Membangun Karakter Anak dengan Metode Berkisah-dakwah.id

Membangun Karakter Anak dengan Metode Berkisah

Terakhir diperbarui pada · 1,651 views

Membangun peradaban umat skala global dimulai dari membangun karakter pribadi. Pribadi yang berkualitas selalu dimulai dengan membangun karakter anak sebagai unsur terkecil dalam peradaban. Ternyata, membangun karakter anak bukanlah urusan mudah.

Seorang ahli teori psikologi Amerika, Dr. David McClelland melakukan sebuah penelitian. Ia mencoba menganalisis pengaruh kisah atau cerita terhadap kemajuan suatu bangsa. Hasil penelitian ini digunakan sebagai acuan dalam membangun karakter anak.

Dr. David meneliti negara Inggris dan Spanyol. Awalnya kedua negara ini merupakan dua negara yang kaya raya dan maju. Namun seiring berjalannya waktu, Spanyol mengalami kemunduran, sementara Inggris tetap sebagai negara kaya dan maju.

Baca juga: 8 Cara Agar Pintu Rezeki Penuh Berkah

Setelah semua aspek diperiksa, ada poin yang menyita perhatian McClelland. Ternyata anak-anak dari dua negara tersebut disuguhi cerita rakyat dengan karakter yang berbeda.

Cerita rakyat yang yang biasa didengar oleh anak-anak di Inggris pada abad ke-16 berhasil menumbuhkan rasa “butuh berprestasi.” Sedangkan di Spanyol cerita yang berkembang di sana hanya bisa meninabobokkan anak-anak.

Berdasarkan penelitian tersebut, David McClelland menyimpulkan bahwa cerita rasa butuh berprestasi yang tumbuh melalui cerita rakyat inilah yang memengaruhi kemajuan peradaban sebuah bangsa. Temuan ini disebut dengan istilah teori Need for Achievement  atau dikenal dengan inisial N-Ach.

Teori ini bertujuan untuk membangun motivasi seseorang untuk berprestasi. Dan motivasi itu dapat ditumbuhkan melalui cerita atau kisah.

Sebagian pakar pendidikan menjadikan teori ini sebagai salah satu perangkat untuk membangun karakter anak, yaitu dengan metode berkisah.

 

Metode Berkisah telah Ada dalam Islam Jauh Sebelum Muncul Teori Need for Acheivement

Cerita memang metode komunikasi yang sangat ampuh untuk menyentuh relung jiwa manusia baik anak-anak maupun dewasa.

Kita ambil contoh proses kegiatan belajar mengajar. Ketika seorang guru menerangkan suatu rumus dan teori pelajaran dengan istilah-istilah rumit, kebanyakan anak merasa bosan lalu akhirnya tak memperhatikan gurunya.

Materi Khutbah Jumat: LGBT Adalah Penyakit, Segera Lindungi Diri dan Keluarga!

Begitu pula orang dewasa. Ketika sedang menghadiri sebuah pengajian, misalnya, bila materi yang disampaikan hanya deskripsi teori, maka sebagian dari mereka ada yang bosan dan mengantuk.

Lain halnya apabila dalam penyampaian materi menggunakan ilustrasi cerita, suasana akan semakin hidup dan pesan lebih mudah diterima oleh pendengar.

Terlebih jika cerita yang disampaikan adalah kisah nyata. Penyampaian cerita menjadi alternatif terbaik karena lebih mengesankan dan pendengar dapat menerima nasihat tanpa merasa digurui.

Islam telah memiliki dua rujukan ilmu terbaik untuk membangun karakter anak. Yaitu Al-Quran dan as-Sunnah yang sangat mulia.

