Artikel yang berjudul Belajar Ilmu Mulai Dari Mana? ini adalah seri #1 dari serial Majelis Ramadhan.
***
Belajar ilmu mulai dari mana?
Ini satu pertanyaan yang kerap membuat para remaja—bahkan orang dewasa—bingung menjawabnya. Terlebih posisinya sebagai seorang muslim yang secara jelas meyakini setiap perbuatan harus ada dasar ilmunya.
Dalam Islam, kewajiban menuntut ilmu dibebankan kepada setiap muslim berdasarkan nash syar’i. Akan tetapi, setelah mengetahui akan kewajibannya, lantas ilmu mana yang dahulu harus dipelajari dan diketahui?
Antara ilmu dunia dan ilmu agama, tentulah ilmu agama didahulukan untuk diilmui dan dipahami setiap muslim, karena hal tersebut terkait kewajibannya sebagai hamba dan kunci selamat di dunia dan akhirat.
Padahal ilmu agama sendiri beragam bentuknya, mulai dari yang berkaitan teologi atau akidah, sampai ilmu gramatika bahasa seperti Nahwu dan Sharaf, yang keseluruhannya memiliki keterkaitan dalam memelajari agama Islam.
Karena diperlukan batas minimal ilmu yang wajib diketahui oleh setiap muslim dan mana ilmu yang sifatnya penunjang. Seperti pertanyaan; apakah setiap muslim wajib mengetahui ikhtilaf furu’iyyah fiqhiyyah para ulama dalam bab fikih, atau apakah setiap muslim harus mengetahui ilmu usul hadist untuk menilai kualitas sebuah riwayat, dan seterusnya.
Berangkat dari ini, para ulama mengklasifikasikan ilmu ditinjau dari tingkat kewajibannya. Paling tidak ilmu terbagi menjadi dua ditinjau dari tingkat kewajiban menuntutnya; ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah.
Ilmu Fardhu ‘Ain
Ilmu fardhu ‘ain bisa dipahami dengan sederhana sebagai ilmu yang wajib dimiliki setiap muslim. Tanpa terkecuali. Maknanya; bahwa ilmu ini menjadi batas minimal ilmu yang harus dipelajari dengan baik, dipahami, untuk kemudian diamalkan.
Kategori ilmu fardhu ‘ain ini juga memiliki konsekuensi; jika seorang hamba tidak memelajarinya, maka ia tidak mengetahui apa yang menjadi kewajibannya dan apa saja yang terlarang baginya untuk dilakukan.
Maka ada dua kemungkinan yang terjadi, pertama; ia mengabaikan apa yang diwajibkan syariat atasnya, atau ia mengerjakan sesuatu yang dilarang oleh syariat Islam. Kedua kemungkinan tersebut menyebabkan ia berdosa.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan apa itu yang disebut dengan ilmu fardhu ‘ain dalam kitabnya Majmu’ Syarhu al-Muhadzzab ketika mengklasifikasikan prioritas ilmu:
الْأَوَّلُ: فَرْضُ الْعَيْنِ وَهُوَ تعلم المكلف مالا يَتَأَدَّى الْوَاجِبُ الَّذِي تَعَيَّنَ عَلَيْهِ فِعْلُهُ إلَّا بِهِ كَكَيْفِيَّةِ الْوُضُوُءِ وَالصَّلَاةِ وَنَحْوِهِمَا
“Pertama, fardhu ‘ain, yaitu seorang mukallaf (baligh dan berakal sehat) memelajari ilmu yang ia tidak bisa memenuhi kewajibannya kecuali dengan mengetahuinya, seperti tata cara wudhu’, shalat, dan yang selain keduanya.” (Majmu’ Syarhul Muhadzab, Imam Nawawi, 1/24)
Imam an-Nawawi menjadikan segala ilmu yang berkaitan dengan ibadah atau penunjang ibadah sebagai ilmu fardhu ‘ain. Karena ibadah kepada Allah adalah tujuan pencintaan manusia, maka segala ilmu yang berkaitan dengannya menjadi wajib untuk diilmui.
Lebih lanjut Imam Nawawi rahimahullah juga menjelaskan termasuk kewajiban inti adalah ilmu terkait Allah; tentang keimanan kepada-Nya.
وَأَمَّا أَصْلُ وَاجِبِ الْإِسْلَامِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِالْعَقَائِدِ فَيَكْفِي فِيهِ التَّصْدِيقُ بِكُلِّ مَا جَاءَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاعْتِقَادُهُ اعْتِقَادًا جَازِمًا سَلِيمًا مِنْ كُلِّ شَكٍّ
“Dan adapun yang menjadi kewajiban inti keislaman seorang hamba adalah apa yang berkaitan dengan akidah (tauhid). Maka cukup bagi seseorang membenarkan semua yang datang dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dan meyakininnya dengan keyakinan sempurna tanpa ada keraguan sedikit pun.” (Majmu’ Syarhul Muhadzab, Imam Nawawi, 1/24)
Termasuk ilmu yang wajib diketahui bagi setiap muslim adalah ma’rifatullah (mengenal Allah) dan ma’rifaturrasul (mengenal Rasul). Mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban atas Allah dan Rasul-Nya, dan ini wajib diilmui setiap muslim pertama kali.
