Daftar Isi
Kejujuran adalah sifat utama orang beriman, pertanda benarnya keyakinan. Sebaliknya dusta dan kebohongan adalah tanda lemahnya iman dan karakter munafik. Seorang mukmin bisa saja sering melakukan dosa dan kesalahan, tetapi seorang mukmin tidak akan pernah menjadi seorang pendusta.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Apakah orang beriman ada yang bakhil?”
Rasulullah menjawab, “Ada.”
Beliau ditanya lagi, “Apakah orang beriman ada yang penakut?”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ya.”
Beliau ditanya lagi, “Apakah ada orang beriman yang pendusta?”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tidak.” (HR. Ath-Thabrani)
Kejujuran Pangkal Kebaikan
Kejujuran adalah keselarasan antara apa yang menjadi amal hati dengan ucapan lisan serta tindakan anggota badan. Ketika hati dipenuhi dengan niatan, tujuan, motivasi yang baik, lalu kebaikan itu tergambar dalam ucapan lisan dan perbuatan anggota badan, maka itulah pangkal segala kebaikan yang akan menghantarkan pada ragam amal kebajikan yang tiada habisnya.
Baca juga: 12 Buah Iman Pemberian Allah Kepada Hamba yang Jujur dalam Beriman
Oleh karena itulah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Hendaknya kamu selalu bersikap jujur, karena kejujuran akan menghantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan menghantarkan ke surga.” (Muttafaq alaih)
Kejujuran dari sisi objeknya bisa dikategorikan menjadi beberapa bentuk; jujur kepada Allah, dengan mengikhlaskan iman dan amal shalih hanya untuk dan karena Allah.
Jujur dalam bersedekah misalnya, dengan mengikhlaskan niat bahwa harta yang dikeluarkan semata karena mencari ridha Allah, bukan karena ingin dipuji dan dikenal sebagai seorang dermawan oleh manusia.
Dua orang yang sama-sama bersedekah, mengeluarkan jumlah uang yang sama, diperuntukkan bagi keperluan atau hajat yang sama, yang satunya karena Allah dan satunya karena ingin mendapat kedudukan dimata manusia; sama lahirnya akan tetapi sangat jauh berbeda nilai dan hasilnya di sisi Allah.
Jujur kepada sesama manusia dengan menjalin hubungan yang tulus karena Allah, ucapan yang benar, menepati janji, menunaikan amanat, bersikap adil saat bersepakat atas suatu urusan maupun ketika muncul perselisihan.
Jujur kepada diri sendiri, artinya menilai diri sesuai dengan kapasitas; tidak berpura-pura atau menampilkan diri sebagai orang kaya padahal sebenarnya tidak punya apa-apa, menampilkan diri di hadapan manusia sebagai orang yang berjasa padahal sebenarnya tidak melakukan apa-apa. Itulah orang yang tertipu dengan dirinya. Memakai baju kepalsuan yang tampak indah agar Nampak megah dihadapan manusia, padahal yang sesuangguhnya adalah kebalikannya.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Orang yang berbangga dengan apa yang tidak ia miliki seperti orang yang mengenakan dua pakaian kebohongan.” (Muttafaq alaih)
Kejujuran akan mendatang keberkahan hidup, kemanan, saling percaya, rasa persaudaraan dan persatuan.
Ulama yang jujur akan menjamin terjaganya agama dari penyimpangan dan kerusakan, dan tegaknya nilai-nilai kebenaran dan kebaikan.
Pemimpin yang jujur akan menegakkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.
Penjual dan pembeli yang jujur akan mendatangkan berkahnya transaksi dan rezeki.
Rakyat yang jujur akan memberikan kesetiaan dan pengorbanan. Demikian seterusnya kejujuran adalah keberlimpahan kebaikan di dunia dan akhirat.
Tahun-Tahun Kebohongan
Jika kejujuran adalah hiasan orang beriman, maka sebaliknya kebohongan adalah tanda kemunafikan.
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Empat tanda yang apabila keempatnya ada pada diri seseorang maka dia adalah munafik tulen, jika ada salah satunya maka pada dirinya ada penyakit kemunafikan; Jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, apabila diberi amanat ia khianat, apabila bersengketa ia berlaku curang.” (Muttafaq alaih)
Dalam sebuah hadits Shahih, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menubuwatkan bahwa di akhir zaman manusia akan banyak mengalami situasi yang penuh dengan tipu daya, tahun-tahun penuh kebohongan, kepalsuan, dan kemunafikan, hingga keadaan seperti serba terbalik; kebaikan dianggap keburukan dan keburukan dianggap kebaikan, orang yang jujur dicitrakan pembohong, sementara pembohong dicitrakan sebagai orang yang jujur.
Orang yang amanah diopinikan sebagai orang yang khianat, sementara pengkhianat diopinikan sebagai orang yang amanat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّهَا سَتَأْتِي عَلَى النَّاسِ سِنُونَ خَدَّاعَةٌ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: السَّفِيهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ.
“Sungguh kelak manusia akan akan mengalami tahun-tahun yang menipu; para pendusta dipercaya, sedangkan orang-orang yang jujur dianggap pendusta. Para pengkhianat dipandang sebagai orang yang amanat, sedangkan orang yang amanat dianggap khianat. Dan saat itu akan muncul para ruwaibidhah.”
Para shahabat bertanya, “Apakah ruwaibidhah itu?”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Orang yang bermoral rendah akan tetapi berbicara urusan umat.”
Dalam riwayat yang lain, “Yaitu orang-orang fasik yang berbicara urusan orang banyak.” (HR. Ahmad & Ibnu Majah)
Dalam ayat Al-Qur’an, sifat khida’ (penipu) disandangkan oleh Allah kepada golongan munafik.
Allah berfirman,
يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ۚ وَمَا يَخْدَعُوْنَ اِلَّآ اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَۗ
“Mereka (orang-orang munafik) hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah: 9)
Dalam ayat yang lain,
اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya di hadapan manusia…” (QS. An-Nisa’: 142)
Ruwaibidhah adalah bentuk tasghir (inferior) dari kata rabidhah yang berarti orang-orang bermoral rendah yang tidak menyukai perkara-perkara yang mulia.
Baca juga: Ilmu Islam itu Sangat Luas, Ini yang Fardhu ‘Ain untuk Dipelajari
Dalam hadits di atas Rasulullah mengabarkan tentang sebuah keadaan di mana nilai-nilai luhur dan akhlak yang mulia semakin hilang dari tengah kehidupan manusia, sehingga manusia memandang banyak hal secara terbalik; orang yang sebenarnya adalah manusai yang jujur dengan berbagai cara diopinikan sebagai seorang pembohong, pejuang islam yang hendak membela kepentingan umat diopinikan sebagai penjahat kelas berat, sebaliknya orang-orang yang sejatinya adalah komplotan para pendusta, penipu, dan penjahat diopinikan sebagai manusia-manusia yang jujur, baik, dihormati dan dimuliakan.
Demikian pula orang yang sejatinya amanat, diopinikan sebagai pengkhianat, sebaliknya orang-orang yang sebenarnya adalah para pengkhianat diberi kepercayaan mengemban amanat.
Rasanya apa yang dinubuwatkan oleh Rasulullah dalam hadits di atas telah menjadi kenyataan. Masa di mana banyak manusia yang menjual agamanya untuk sekarat dunia; harta, pangkat, popularitas dan jabatan.
Banyak orang yang tampil bermuka dua; ketika berhadapan dengan umat Islam mereka akan menampilkan diri sebagai bagian orang beriman. Namun bila mereka berada di tengah-tengah orang-orang kafir, mereka pun berkata dan berbuat seakan-akan mereka tidak pernah mengenal Islam. Islam dan umat Islam hanya menjadi batu loncatan untuk meraih jabatan, selanjutnya menjadi barang yang terlupakan bahkan disisihkan.
Hadits di atas mengandung pelajaran, pertama, tentang kemuliaan sifat jujur dan amanat, sebaliknya peringatan terhadap buruknya sifat dusta dan khianat.
Kedua, hadits ini sekaligus mengandung peringatan agar setiap mukmin bersikap hati-hati menghadapi keadaan demikian, agar tidak mengalamatkan kebaikan atau keburukan kepada orang yang salah.
Ketiga, hendaknya setiap mukmin berhati-hati dalam menyerahkan amanat, apalagi dalam perkara yang berhubungan erat dengan kemaslahatan umat; tidak menjadikan manusia yang bermoral rendah sebagai pemimpin dan panutan, sebab akan membawa umat kedalam jurang kehancuran.
Mudah-mudahan Allah selalu memberikan kemuliaan dan kebaikan kepada umat ini seluruhnya. [Ibnu Syarqi*/dakwah.id]
Ustadz Ibnu Syarqi – Alumnus Ma’had ‘Aly An-Nuur Liddirasat al-Islamiyah wa Tahfidzil Qur’an, Solo, Jawa Tengah. Beliau sekarang aktif sebagai dai di Lembaga Majelis Dakwah Islam Indonesia (MADINA) dan aktif menulis buku-buku ilmu Islam.