DR. Abdul Ilah bin Husain al-Afraj dalam bukunya yang berjudul Mafhumul Bid’ah wa Atsaruhu fi Idhthirabil Fatawa al-Mu’ashirah menjelaskan bahwa makna bid’ah, secara bahasa, adalah setiap hal yang baru dan pertama kali ditemukan atau diciptakan tanpa ada contoh terdahulu sebelumnya, baik persoalan yang berhubungan dengan urusan urusan agama; akidah, ibadah dan muamalat, maupun yang berhubungan dengan urusan dunia dan kehidupan yang sama sekali tidak terkait dengan agama.
Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa makna bid’ah dalam bahasa terkadang baik dan terkadang buruk menurut pandangan syariat. Karena, secara bahasa, bid’ah tetap mencakup hukum syariat yang lima; wujub (wajib), istihbab (dianjurkan), jawaz (boleh), karahah (terlarang/makruh), dan hirmah (haram).
Sementara, menurut syariat, bid’ah adalah hal-hal baru yang diciptakan dan bertentangan dengan kaidah-kaidah dalam Islam beserta teks-teksnya (nushush). Jadi, secara garis besar, hal-hal baru yang masuk dalam cakupan hukum bid’ah-tidaknya secara makna adalah hal-hal baru yang berhubungan dengan urusan agama.
Baca juga: Imam Mazhab Mengimbau Umat Untuk Meninggalkan Pendapat yang Menyelisihi Sunnah
Adapun urusan yang tidak terkait dengan agama, seperti persoalan kehidupan yang terkait dengan maslahat hidup manusia; sistem pendidikan, sistem kerja, konstruksi bangunan, dan lainnya, tidak termasuk dalam cakupan hukum bid’ah secara makna.
Sehingga, setiap hal baru dengan makna syar’i seperti ini adalah bid’ah yang dhalalah (sesat). Tidak ada perselisihan ulama dalam makna ini.
Meski demikian, seiring dengan munculnya banyak ulama yang tampil dengan rangkaian definisi yang mencakup bid’ah dan memisahkan hal yang bukan bid’ah, akhirnya muncul perselisihan (niza’) di antara para ulama dan semakin meruncing di kalangan awam.
Perselisihan tersebut tampaknya disebabkan oleh perselisihan mereka tentang penerapan bid’ah sesat pada setiap hal baru yang memiliki warna agama, tidak ditemukan dalam kurun waktu pertama, namun tidak bertentangan dengan nushush (teks-teks) syariat Islam serta kaidah-kaidahnya. Apakah hal baru seperti ini termasuk bid’ah sesat atau tidak.
Jika dipetakan, perselisihan dalam persoalan pemaknaan bid’ah ini terbagi menjadi dua kutub besar. Pertama, kutub mazhab muwassi’in. Kedua, kutub mazhab mudhayyiqin. DR. Abdul Ilah bin Husain al-Afraj menyebutkan kutub yang ketiga yang sejatinya adalah sama dengan kutub yang pertama, hanya berbeda dalam lafal saja.
Baca juga: Cabang Iman dan Cabang Kekufuran dalam Akidah Ahlu Sunnah
Titik Perselisihan antar Kutub Mazhab dalam Memberi Makna Bid’ah
Para ulama banyak yang berpendapat bahwa hal baru—meskipun itu dalam urusan agama—ada yang terpuji, ada pula yang tercela. Hal yang menjadi standar penilaian adalah ijtihad dan penelitian dalam makna nushush syari’ah dan isyarat-isyaratnya dalam masalah tersebut.
Atau, dikembalikan kepada masalah yang sama dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan menggunakan Qiyas. Jika sama dengan masalah yang diharamkan, maka hukumnya haram. Demikian pula sebaliknya.
Ini adalah pandangan para ulama yang berada di kutub mazhab muwassi’in. Kelompok yang berpandangan luas dalam memahami bid’ah. Mereka meyakini bahwa hukum syariat yang lima itu tercakup di dalamnya persoalan bid’ah. Mereka mengambil makna bid’ah secara bahasa.
Sementara, ada kelompok lain dari para ulama yang berpendapat bahwa seluruh hal baru dalam agama yang tidak dikenal di zaman nabi, juga tidak dikenal di zaman sahabat dan tidak pula di zaman para salafush shalih. Karena itu, hal baru tersebut adalah bid’ah mazhmumah (tercela) dan dhalalah (sesat).
Ini adalah pandangan para ulama yang berada di kutub mazhab mudhayyiqin. Kelompok yang berpandangan sempit tentang bid’ah. Bagi mereka, bid’ah hanya mempunyai satu hukum, yaitu haram.
Baca juga: Tiga Amalan Dahsyat di Bulan Muharam
Teks yang mendukung pendapat muwassi’in ada banyak sekali. Di antaranya adalah teks definisi bid’ah yang dijelaskan secara panjang lebar dalam kamus Lisanul ‘Arab pada definisi ba-da-‘a. Kemudian definisi yang disebutkan oleh Al-‘Iz bin Abdissalam dalam Qawa’idul Ahkam, al-Qarafi dalam al-Furuq, Abu Syamah al-Maqdisi dalam Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits, Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari, Imam al-Qurthubi dan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya pada surat al-Baqarah: 117, Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Jami’ul Ulum wal Hikam, Al-Munawi dalam Faidhul Qadir, Abul Abbas an-Nafrawi dalam Al-Fawaqih ad-Dawani, Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Ibnu Abidin, dan masih banyak lagi. (Mafhumul Bid’ah wa Atsaruhu fi Idhthirabil Fatawa al-Mu’ashirah, DR. Abdul Ilah bin Husain al-Afraj, 71-86)
Penjelasan yang diuraikan oleh ulama-ulama di atas memberi makna bahwa bid’ah mempunyai dua makna: pertama, makna bahasa, yakni seluruh hal baru yang dibuat pertama kali tanpa ada yang sama seperti itu sebelumnya.
Kedua, makna syar’i, yakni seluruh hal baru yang bertentangan dengan dalil-dalil, kaidah-kaidah, dan nushush (teks-teks) syar’i.
Bid’ah secara bahasa memungkinkan untuk dipuji atau dicela. Dicakup oleh hukum yang lima. Standar dalam penentuan hukumnya adalah ijtihad dan penelitian terhadap dilalah nushush syari’ah beserta isyarat-isyaratnya yang memiliki korelasi dengan persoalan baru tersebut.
Atau, dengan cara mengembalikan persoalan baru tersebut kepada persoalan-persoalan semisal yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah melalui metode Qiyas.
Kutub mazhab muwassi’in memahami bahwa bid’ah dalam makna syar’i adalah tercela. Persoalan baru tidak disebut bid’ah kecuali persoalan tersebut bertentangan dengan dalil-dalil syar’i beserta kaiadahnya. Seandainya bid’ah secara bahasa tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i, maka itu adalah bid’ah secara bahasa dan sunnah secara makna syar’i.
Untuk dapat membedakan antara sebutan bid’ah secara bahasa dari sunnah yang ditetapkan dengan nash dan dibedakan pula dengan bid’ah secara makna syar’i, ulama dalam hal ini memiliki dua cara:
Cara pertama, diberi nama bid’ah hasanah. Disebut bid’ah karena secara bahasa itu merupakan hal baru yang dibuat dan diciptakan. Disebut hasanah karena hukumnya secara syariat ternyata sesuai dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah syar’i.
Cara kedua, disebut sunnah—atau wajib, atau mubah—. Sebab nushush syari’ah yang umum beserta kaidah-kaidahnya menunjukkan bahwa persoalan baru tersebut dianjurkan.
Dari dua cara tersebut tampak bahwa perbedaan dari dua cara di atas hanyalah berbeda dalam lafal dan nama, bukan berbeda secara hakiki dan substansial.
Baca juga: Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Urgensi, Dalil, Fleksibilitas Hukum, dan Konsep Dasar Praktik Penerapannya
Sedangkan para ulama yang berpendapat bahwa tidak ada rincian dalam persoalan yang baru dalam agama Islam—dengan makna bahwa seluruh persoalan baru dalam agama adalah bid’ah yang sesat selama tidak ada contoh di zaman pertama—didukung oleh beberapa teks argumentatif, namun tidak sebanyak kutub mazhab muwassi’in.
Di antaranya adalah teks penjelasan dari Ibnul Jauzi dalam Talbisul Iblis, Imam ash-Shan’ani dalam Subulus Salam ketika menjelaskan hadits Jabir bin Abdullah “Aku khawatir kalau shalat witir diwajibkan kepada kalian.” Kemudian penjelasan Imam asy-Syaukani dalam Nailul Authar, ketika beliau menjelaskan hadits “Siapa pun yang membuat hal baru dalam agama ini dan bukan bagian darinya maka itu tertolak.” Kemudian penjelasan Shiddiq Hasan Khan dalam Abjadul ‘Ulum. (Mafhumul Bid’ah wa Atsaruhu fi Idhthirabil Fatawa al-Mu’ashirah, DR. Abdul Ilah bin Husain al-Afraj, 93-97)
Teks-teks yang dijelaskan oleh para ulama di atas memberikan makna bahwa setiap hal baru dalam agama adalah bid’ah dhalalah (sesat). Dan yang dimaksud dengan muhdatsah adalah setiap hal yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak dilakukan oleh para sahabat, tidak pula dilakukan oleh para salafush shalih. Hal baru tersebut bukan cara dan jalan mereka.
Oleh karena itu, bagi mereka, pembagian bid’ah menjadi lima adalah pembagian yang tertolak. Bahkan, itu termasuk pembagian pelaku bid’ah. Setiap hal baru adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat. Dan golongan sesat tempatnya adalah neraka.
Baca juga: Memperdagangkan Iman demi Mengharap Keuntungan
Asy-Syathibi, Kitab al-I’tisham, dan Makna Bid’ah
Telah diuraikan di atas, titik perbedaan antara dua kutub mazhab dalam memaknai bid’ah, di mana kutub mazhab pertama, mazhab muwassi’in, berkeyakinan bahwa bid’ah adalah terminologi syariat; setiap muhdats (hal baru) yang bertentangan dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah syar’i. Sedangkan makna bid’ah secara bahasa memungkinkan terpuji atau tercela. Bid’ah mencakup hukum syariat yang lima.
Seandainya bid’ah secara bahasa tidak bertentangan dengan syariat, maka hal itu disebut dengan bid’ah secara bahasa dan disebut sunnah, baik wajib atau pun jawaz (boleh) secara syar’i.
Sedangkan kutub mazhab kedua (mudhayyiqin) meyakini bahwa setiap hal baru dalam agama adalah bid’ah dhalalah (yang sesat). Al-Muhdats menurut mereka adalah segala hal yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para salafush shalih. Maka, pembagian bid’ah yang lima secara otomatis tertolak bagi mereka.
Asy-Syathibi, seorang ulama Ushuli, menulis kitab Al-I’tisham yang mengupas bid’ah secara mendalam. Uniknya, kedua kelompok mazhab yang mengutub soal pemaknaan istilah bid’ah di atas sama-sama mengklaim bahwa imam asy-Syathibi berada di pihak mereka.
Abdul Ilah bin Husain al-Afraj dalam kesimpulannya menjelaskan bahwa imam asy-Syathibi berpendapat bahwa bid’ah adalah sebuah terminologi syariat. Maksud dari bid’ah adalah setiap hal baru yang bertentangan dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah syar’i.
Sedangkan al-Muhdats yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil dan kaidah syar’i, maka tidak disebut bid’ah. Itu adalah hal baru yang disyariatkan sesuai dengan hukumnya yang sesuai. Sebab, nushush syari’ah yang umum dan kaidah-kaidah umum telah mendukungnya. Imam asy-Syathibi memiliki istilah sendiri untuk ini, yakni al-Maslahah al-Mursalah.
Sehingga, dalam hal ini imam asy-Syathibi lebih tepat jika dinilai berada di tengah-tengah antara dua kutub mazhab dalam pemaknaan bid’ah, dengan agak lebih condong ke kutub mazhab pertama.
Imam asy-Syathibi sependapat dengan kutub mazhab pertama secara substansi meskipun memiliki perbedaan lafal. Imam asy-Syathibi berbeda pendapat dengan kutub mazhab kedua secara substansi, dan terkadang sepakat dengan kutub ini dalam menilai dan menghukumi sebagian hal-hal baru dengan bid’ah.
Faktor yang membuat imam asy-Syathibi menghukumi sebagian hal baru dengan bid’ah adalah perbedaan pendapat dalam aplikasi makna bid’ah terhadap elemen-elemen al-Muhdatsah (hal-hal baru).
Bisa jadi imam asy-Syathibi belum menemukan dalil umum yang bisa menjadi landasannya dan tidak menganggapnya sebagai maslahah mursalah, kemudian menilainya sebagai bid’ah. Meski demikian, ungkapan-ungkapan imam asy-Syathibi selalu menjelaskan bahwa ia tidak menilai sesuatu sebagai bid’ah hanya karena hal itu baru, tetapi karena tidak ada dalil yang menunjukkan tentang pensyariatannya, baik dari nushush syari’ah ataupun dari kaidah-kaidah umum.
Baca juga: Sikap Ghuluw itu Terlarang dalam Islam, Kenapa Demikian?
Menarik untuk kita pahami secara seksama kalimat imam asy-Syathibi berikut ini,
مِنْ حَقِيقَةِ الْبِدْعَةِ أَنْ لَا يَدُلَّ عَلَيْهَا دَلِيلٌ شَرْعِيٌّ; لَا مِنْ نُصُوصِ الشَّرْعِ، وَلَا مِنْ قَوَاعِدِهِ. إِذْ لَوْ كَانَ هُنَالِكَ مَا يَدُلُّ مِنَ الشَّرْعِ عَلَى وُجُوبٍ أَوْ نَدْبٍ أَوْ إِبَاحَةٍ; لَمَا كَانَ ثَمَّ بِدْعَةٌ، وَلَكَانَ الْعَمَلُ دَاخِلًا فِي عُمُومِ الْأَعْمَالِ الْمَأْمُورِ بِهَا أَوِ الْمُخَيَّرِ فِيهَا
“Hakikat bid’ah adalah tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan pensyariatannya; tidak ada nushush syari’ah-nya dan tidak ada kaidah-kaidah umumnya. Jika ada hal yang menunjukkan wajib, sunnah, atau mubah, tidak akan disebut bid’ah. Amalan tersebut masuk dalam keumuman amal-amal yang mukhayyar (diperintahkan atau disuruh memilih mengerjakannya atau tidak).” (Al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, 1/246) Wallahu a’lam [Sodiq Fajar/dakwah.id/tulisan ini telah diterbitkan oleh Majalah Fikih Islam Hujjah edisi 48 dengan judul Dua Kutub Pemaknaan Istilah Bid’ah]