Sebagian besar isi al-Quran dan as-Sunnah adalah kisah. Bahkan sekelompok ulama ada yang berpendapat,

إنَّ الْقُرْآنَ بِاعْتِبَارِ مَعَانِيهِ ثَلَاثَةُ أَثْلَاثٍ: ثُلُثٌ تَوْحِيدٌ وَثُلُثٌ قَصَصٌ وَثُلُثٌ أَمْرٌ وَنَهْيٌ

Sesungguh, ditinjau dari maknanya, al-Quran terdiri dari tiga bagian; sepertiga berupa tauhid, sepertiga berupa kisah, sepertiga lagi berupa perintah dan larangan.” (Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiyah, 17/207)

Baca juga: Amar Makruf Nahi Mungkar Ada Syaratnya, Apa saja?

Sebagai bukti kredibilitas dan orisinalitas konten kisahnya, Allah menjamin seluruh kisah dalam al-Quran merupakan kisah terbaik dan pasti orisinil.

Allah ‘azza wajalla berfiman,

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf: 111)

Ayat ini mengandung pelajaran bahwa kisah dalam al-Quran merupakan kisah terbaik. Kisah yang terdapat dalam al-Quran adalah kisah orang-orang terdahulu yang pasti nyata dan sarat makna.

Sementara kita tahu bahwa saat ini banyak cerita buatan manusia yang hanya dongeng fiktif belaka. Sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Al-Quran merupakan kitab suci penyempurna kitab-kitab suci sebelumnya. Allah telah berjanji akan menjaga keaslian isinya hingga hari kiamat kelak. Sebagaimana termaktub dalam al-Quran,

إنَّا نَحْنُ نَزَّلْناَ الذِّكْرَ وَإنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ

“Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Quran dan Kami sendiri yang akan menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9)

Baca juga: Syaikh Abdusshamad al-Palimbani: Membumikan Syariat Jihad Melawan Penjajah Melalui Literasi

Maka siapa pun tidak perlu khawatir untuk berkisah dengan sumber pedoman terbaik ini.

Dengan demikian, sebenarnya penggunaan metode berkisah dalam proses membangun karakter anak telah ada dalam al-Quran. Padahal al-Quran telah ada ratusan tahun lebih awal dari munculnya teori Need for Acheivement temuan David McClelland.

Fakta ini menjadi bukti otentik bahwa Islam lebih modern dan maju dari peradaban Barat.

Sayangnya, barangkali karena rendahnya gairah mempelajari al-Quran, banyak umat Islam yang lebih terkagum-kagum dengan temuan orang-orang Barat daripada terkagum-kagum dengan isi kandungan al-Quran.

 

Membangun Karakter Anak dengan Kisah dalam Al-Quran dan as-Sunnah

Ada banyak pilihan kisah yang Al-Quran sajikan. Para orang tua dan guru bisa memilih cerita manakah yang sesuai dengan pesan yang akan kita sampaikan kepada anak.

Misalkan orang tua atau guru ingin mengajari anak agar menjadi pemuda yang kuat dalam berpegang teguh kepada prinsip agama, maka kisah Ashabul Kahfi dalam surat al-Kahfi bisa menjadi salah satu pilihannya.

Penyampaian kisah dalam al-Quran juga dapat dilakukan dengan menghubungkannya dengan benda di sekitar.

Contoh aplikasinya begini. Ketika sedang berada di dapur, cobalah untuk mengajak anak untuk mengupas bawang merah. Ketika anak sedang kupas bawang merah, kita bisa menceritakan kisah nabi Musa dan kaumnya terkait bawang merah sebagaimana termaktub dalam surat al-Baqarah.

Metode ini insyaallah akan membantu para orang tua untuk lebih mendekatkan anak dengan al-Quran. Dalam diri anak akan terbangun karakter selalu dekat dengan al-Quran; ternyata banyak hal di sekitar yang ada kisahnya dalam al-Quran.

Selain dalam Al-Quran, para orang tua dan guru juga bisa menceritakan kisah-kisah teladan dari hadits maupun kitab karya para ulama yang shahih seperti Sirah Nabawiyah, Qishashul Anbiya’, Siyar A’lam an Nubala, Hilyatul Auliya’, atau lainnya.

Baca juga: Kenapa Orang Kafir Diberi Rezeki Oleh Allah?

Misalkan kita ingin membangun karakter anak dalam hal kejujuran dan sikap merasa diawasi oleh Allah, maka kisah tentang gadis di masa khalifah Umar bin Khattab yang diminta ibunya untuk mencampur susu dengan air dapat menjadi pilihan yang tepat.

Masih banyak lagi contoh selain itu. Silakan dieksplorasi sendiri.

 

5 Poin Penting Jika Ingin Menggunakan Metode Berkisah dalam Proses Membangun Karakter Anak

Penggunaan metode berkisah dalam proses membangun karakter anak agar menjadi shalih dan shalihah tentu tidak dilakukan secara asal-asalan.

Ada lima poin penting yang harus diperhatikan oleh para pendidik atau bunda di rumah agar penggunaan metode berkisah benar-benar memberikan hasil yang memuaskan.

Baca juga: Ucapan Selamat dan Doa Atas Kelahiran Anak dalam Hadits Shahih

 

Pertama: Membaca

Agar orang tua dan guru mampu menyampaikan ilmu, tentu saja mereka harus menguasai ilmu yang akan disampaikan. Nah, salah satu cara untuk mendapat ilmu adalah dengan membaca.

Membaca dalam pengertian yang luas: mempelajari, memahami, hingga menguasai ilmu.

Sebagaimana wahyu yang pertama kali turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kalimat pertama yang diperintahkan Allah adalah iqra’, artinya “Bacalah!”

Salah satu hikmah wahyu pertama ini, jika ingin dapat bertutur dengan kisah yang dijamin kebenarannya, maka orang tua maupun guru dapat mengambil bahan cerita dengan cara memperkaya hasil bacaan dari sumber-sumber primer ilmu Islam.

Al-Quran, as-Sunnah, dan kitab-kitab tarikh yang shahih memiliki banyak konten cerita nyata yang dapat membangun karakter anak menuju pribadi yang shalih dan shalihah.

Kisah-kisah tersebut dapat diceritakan kepada anak sesuai dengan tingkat pemahaman mereka.

Para orang tua atau pendidik tidak perlu mengadopsi kisah-kisah fiktif yang—bisa jadi—kontennya tidak akan menjadikan anak-anak kita shalih dan shalihah.

Baca juga: Menjawab Salam Orang Kafir dan Memulai Mengucap Salam Kepadanya

 

Kedua: Perencanaan

Untuk hasil yang maksimal tentu dibutuhkan perencanaan yang memadai.

Allah ‘azza wajalla berfirman,

نۤ ۚوَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُوْنَۙ

Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan.” (QS. Al-Qalam: 1)

 

Surat Al-Qolam mengandung hikmah yang cukup menarik soal anjuran menuliskan perencanaan sebelum berkisah.

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa makna dari kata yasthuruun pada ayat pertama adalah yang mereka tuliskan atau yang mereka kerjakan. (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, Imam Ibnu Katsir, 8/206)

 

Ketiga: Manajemen Malam

Pada awal ayat surat al-Muzzammil, Allah ‘azza wajalla memerintahkan untuk bangun di malam hari untuk melaksanakan shalat dan membaca Al-Quran.

Dengan hal tersebut Allah berjanji akan memberikan perkataan yang berat (baca: berkualitas) kepada pelakunya di siang harinya.

Allah ‘azza wajalla berfirman,

(1) “Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! (2) Bangunlah (untuk salat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil, (3) (yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu, (4) atau lebih dari (seperdua) itu, dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan. (5) Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu. (6) Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa); dan (bacaan pada waktu itu) lebih berkesan. (7) Sesungguhnya pada siang hari engkau sangat sibuk dengan urusan-urusan yang panjang.” (QS. Al Muzzammil: 1-7)

Baca juga: Ulama Umat yang Diam Terhadap Kesesatan: Sebuah Pelajaran dari Syaikh Al-Ibrahimi

 

Keempat: Manajemen Siang

Setelah bahan berkisah telah dikuasai, perencanaan sudah matang, usaha jasmani dan ruhani sudah baik, maka hendaknya para orang tua atau guru kita memperbanyak zikir dan menyucikan jiwa di siang harinya.

Jiwa yang bersih akan mudah berinteraksi dengan orang lain. Persiapkan betul hal-hal yang diperlukan dalam berkisah. Buat kerangka alur cerita yang akan disampaikan.

Memakai pakaian terbaik untuk menyampaikan kisah juga termasuk hal yang hendaknya diperhatikan. Sebab ini akan memberikan pengaruh positif saat penyampaian kisah. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Muddatsir,

يا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ (1) قُمْ فَأَنْذِرْ (2) وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ (3) وَثِيابَكَ فَطَهِّرْ (4) وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ (5)

وَلا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ (6) وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ (7)

(1) “Hai orang yang berkemul (berselimut), (2) Bangunlah, lalu berilah peringatan! (3) Dan Tuhanmu agungkanlah! (4) Dan pakaianmu bersihkanlah, (5) Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, (6) Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. (7) Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.(QS. Al-Mudatsir: 1-7)

 

Kelima: Metode

Dalam pelaksanaan suatu aktivitas, metode adalah tahapan yang sangat penting. Dalam surat al-Fatihah terkandung hikmah yang cukup menarik tentang ini.

Hampir semua umat muslim hafal ayat ini tanpa menghafal. Bagaimana bisa demikian?

Jawabannya, karena surat tersebut sering terdengar berulang kali. Bahkan dalam sehari tak kurang dari 17 kali baca dalam shalat.

Baca juga: Pengertian Syariat Islam yang Perlu Anda Pahami dengan Baik

Metode ini sekilas tampak ringan, namun dampaknya ternyata sangat luar biasa. Metode ini dapat diterapkan dalam proses berkisah; sering mengulang penekanan-penekanan hikmah.

Surat al-Fatihah memiliki nama lain: surat ash-shalah. Kenapa demikian? Syaikh Abdul Aziz ar-Rajhi menjelaskan,

لِأَنَّهَا رُكْنٌ فِي الصَّلّاةِ لَابُدَّ مِنْهَا؛ فَلَوْ اقْتَصَرَ عَلَيْهَا فِي الصَّلَاةِ لَصَحَّتْ صَلَاتُهُ بِخِلَافِ غَيْرِهَا.

Karena membaca surat al-Fatihah adalah rukun yang harus dikerjakan dalam shalat. Jika (ketika berdiri dalam) shalat hanya membaca al-Fatihah, maka shalatnya tetap sah, berbeda dengan kebalikannya.” (Syarh Tafsir Ibnu Katsir, Abdul Aziz ar-Rajhi, 4/3)

Shalat terdiri dari beberapa gerakan. Maka dalam penyampaian kisah, media atau metode yang bisa menjadi pilihan adalah melengkapi kisah dengan iringan gerakan yang populer disebut dengan body language (bahasa tubuh).

Penggunaan bahasa tubuh ini akan menambah daya tarik pendengar untuk tetap fokus menikmati alur kisah sekaligus memudahkan dalam proses imajinasi kisah yang disampaikan.

Jika lima point penting di atas dapat diterapkan dengan baik, insyaallah metode berkisah yang diterapkan menjadi lebih berkualitas dan memberikan dampak positif yang maksimal.

Selamat menjadi sahabat anak dengan kisah, wahai orang tua pembelajar! (Widya Galuh/dakwah.id)

 

Bahan Bacaan:
Mahir Mendongeng, Kak Bimo
Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir
Cara Langsung Bertutur Kisah, Abu Umar Syatir & Waalid Ilham

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *