materi kultum ramadhan menaklukkan budaya konsumerisme dakwah.id

Kultum Ramadhan: Menaklukkan Budaya Konsumerisme dengan Puasa Ramadhan

Terakhir diperbarui pada · 78 views

Menaklukkan Budaya Konsumerisme dengan Puasa Ramadhan

Pemateri: Ustadz Wildan Arief

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَسْبَغَ عَلَيْنَا نِعَمَهُ الظَّاهِرَةَ وَالْبَاطِنَةَ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ اَلْمَبْعُوْثِ بِالْقُدْوَةِ الْحَسَنَةِ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِالْإِحْسَانِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. أَمَّا بَعْدُ.


Segala puji milik Allah Ta’ala semata. Atas izin dan karunia-Nya, kita masih dapat bersua kembali dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah pada tahun ini.

Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada suri teladan kita, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, keluarganya, sahabatnya, serta umatnya yang sabar mengamalkan petunjuknya. Amma badu.

Jamaah shalat Tarawih yang dirahmati Allah…

Berapa banyak masyarakat kita yang membeli sesuatu bukan karena butuh, tetapi karena sekedar tergoda iklan, diskon, atau mengikuti tren?

Tidak bisa membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Berapa banyak yang terjerat pinjol bukan karena untuk membeli kebutuhan pokok, tapi sekedar untuk membeli aksesoris yang sedang viral?

Fenomena-fenomena ini menunjukkan bahwa masyakarat kita telah banyak yang terjebak dalam budaya konsumerisme.

Apa itu konsumerisme? Yaitu sebuah gaya hidup yang mendorong kita untuk terus membeli dan menumpuk barang, meski sering kali tidak diperlukan.

Kebahagiaan menjadi diukur dari siapa yang lebih banyak barangnya, dari apa merk pakaiannya, atau dari sudah iphone kah gadgetnya?

Padahal, semakin manusia mengejar dunia, semakin kita akan merasa kurang dan tidak pernah puas. Rasulullah bersabda dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari nomor 6439 dan imam Muslim nomor 1048,

لَوْ أَنَّ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ، أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ، وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

Seandainya anak Adam memiliki satu lembah penuh emas, niscaya ia ingin memiliki dua lembah. Dan tidak akan memenuhi mulutnya kecuali tanah (kuburan). Dan Allah menerima taubat siapa saja yang bertaubat.”

Dampak Negatif Budaya Konsumerisme

Budaya konsumerisme memiliki dampak negatif yang sangat banyak. Baik bagi individu maupun masyarakat.

Dorongan untuk selalu mengikuti tren juga membuat banyak orang rela berhutang demi membeli barang yang sebenarnya tidak mereka perlukan. Hidup pun menjadi tidak tenang karena waktu jatuh tempo kian menekan.

Dalam data statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK), setidaknya sebanyak 2,6 juta orang mengalami kesulitan mengembalikan dana pinjol, yang lebih dari separuhnya adalah anak muda.

Yang disayangkan, sebagian dari mereka meminjam bukan karena kebutuhan, melainkan karena sekadar untuk mengikuti tren atau untuk terlibat dalam judi online.

Selain itu, tingginya budaya konsumtif menyebabkan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Demi memenuhi gaya hidup manusia, alam terus dieksploitasi tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya. Lambat laun, ini berujung pada kerusakan lingkungan yang sulit diperbaiki.

Di Indonesia, laju deforestasi mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Artinya, setiap tahunnya kita kehilangan sebagian besar paru-paru dunia.

Tak hanya itu, kebiasaan membeli pakaian berlebihan tanpa memikirkan dampaknya telah menyebabkan timbunan limbah tekstil mencapai 2,3 juta ton dalam satu tahun.

Belum lagi sampah plastik yang terus menumpuk. Setiap tahun, Indonesia menggunakan sekitar 182,7 miliar kantong plastik dengan total bobot lebih dari satu juta ton.

Allah sejatinya telah mengingatkan dalam firman-Nya surat ar- Rum ayat 41:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Puasa Sebagai Perlawanan Atas Budaya Konsumerisme

Bulan Ramadhan ini sejatinya bukan hanya bulan kita berlomba-lomba ibadah, namun juga bulan refleksi bagi diri kita. Puasa Ramadhan melatih kita untuk bijak dalam berkonsumsi. Makan dan minum yang sebelumnya mubah dan boleh-boleh saja, oleh Allah kita diminta untuk menahannya.

Puasa adalah bentuk perlawanan terhadap sistem yang menjadikan syahwat sebagai Tuhan.

Jika peradaban modern terus mengobarkan nafsu untuk memiliki dan menguasai, maka puasa mengajarkan untuk menahan diri, menolak dikendalikan oleh keinginan, dan merasakan cukup dengan yang sedikit. Dalam hadits Riwayat al-Bukhari nomor 6446 dan Muslim nomor 1051, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ العَرَضِ، وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Kekayaan bukanlah banyaknya harta benda, tetapi kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa.”

Di tengah masyarakat modern yang terus dikejar kecemasan karena takut kehilangan harta dan status. Di tengah masyarakat konsumtif yang membuang makanan berlimpah sementara jutaan manusia lain sedang kelaparan.

Puasa datang sebagai kritik atas segala kerusakan ini. Puasa adalah penegasan bahwa manusia tidak diciptakan untuk menjadi budak pasar, tetapi untuk menjadi hamba-hamba Allah yang merdeka.

Jika kapitalisme mengajarkan bahwa kebahagiaan ada dalam memiliki, maka puasa mengajarkan bahwa kebahagiaan ada dalam melepaskan. Jika dunia modern memacu untuk terus menuntut lebih, maka puasa mengajarkan untuk bersyukur atas yang sedikit.

Ramadhan Sebagai Momen Bijak Dalam Berkonsumsi

Bulan Ramadhan seharusnya menjadi momen kita untuk introspeksi diri. Sudah bijakkah kita dalam mengkonsumsi. Perlukah setiap barang yang sudah kita miliki. Sesuai kebutuhankah makanan yang kita beli. Jika yang kita punya hanya sekedar agar dipandang sebagai si kaya.

Jika yang kita makan tidak untuk memberi tenaga tapi hanya agar bisa diposting di media. Maka sejatinya kita sedang terjebak dalam budaya konsumerisme yang merusak.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan kita agar tidak berlebihan dalam makan dan minum, sebagaimana diriwayatkan oleh imam at-Tirmidzi hadits nomor 2380,

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ، وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

Tidak ada wadah yang lebih buruk yang dipenuhi oleh anak Adam selain perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suapan yang sekadar menegakkan tulang punggungnya. Jika ia harus mengisinya, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk udara.”

Jangan jadikan Ramadhan kita justru terjerumus dalam jebakan budaya konsumerisme yang sama. Jangan jadikan bulan ini sekadar waktu untuk mengganti jadwal makan, dari siang ke malam.

Sebaliknya, jadikanlah Ramadhan sebagai momentum membebaskan diri dari ketergantungan pada dunia. Kembali pada fitrah yang bersih, di mana manusia tidak menjadi hamba, kecuali hamba dari Sang Maha Pencipta, Allah subhanahu wata’ala. (Wildan Arif/dakwah.id)

Topik Terkait

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Discover more from Dakwah.ID

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading