Tulisan yang berjudul Sifat Wara’ Cara Tepat Menghindari Syubhat adalah seri ke-22 dari serial Materi Kultum Ramadhan yang ditulis oleh ustadz Muhammad Faishal Fadhli.
Ada sebuah kisah inspiratif tentang sifat wara’ yang benar-benar terjadi di kalangan Bani Israel. Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallama, menyampikan kisah ini berdasarkan wahyu.
Berikut runutan ceritanya:
Seseorang membeli tanah dari orang lain. Pembeli menemukan guci berisi emas di tanah itu.
Pembeli berkata kepada penjual tanah, “Ambil emasmu ini dariku. Aku hanya membeli tanah, tidak membeli emas.”
Lantas si penjual berkata kepadanya, “Aku menjual tanah berikut isinya.”
Kemudian, mereka berdua mengadukan perkara ini kepada seorang lelaki. Orang yang dimintai pendapatnya itu berkata, “Apakah kalian berdua mempunyai keturunan?”
Salah satu dari mereka berkata, “Aku punya seorang putra.” Dan yang satu lagi menjawab, “Aku punya seorang putri.”
Maka kemudian, lelaki yang dianggap sebagai penengah itu memutuskan perkara, “Nikahkan putramu dengan si gadis, dan infakkan emas itu kepada mereka berdua, dan bersedekahlah (dengan emas itu).”
Kisah di atas seratus persen valid. Karena bersumber dari hadits nabi yang derajatnya paling shahih: Muttafaqun ‘Alaihi.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Jami’ Shahih-nya, nomor 3472, Kitab Ahadits Al-Anbiya’. Sedangkan Imam Muslim mencantumkannya dalam Kitab Al-Aqdhiyah, nomor 1721.
Di antara butiran hikmah yang bisa dijadikan pelajaran dari hadits ini antara lain,
Pertama, dengan memelihara sifat wara’, kita akan mendapatkan keuntungan dunia-akhirat.
Hakikat dari wara’ itu sendiri adalah kehati-hatian.
Sifat wara’ adalah menjauhi sesuatu yang masih sama-samar, syubhat, ketidakjelasan status sebuah harta benda, antara halal dan haram.
Bayangkan, bagaimana jika kita yang berada di posisi pembeli tanah dan mendapatkan seguci emas yang tertimbun di dalamnya?
Apakah kita akan bersikap jujur dan menghindari harta karun itu?
Atau, sekiranya kita yang berada di posisi penjual tanah; mungkin akan mengklaim bahwa emas itu memang milik kita, atau warisan dari kakek-nenek dahulu, meskipun sebenarnya kita tahu menahu dari mana emas itu berasal?
Alangkah indahnya kisah yang satu ini. Baik pembeli atau penjual tanah, sama-sama memilih untuk jujur, wara’ menghindari perkara syubhat.
Sebuah sikap yang menunjukkan bahwa mutiara zuhud telah bersemayam di hati mereka. Hingga pada akhirnya happy ending story: mereka berdua disatukan dalam sebuah jalinan keluarga dan akad yang mulia.
Masyaallah. Luar biasa.
Dalam banyak hadits, Rasulullah sangat menganjurkan umatnya untuk bersifat wara’. Di antaranya sebagaimana tercantum dalam hadits al-Arba’in an-Nawawi nomor 6.
Dari Abu Abdillah An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الحَلَالَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ،
“Sesungguhnya yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar) yang tidak diketahui kebanyakan manusia.”
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ.
“Barang siapa menjaga diri dari hal yang samar (syubhat), sungguh dia telah memelihara agama dan kehormatannya, dan barang siapa yang terjatuh pada yang syubhat, akan terjatuh pada yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanah larangan yang suatu saat akan memasukinya.”
أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى. أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ.
“Ketahuilah, sesungguhnya setiap raja memiliki batas larangan. Ketahuilah batas larangan Allah adalah hal yang diharamkan-Nya.”
أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ القَلْبُ.
“Ketahuilah, di dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka baik pula seluruh tubuh, tetapi jika buruk maka buruk pula seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Al-Bukhari no. 52; HR. Muslim no. 1599)
Hadits al-Araba’in an-Nawawi, nomor 10 dan 11 juga masih relate jika dikaitkan dengan tema wara’.
Hadits kesepuluh berbicara tentang pentingnya mencari harta halal dan peringatan bahwa harta haram akan menjadi penghalang terkabulnya do’a.
Adapun hadits kesebelas, berbicara tentang nasihat nabi agar kita meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, dan mengambil sesuatu yang sudah pasti, sudah jelas kehalalannya.
Contoh Sifat Wara’
Rasulullah sendiri mempraktikkan sifat wara’, yaitu dengan menghindari memakan kurma yang syubhat statusnya. Khawatir jika termasuk sedekah, karena para nabi tidak mengkonsumi harta sedekah.
Sahabat nabi radhiyallahu ‘anhum juga mempraktikkan sifat wara’.
Abu Bakar Ash-Shiddiq misalnya, pernah diberi roti oleh pembantunya. Tapi ternyata, roti yang dimakan oleh Abu Bakar, dibeli dengan upah hasil perdukunan yang dikerjakan oleh si pembantu.
Maka Abu Bakar memasukkan jemarinya ke dalam mulut, untuk memuntahkan apa yang sudah ia makan.
Begitu juga halnya dengan Umar bin Khatthab. Syaikh Abdussattar, dalam biografi Amirul Mukminin Umar bin Khatthab, menyebutkan bahwa para sahabat nabi yang lain, belajar wara’ secara rutin dan intens kepada Umar.
Di antara contoh wara’ pada diri sahabat Umar adalah: berusaha sebisa mungkin menjauhi harta dari Baitulmal.
Juga menjauhkan sanak familinya, terutama anaknya, untuk menempati jabatan strategis di pemerintahan, meskipun ia seorang khalifah.
Selain itu, Umar juga dikenal sebagai orang yang paling menjaga diri dari hal-hal syubhat. Umar selalu memperbanyak muhasabah, dan menangisi terbukanya pintu-pintu dunia di masa kekhilafahannya.
Masih banyak lagi kisah terladan dari para sahabat nabi tentang sifat wara’.
Generasi tabi’in, tabi’ut tabi’in, ulama salaf yang menjaga sikap ini juga sangat banyak. Mereka semua senantiasa berusaha menghindari hal-hal syubhat.
Dari perjalanan hidup mereka kita belajar bahwa orang mukmin yang berakal, tidak akan merasa berat untuk memelihara sifat wara’ dan zuhud terhadap dunia, karena rezeki kita semua, sudah ada yang mengatur. Allah subhanahu wata’ala. Wallāhul muwaffiq ilā aqwamith tharīq. (Muhammad Faishal Fadhli/dakwah.id)
Baca juga artikel Materi Kultum Ramadhan atau artikel menarik lainnya karya Muhammad Faishal Fadhli.
Penulis: Muhammad Faishal Fadhli
Editor: Sodiq Fajar
Artikel Materi Kultum Ramadhan sebelumnya: