Mandi Janabah Setelah Terbit Fajar — Hadits Puasa #16
عَنْ عَائِشَةَ وَأُمَّ سَلَمَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ، وَيَصُومُ. وَفِي حَدِيْثِ أُمِّ سَلَمَةَ: وَلَا يَقْضِي
Dari Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma,
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjumpai waktu fajar dalam keadaan junub saat di rumah keluarga beliau, kemudian beliau mandi, lalu puasa.”
Dalam hadits Ummu Salamah disebutkan,
“Dan beliau tidak mengqadha’ puasa.” (HR. Al-Bukhari No. 1925, 1926; HR. Muslim No. 1109)
Baca juga: Puasa Adalah Perisai — Hadits Puasa #12
Hadits di atas mengisyaratkan bahwa jika orang yang puasa mendapati dirinya dalam keadaan junub setelah terbit fajar karena malamnya menyetubuhi istri atau karena mimpi basah, jika ia tetap menahan diri dari makan, minum, dan dari pembatal puasa disertai dengan niat di waktu awal mau puasa, maka puasanya tetap sah meskipun belum sempat mandi janabah kecuali setelah terbit fajar.
Maksud dari al-Janabah adalah segala sesuatu yang menjadi sebab wajibnya mandi (mandi junub) berupa keluarnya mani atau menyetubuhi istri/suami.
Allah ‘azza wajalla berfirman,
فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ
“Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Ketika Allah ‘azza wajalla membolehkan jimak yang batas akhirnya hingga tampak jelas terbitnya fajar, maka tentu itu menuntut pelaksanaan mandi junub setelah terbitnya fajar.
Baca juga: Menghidupkan Malam Bulan Ramadhan — Hadits Puasa #5
Kemudian pada hadits di atas dijelaskan bahwa penyebab junub Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyetubuhi istri beliau (jimak), bukan karena mimpi basah (ihtilam).
Maka, ini menjadi penjelas bahwa sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengakhirkan mandi janabah adalah sebuah pilihan, beliau tidak bersegera untuk melaksanakan mandi janabah.
Oleh sebab itu, para ulama menyimpulkan bahwa tidak ada kewajiban untuk menyegerakan mandi janabah. Bahkan, boleh mengakhirkannya hingga fajar telah terbit.
Dalam Shahih Muslim disebutkan,
أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِيهِ، وَهِيَ تَسْمَعُ مِنْ وَرَاءِ الْبَابِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، تُدْرِكُنِي الصَّلَاةُ وَأَنَا جُنُبٌ، أَفَأَصُومُ؟
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَأَنَا تُدْرِكُنِي الصَّلَاةُ وَأَنَا جُنُبٌ فَأَصُومُ
فَقَالَ: لَسْتَ مِثْلَنَا، يَا رَسُولَ اللهِ، قَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ،
فَقَالَ: وَاللهِ، إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَخْشَاكُمْ لِلَّهِ، وَأَعْلَمَكُمْ بِمَا أَتَّقِي
Ada seorang laki-laki datang meminta fatwa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara Aisyah waktu itu mendengar dari balik pintu. Laki-laki itu bertanya, “Wahai Rasulullah, waktu shalat telah tiba sedangkan aku dalam keadaan junub. Bolehkah aku meneruskan puasaku?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Aku pun pernah mendapati waktu Subuh dalam keadaan junub, namun aku tetap berpuasa.”
Laki-laki itu berkata, “Anda tidaklah sama dengan kami wahai Rasulullah. Sebab Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda baik telah berlalu atau pun yang akan datang.”
Maka beliau pun bersabda, “Sesungguhnya aku berharap, bahwa akulah yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan paling tahu bagaimana caranya bertakwa.” (HR. Muslim No. No. 1110)
Baca juga: 4 Keutamaan Puasa — Hadits Puasa #3
Begitu juga dengan orang yang haid atau nifas, jika darahnya telah berhenti dan ia sadar telah suci kembali sebelum terbit fajar, maka ia tetap menjalankan puasa meski belum sempat mandi janabah kecuali setelah terbit fajar. Akan tetapi tetap lebih utama untuk bersegera mandi janabah agar dapat mengikuti shalat Subuh tepat waktu.
Persoalan lain yang terkait dengan ini, jika orang yang puasa mengalami mimpi basah (ihtilam) di siang hari bulan Ramadhan, maka hendaknya ia segera mandi janabah dan puasanya tetap sah.
Karena mimpi basah (ihtilam) terjadi tanpa unsur kesengajaan dan bukan atas pilihan atau keinginan orang tersebut.
Allah ‘azza wajalla berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Hadits di atas juga menjadi dalil bolehnya hukum mandi dalam keadaan puasa. Sama saja apakah yang dilakukannya mandi wajib ataukah mandi sunnah atau mandi mubah.
Baca juga: Keutamaan Sahur bagi Orang yang Ingin Puasa — Hadits Puasa #10
Imam al-Bukhari menyebutkan perbuatan beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum yang menguatkan kesimpulan tersebut yang beliau tuliskan dalam Bab Ightisal ash-Shaim (Bab Mandinya Orang yang Puasa).
وَبَلَّ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ثَوْبًا، فَأَلْقَاهُ عَلَيْهِ وَهُوَ صَائِمٌ وَدَخَلَ الشَّعْبِيُّ الحَمَّامَ وَهُوَ صَائِمٌ
“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah membasahi pakaiannya kemudian memakainya dan beliau waktu itu dalam keadaan puasa. Kemudian asy-Sya’bi juga pernah masuk tempat pemandian dan beliau dalam keadaan puasa.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
لاَ بَأْسَ أَنْ يَتَطَعَّمَ القِدْرَ أَوِ الشَّيْءَ
“Tidak mengapa mencicipi makanan yang ada di kuali atau apa pun (bagi yang berpuasa).”
Al-Hasan al-Bashri berkata,
لاَ بَأْسَ بِالْمَضْمَضَةِ، وَالتَّبَرُّدِ لِلصَّائِمِ
“Tidak mengapa berkumur-kumur dan mendinginkan badan untuk orang yang puasa.” (Shahih al-Bukhari, 3/30)
Baca juga: Sunnah tapi Terabaikan #2: Berkumur dan Istinsyaq Tiga Kali dengan Satu Hirupan Air
Ibnu Munayyir (w. 683 H) menegaskan,
ردّ على من كره اغتسال الصَّائِم، لِأَنَّهُ إِن كرهه خشيَة وُصُول المَاء حلقه، فالعلة بَاطِلَة بالمضمضة، وبالسواك، وبذوق الْقدر، وَنَحْو ذَلِك.
وَإِن كرهه للرفاهية، اسْتحبَّ السّلف للصَّائِم الترفه، والتجمل، وبالترجل والادهان. وأجازوا الْكحل، وَغير ذَلِك.
فَلذَلِك سَاق هَذِه الْأَفْعَال تَحت تَرْجَمَة الِاغْتِسَال.
“Ini adalah bantahan untuk pendapat yang menghukumi makruh mandi dalam keadaan puasa. Sebab, jika pendapat tersebut memakruhkannya karena khawatir ada air yang masuk ke kerongkongan, maka sebenarnya ini adalah alasan masalah yang keliru (illat bathil) jika dikomparasikan dengan hukum berkumur ketika wudhu, hukum bersiwak, hukum mencicipi makanan, dan semisalnya.
Jika pendapat tersebut memakruhkannya karena alasan bermewah-mewah, buktinya para salaf dahulu justru menganjurkan orang yang puasa untuk bermewah-mewah seperti bersisir, memakai minyak rambut, merekan juga membolehkan memakai celak dan semisalnya. Oleh sebab itu, mereka mengategorikan perbuatan-perbuatan ini (bersiwak, mencicipi makana, dan lainnya) dalam bab ightisal (bab Hukum Mandi).” (Al-Mutawari ‘ala Tarajim Abwab al-Bukhari, Ibnu al-Munayyir al-Iskandarani, 1/131)
Wallahu a’lam [Sodiq Fajar/dakwah.id]
اَللَّهُمَّ اسْلُكْ بِنَا سَبِيْلَ أَهْلِ الطَّاعَةِ، وَوَفِّقْنَا لِلثَّبَاتِ عَلَيْهَا وَالْاِسْتِقَامَةِ، وَعَافِنَا مِنْ مُوْجِبَاتِ الْحَسْرَةِ وَالنَّدَامَةِ، وَآمِنَّا مِنْ فَزَعِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَاغْفِرْ اَللَّهُمَّ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ.
Ya Allah, letakkanlah kami di jalan orang-orang yang taat, mudahkanlah kami untuk teguh dan istiqamah di atasnya, selamatkan kami dari sebab-sebab kegagalan dan penyesalan, selamatkan kami dari ketakutan di hari kiamat, ampuni dosa kami ya Allah, ampuni dosa orang tua kami dan dosa seluruh kaum muslimin.
Diadaptasi dari kitab: Mukhtashar Ahadits ash-Shiyam
Penulis: Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan
Penerjemah: Sodiq Fajar