Siapa yang tak ingin shalatnya lebih khusyu’? Tentu semua menginginkannya, bukan?. Kenapa? Karena khusyu’ merupakan unsur yang sangat penting dalam ibadah shalat. Shalat akan sangat terasa nikmat jika bisa menghadirkan kekhusyu’an.
Khusyu’ dalam shalat akan tercapai dengan menghadirkan hati di hadapan Allah, menghayati kedekatan dengan-Nya, sampai hatinya merasa tentram. Jiwa dan gerakannya tenang. Tidak banyak mengingat sesuatu di luar urusan shalat. Beradab di hadapan-Nya. Menghayati seluruh bacaan yang ia ucapkan dari awal hingga selesai shalat. Sehingga rasa was-was, bisikan syaitan, dan berbagai pikiran buruk hilang dari dirinya. (Tafsir Karimur Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, Syaikh As-Sa’di, hal. 637)
Semakin maksimal menerapkan sunnah-sunnah Rasulullah dalam shalat, peluang untuk meraih khusyu’ semakin besar. Salah satu caranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan, saat shalat beliau mengarahkan pandangannya ke tanah.
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَ رَمَى بِبَصَرِهِ نَحْوَ الْأَرْضِ
“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika shalat menundukkan kepala beliau dan mengarahkan pandangannya ke tanah” (HR. Al-Hakim, beliau mengatakan shahih sesuai syarat Imam Muslim, disepakati oleh Adz-Dzahabi dan Al-Albani)
Lalu bagaimana dengan pandangan yang mengarah ke atas saat shalat, apakah ini diperbolehkan?
Ternyata Rasulullah sangat menekankan untuk selalu mengarahkan pandangan ke arah bawah, lebih spesifik lagi, ke arah tempat sujud. Salah satu hikmahnya, agar lebih mudah mencapai khusyu’ saat shalat.
Para ulama ahli fikih dari madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa hendaknya orang yang shalat memandang ke arah tempat sujud. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Hanbali al-Almaqdisi, 1/ 370)
Akan tetapi, Ulama ahli fikih mengecualikan ketika tasyahud. Saat tasyahud, pandangan mata tertuju ke arah jari telunjuk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَعَدَ فِي التَّشَهُّدِ وَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ لَا يُجَاوِزُ بَصَرُهُ إِشَارَتَهُ
“Sesungguhnya Rasulullah saat duduk tasyahud maka beliau meletakkan telapak tangan kiri di atas paha kirinya serta menunjuk dengan jari telunjuknya (tangan kanan), pandangannya tak pernah melebihi telunjuknya.” (HR. Nasa’i)
Bahkan Rasulullah memberikan ancaman kepada orang yang shalat dengan pandangan mata ke arah atas. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلَاةِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ .(رواه مسلم)
“Hendaklah orang-orang itu segera menghentikan untuk mengangkat pandangan mereka ke langit saat shalat, atau sungguh akan disambar pengelihatan mereka.” (HR. Muslim no. 965)
Di dalam riwayat lain disebutkan,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرجِعُ إِلَيهِم
“Hendaknya orang-orang yang memandang ke arah langit ketika shalat itu bertaubat atau kalau tidak, penglihatan mereka tidak akan kembali kepada mereka” (HR. Bukhari 750, Muslim 428).
Sebagian ulama ada yang berpendapat atas batalnya shalat orang yang menoleh ke atas, namun jumhur ulama berpendapat tidak batal, tapi berdosa. (Syarhul Mumthi’, 3/43). Wallahu a’lam. [Shodiq/dakwah.id]