus membahas amalan-amalan yang semestinya dilakukan oleh setiap muslim guna selalu mengingat Allah dan hanya mengharap keridhaan-Nya.
Kandungan umum dari bab pertama ini ulasan detail terkait adab-adab. Mulai dari adab bangun tidur sampai tidur kembali, berpakaian, bersuci, mandi, masuk dan keluar rumah, hingga adab-adab dalam ibadah seperti adab shalat dan adab shaum.
Bab kedua tentang meninggalkan maksiat
Menurut Imam al-Ghazali, agar manusia menjadi aḥsanu khuluqa (memiliki akhlak dan kepribadian yang luhur), maka diperlukan amalan-amalan yang bisa melatih dirinya sehingga tujuannya tercapai dan menjadi orang-orang yang beruntung.
Salah satu caranya ialah menyucikan diri secara lahir dan batin dengan meninggalkan semua larangan Tuhan. Hal ini sebagaimana yang Allah firmankan dalam al-Quran,
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 10)
Di antara amalan yang dimaksudkan oleh Imam al-Ghazali adalah menjaga segenap anggota tubuh dari perbuatan-perbuatan haram, seperti menjaga lisan dari berkata kotor, menjaga mata dari melihat yang tidak diperkenankan, menjaga telinga dari mendengarkan perbuatan ghibah dan namimah, juga menjaga diri dari sikap takabur.
Bab ketiga tentang muamalah (etika pergaulan sosial kemasyarakatan)
Pada bab ini Imam al-Ghazali menekankan bahwa setiap hamba Allah harus berlaku proporsional dan adil dalam menjalankan ḥablun minallâh dan ḥablun minannâs. Setiap muslim harus mampu bersikap tawazun antara keduanya.
Di antara hubungan baik sesama manusia yang beliau maksudkan ialah muamalah yang baik dengan sesama saudara, orang tua, karib kerabat, sahabat, orang yang dikenal maupun tidak dikenal.
Selain itu, di dalamnya Imam al-Ghazali juga menulis tentang kedudukan ilmu dan amal dalam pandangan kebenaran (al-Haq) beserta tipu daya setan dan hawa nafsu yang cenderung menyesatkan para pencari ilmu dengan mengajaknya menempuh jalan yang salah, jalan penuh penyesalan dan penderitaan, melalui penjelasan beliau tentang tiga jenis manusia dalam menuntut ilmu.
Pertama, orang yang berorientasi akhirat dalam menuntut ilmu sebagai bekal menuju akhirat dan semata-mata karena mengharap ridha Allah subhanahu wata’ala. Mereka inilah yang termasuk penuntut ilmu yang beruntung.
Kedua, penuntut ilmu yang hanya berorientasi duniawi, seperti hanya untuk meraih kejayaan, kedudukan, dan harta benda. Penuntut ilmu yang merasa hebat dengan apa yang telah diraihnya.
Merekalah sejatinya kata Imam Al-Ghazali orang-orang yang tersesat. Orang-orang yang senantiasa khawatir dengan akhir hidupnya jatuh miskin, melarat, dan lainnya.
Jika ia meninggal dunia sebelum bertobat, ia dikhawatirkan akan meninggal dunia dalam keadaan sū-ul khātimah. Namun, jika ia mampu memperbaiki dirinya dan mengamalkan ilmunya, niscaya ia termasuk golongan orang-orang yang beruntung.
Ketiga, penuntut ilmu yang dirinya telah dikuasai oleh setan. Penuntut ilmu yang menjadikan ilmu hanya sebagai sarana untuk memperbanyak harta benda, meraih kedudukan yang bisa dibangga-banggakan, dan menghimpun banyak pengikut yang bisa dimanfaatkan.
Ia menggunakan ilmunya dalam setiap kesempatan untuk meraih kepentingan duniawi meski yakin ia mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah karena merasa dirinya seorang yang alim (ulama).
Padahal, itu hanya dari segi penampilan atau ucapannya, sedangkan batinnya sangat rakus terhadap urusan dunia. Inilah yang kata Imam al-Ghazali termasuk orang yang binasa, bodoh, dan tertipu.
Menurut al-Ghazali, hidayah Allah tak akan bisa diperoleh jika seseorang tak pernah memahami jati dirinya. Memahami siapa dirinya, Zat yang menciptakannya, dan semua yang terkandung di alam semesta ini. Wa Allāhu a’lam.
Rekomendasi untuk Pendidikan Adab Santri
Secara keseluruhan kitab Bidayatul Hidayah berisikan pentingnya adab (etika) dalam beramal dan beribadah, baik dalam pengertian yang bersifat shāriḥ (sesuai dengan apa yang terdapat dalam al-Quran dan sunah) maupun yang bersifat interpretatif dari pendapat penulis (Imam al-Ghazali).
Di dalamnya Imam Al-Ghazali mewanti-wanti setiap muslim, khususnya mereka yang membutuhkan pertolongan Allah, untuk tidak tertipu dengan bujuk dan rayuan setan. Sebab, setan akan menjerat manusia dengan tali tipu dayanya sehingga ia akan tergelincir dari jalan yang benar.
Tidak salah jika dikatakan bahwa kitab Bidayah ini ibarat ringkasan dari magnum opus-nya Imam Al Ghazali yaitu kitab Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn. Ibarat ringkasan maka tak heran layaknya kitab-kitab ringkasan yang lain, kitab Bidayatul Hidayah ini cukup tipis bila dibandingkan dengan karya-karya Imam al-Ghazali lainnya.
Namun, meskipun lebih tipis, insyaallah tidak akan mengurangi manfaatnya.
Kandungan yang terdapat di dalamnya bagaikan harta karun yang terselip di antara halaman dan baris-barisnya. Sebab, kitab ini memuat penjelasan tentang proses awal seorang hamba mendapatkan hidayah dari Allah subhanahu wata’ala, di mana sang hamba membutuhkan pertolongan dan bimbingan dari-Nya.
Selain itu, menjelaskan seputar halangan (pasif) atau rintangan (aktif) yang tersebar di sekitarnya, yaitu ketika seorang hamba berusaha untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta.
Imam al-Ghazali berharap kitab ini dapat menjadi wasilah agar setiap muslim menjadi insān kāmil alias aḥsanu ‘amala dalam pandangan Allah maupun manusia dalam menjalani kehidupannya dalam bingkai petunjuk Allah.
Maka, melihat kepada betapa besarnya faedah yang terkandung dalam kitab Bidayatul Hidayah ini sudah selayaknya ia menjadi tambahan koleksi bacaan setiap muslim yang menginginkan petunjuk Allah dalam kehidupan. Wallahu a’lam. (Nofriyanto/dakwah.id)
Ingin beli kitab Bidayatul Hidayah Terjemah Indonesia?
Judul:
Bidāyatu al-Hidāyah
Penulis:
Al-Imam Abu Hamid Muhammd bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali rahimahullahu ta’ala
Penerbit:
Darul Minhaj, Beirut, cet. I, 2004 M
Tebal:
304 halaman
Baca juga artikel Resensi atau artikel menarik lainnya karya Nofriyanto, M.Ag