Bisa disimpulkan bahwa ilmu-ilmu yang wajib didahulukan untuk diketahui setiap muslim adalah sesuai dengan urutan rukun Islam. Sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dalam riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima perkara; bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zkaat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadist ini menjelaskan fondasi dasar keislaman seseorang. Artinya, lima rukun yang disebutkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dalam hadist ini adalah perumpamaan bahwa Islam yang dibawanya mengeluarkan manusia dari kekufuran, menjaminnya masuk Surga, dan menjauhkannya dari Neraka. (Al-Wafi, Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mitsu, 53)
Lima rukun Islam ini bisa jadi ukuran prioritas ilmu yang wajib dimiliki seorang muslim mukallaf. Dimulai dari ilmu akidah terkait hak Allah dan Rasul-Nya, kemudian kemudian ilmu terkait ibadah; shalat, zakat, puasa dan haji.
Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan Imam an-Nawawi rahimahullah, bahwa pertama kali yang wajib adalah tashdiq, membenarkan semua yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Ini pertama dan standar minimal ilmu. Meskipun itu belum cukup, karena iman itu terangkai dari tiga simpul; pembenaran dengan hati, ikrar dengan lisan dan amal dengan badan.
Baca juga: Loss of Adab, Salah Langkah atau Salah Arah Pendidikan?
Imam Ibnu Qayyim al-Jauzy lebih lanjut mengklasifikasikan ilmu fardhu ‘ain menjadi empat tingkatan,
Pertama, ilmu tentang pokok-pokok keimanan, yaitu keimanan kepada Allah Ta’ala, para malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari akhir.
Kedua, ilmu tentang syariat Islam yang wajib diketahui seorang hamba seperti; wudhu, shalat, puasa, haji, dan zakat. Wajib memelajari hal-hal terkait ibadah, seperti syarat, rukun dan pembatalnya.
Ketiga, ilmu tentang lima hal yang diharamkan disepakati oleh para Rasul dan syariat sebelumnya. Kelima hal tersebut termaktub dalam al-Quran. Allah berfirman,
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)
Lima hal ini diharamkan bagi setiap orang dalam setiap keadaan. Maka wajib untuk mengetahuinya larangan-larangan tersebut sehingga kita tidak melanggarnya karena kebodohan kita.
Keempat, ilmu yang berkaitan dengan interaksi antara seseorang dengan orang lain. Baik secara khusus seperti kepada istri, anak dan keluarga, atau secara umum dengan orang lain. Kategori keempat ini berbeda-beda sesuai degan perbedaan keadaan dan kedudukan seseorang.
Misalnya seorang pedagang wajib mengetahui ilmu tentang jual—beli. Ilmu kategori keempat disesuaikan kondisi dan kebutuhan masing-masing orang. (Ibnu Qayyim al-Jauzy, Miftah Dar as-Sa’adah, 1/156)
Klasifikasi ilmu fardhu ‘ain yang dipaparkan oleh Ibnu Qayyim rahimahullah bisa dipetakan menjadi tiga ketegori.
Pertama, ilmu akidah yang diambil dari rukun iman.
Kedua, ilmu ibadah, apa yang wajib dikerjakan dan apa saja yang harus ditinggalkan.
Ketiga, ilmu muamalah yang mengatur hubungan antar-manusia.
Imam az-Zarnuji dalam kitabnya Ta’lim wal Muta’allim, menambahkan satu imu fardhu ‘ain yang wajib dimiliki setiap muslim, yaitu terkait akhlak mulia. Beliau berkata:
“Setiap muslim wajib mengetahui dan memelajari akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, sombong, rendah hati, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil, dan sebagainya.”
Beliau melanjutkan penjelasannya, “Karena sifat sombong, kikir, penakut, dan israf hukumnya haram. Dan tidak mungkin bisa terhindar dari sifat-sifat itu tanpa mengetahui kriteria sifat-sifat tersebut serta mengetahui cara menghilangkannya. Oleh karena itu setiap muslim wajib mengetahuinya.” (Ta’lim wal Muta’allim, Imam Zarnuji, 8)
Pembahasan terkait ilmu Fardhu ‘Ain untuk dipelajari secara lebih rinci silakan baca di artikel Ilmu Islam Itu Sangat Luas, Ini Yang Fardhu ‘Ain Untuk Dipelajari.
Ilmu Fardhu Kifayah
Ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang jika sudah diketahui oleh sebagai kaum muslimin maka kewajiban tersebut gugur bagi lainnya. Contoh dari ilmu ini seperti shalat jenazah yang hukumnya fardhu kifayah.
Konsekuensi dari ilmu fardhu kifayah ini adalah jika suatu daerah sudah ada orang yang memelajari ilmu tersebut, maka gugur kewajiban tersebut atas yang lainnya. Akan tetapi jika pada suatu daerah tidak ada yang memelajarinya, maka berdosa seluruh penduduk daerah tersebut. (lihat: Ta’lim wal Muta’allim, Imam Zarnuji, 9)
Adapun jenis-jenis dari ilmu fardhu kifayah ini terbagi menjadi dua; pertama, yang berkaitan dengan ilmu agama, dan kedua, yang terkait ilmu dunia. Imam Nawawi menjelaskan klasifikasi ilmu fardhu kifayah sebagai berikut:
فَرْضُ الْكِفَايَةِ وَهُوَ تَحْصِيلُ مَا لَا بُدَّ لِلنَّاسِ مِنْهُ فِي إقَامَةِ دِينِهِمْ مِنْ الْعُلُومِ الشَّرْعِيَّةِ كَحِفْظِ الْقُرْآنِ وَالْأَحَادِيثِ وَعُلُومِهِمَا وَالْأُصُولِ وَالْفِقْهِ وَالنَّحْوِ وَاللُّغَةِ وَالتَّصْرِيفِ: وَمَعْرِفَةِ رُوَاةِ الْحَدِيثِ وَالْإِجْمَاعِ وَالْخِلَافِ
“Jenis Ilmu yang kedua adalah ilmu Fardu Kifayah, yaitu ilmu yang dibutuhkan manusia demi tegaknya agama mereka yang sifatnya harus ada, yaitu berupa ilmu-ilmu Syari’at, seperti: menghafal Alquran, Hadits dan ilmu Hadits, ilmu Ushul, Fikih, Nahwu, Bahasa Arab, Sharaf, ilmu perawi Hadits, Ijma’, dan perselisihan Ulama.” (Imam Nawawi, Majmu’ Syarhul Muhadzzab, 1/26)
Adapun yang kedua adalah ilmu fardhu kifayah yang berkaitan dengan ilmu dunia. Imam Nawawi menjelaskan bahwa jenis ilmu dunia yang dibutuhkan dan mengandung maslahat bagi umat harus ada yang mengambil bagian untuk memelajarinya.
وَأَمَّا مَا لَيْسَ عِلْمًا شَرْعِيًّا وَيُحْتَاجُ إلَيْهِ فِي قِوَامِ أَمْرِ الدُّنْيَا كَالطِّبِّ وَالْحِسَابِ فَفَرْضُ كِفَايَةٍ أَيْضًا
“Adapun ilmu yang bukan termasuk ilmu syar’i (agama), akan tetapi dibutuhkan untuk demi terwujudnya kebaikan urusan dunia seperti; kedokteran, ilmu hitung (matematika), maka ini termasuk ilmu fardhu kifayah.” (Imam Nawawi, Majmu’ Syarhul Muhadzzab, 1/26)
Pahami Prioritas Belajar Ilmu
Karena ilmu memiliki tingkatan prioritas untuk dipelajari, maka seorang muslim harus tahu mana yang harus didahulukan untuk dipelajari dan dipahami, dan mana yang bisa diakhirkan.
Akan fatal jika seseorang mendahulukan ilmu-ilmu yang sifatnya penunjang seperti ilmu hadist, ilmu tafsir, atau ilmu usul fikih, tapi jahil dalam persoalan ilmu akidah. Atau seseorang yang mendalami persoalan balaghah dalam ilmu bahasa Arab, tapi jahil soal shalat dan puasa.
Terlebih mendahulukan ilmu dunia di atas ilmu akhirat yang dewasa ini jamak terjadi. Di mana para orang tua lebih bangga dan gembira saat anaknya bisa belajar bahasa asing, belajar alat musik, dan jago matematika. Tapi jahil soal ibadah, baca al-Quran dan berakhlak karimah.
Nasehat Imam Zarnuji untuk para penuntut ilmu untuk mengeti prioritas ilmu mana yang didahulukan untuk dipelajari. Beliau berkata,
“Bahwa mengetahui ilmu atau memelajari amalan ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain itu ibarat makanan yang dibutuhkan setiap orang. Sedangkan memelajari amalan yang hukumnya fardhu kifayah itu ibarat obat, yang mana tidak dibutuhkan oleh setiap orang. Dan penggunaannya pun pada waktu-waktu tertentu.” (Ta’lim wal Muata’allim, Imam Zarnuji, 9) Wallahu A’lam bis Shawab (Fajar Jaganegara/dakwah.id)
Baca juga artikel ADAB atau artikel menarik lainnya karya Ustadz Fajar Jaganegara.
Penulis: Ustadz Fajar Jaganegara
Editor: Sodiq Fajar
Langganan artikel serial Majelis Ramadhan