Artikel yang berjudul “Membayar Zakat Fitri dengan Uang, Bolehkah?” ini adalah artikel ke-13 dari serial artikel #MadrasahRamadhan
Membayar zakat fitri merupakan kewajiban yang telah disepakati bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat wajib untuk menunaikannya.
Salah satu dalil atas wajibnya zakat fitri adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan membayar zakat fitri berupa satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum atas sahaya, orang merdeka, wanita, anak kecil, dan orang dewasa dari kaum muslimin dan memerintahkan mereka untuk menunaikannya sebelum orang-orang keluar untuk shalat (ied).” (HR. Al-Bukhari)
Tidak ada perbedaan tentang kewajiban seorang muslim untuk membayar zakat. Akan tetapi dalam hukum turunannya, ada beberapa perbedaan pendapat di antara para ulama, salah satunya tentang; jenis zakat fitri yang ditunaikan.
Artikel Tarikh Tasyri’: Membaca Sejarah Mazhab Fikih dalam Islam
Pembayaran zakat fitri dengan menggunakan uang merupakan salah satu topik yang diperdebatkan para ulama. Ada pendapat yang membolehkannya dan juga ada yang berpendapat akan tidak sahnya penunaian zakat fitri menggunakan uang (harga).
Maka tulisan ini akan mencoba menampilkan kedua pendapat tersebut sebagai diskursus dalam pembahasan fikih. Serta memberi jawaban atas pertanyaan bolehkah membayar zakat fitri dengan uang.
Pendapat yang Membolehkan Membayar Zakat fitri dengan Uang
Perdebatan akan sah atau tidaknya membayar zakat fitri dengan uang telah menjadi diskursus tersendiri di antara para ulama.
Paling tidak dalam kasus ini, para ulama terbagi menjadi dua kelompok besar; yang berpendapat bahwa hal tersebut boleh dan sah, sedangkan yang lainnya berpendapat sebaliknya.
Ulama mazhab Hanafi membolehkan seseorang untuk membayar zakat fitri dengan harganya (qiimah); seperti dirham, dinar, uang, atau barang. Karena hakikat yang wajib dari penunaian zakat fitri adalah mencukupkan orang fakir miskin dari meminta-minta pada hari raya ‘Idul Fitri. (Bada’i ash-Shanai’, Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani, 2/72)
Pemahaman ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ وَقَالَ أَغْنُوهُمْ فِي هَذَا الْيَوْمِ
“Dari Ibnu Umar dia berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitri,’ beliau bersabda, ‘cukupkan mereka (fakir dan miskin) pada hari ini (‘ied).” (HR. Ad-Daraquthni)
Maka menurut ulama Hanafiyah, substansi dari zakat fitri adalah memberikan kecukupan pada fakir dan miskin agar tidak meminta-minta pada hari raya ‘Idul Fitri. Dan hal tersebut lebih terwakili jika ditunaikan dalam bentuk uang, yang dengannya mereka bisa membeli apa-apa yang menjadi kebutuhan mereka.
Artikel Fikih: Kenapa Terjadi Perbedaan Pendapat Ulama?
Al-Faqih Abu Ja’far menjelaskan bahwa membayarkan harganya (uang) lebih utama karena hal tersebut lebih mendatangkan manfaat bagi kaum fakir, mereka bisa menggunakannya untuk membeli sesuatu yang menjadi kebutuhan mereka. (al-Mabsuth, Abu bakar asy-Syarkhasi, 3/ 107)
Karena yang menjadi kebutuhan orang-orang fakir miskin tidak hanya makanan, maka membayar zakat fitri dengan uang lebih mempermudah mereka memenuhi kebutuhan lainnya selain makanan pokok.
Dalil lain yang digunakan adalah firman Allah Ta’ala dalam surat Ali Imran,
لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ و
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)
Wajhud dilalah atau sisi pendalilan dari ayat ini menunjukkan bahwa harta yang paling baik untuk diinfakkan adalah harta yang paling dicintai.
Maka harta yang paling dicintai untuk konteks hari ini adalah uang. Sedangkan mengeluarkan makanan menurut mayoritas manusia adalah sesuatu yang ringan dan mudah.
Hal tersebut berbeda dengan apa yang terjadi pada masa Nabi shalallahu alaihi wa salam. Di mana mengeluarkan makanan pada masa itu lebih utama dan lebih dicintai. (Tahqiq al-Amal fi Ikhraji Zakat al-Fiitri bi al-Mal, Ahmad bin Muhammad al-Ghumari, 67)
Tidak jarang kaum fakir dan miskin pada hari ini, mereka memiliki cukup makanan akan tetapi mereka tidak memiliki uang.
Maka memberikan mereka makanan hanya akan mempersulit mereka untuk kembali menjualnya di pasar agar mendapatkan uang. Sementara dalam banyak kasus harga jual kembali bahan makanan menjadi turun drastis.
Hal tersebut justru mempersulit keadaan mereka.
Karena sekali lagi, kebutuhan mereka tidak hanya makanan pokok. Mereka membutuhkan uang yang bisa membeli lauk pauk, pakaian dan hal lainnya yang memenuhi kebutuhan mereka pada hari raya ‘Idul Fitri. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 23/344-345)
Para Ulama yang membolehkan membayar zakat fitri dengan uang juga berargumentasi dengan perbuatan Umar bin Abdul Aziz yang menarik zakat fitri berupa dirham pada masa pemerintahannya.
Pada saat Umar bin Abdul ‘Aziz berkuasa, ia pernah memerintahkan amil zakat Bashrah untuk menarik zakat fitri berupa uang sebanyak setengah dirham. (Syarhu Ma’ani al-Atsar, Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi, 2/47)
Artikel Fikih: Ancaman Bagi Orang yang Meninggalkan Zakat
Ulama lain yang juga membolehkan mengeluarkan zakat fitri dengan uang beralasan bahwa hal tersebut lebih mendatangkan maslahat.
Maka pendapat ini boleh diambil menurut Umar bin Abdul Aziz, Hasan al-Bashri, Atha’ bin Abi Rabah, Sufyan ats-Tsauri, Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Taimiyah, ‘Ali Jum’ah, Yusuf al-Qaradhawi, dan Mushtofa az-Zarqa. (Tahqiq al-Amal fi Ikhraji Zakat al-Fiitri bi al-Mal, Ahmad bin Muhammad al-Ghumari, 89-101)
Pendapat Yang Melarang Membayar Zakat Fitri Dengan Uang
Sementara pendapat yang melarang penunaian zakat dengan harganya (uang) adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
Argumentasi primer mereka adalah karena penunaian zakat fitri dengan menggunakan uang tidak sesuai dengan nash tentang hal tersebut. (Al-Masusu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 23/344)
Menurut pendapat ini, zakat fitri merupakan ibadah wajib yang telah ditentukan bentuk dan waktunya. Maka tidak sah membayar zakat fitri dengan sesuatu di luar ketentuan yang telah ditetapkan. (Majmu’ Fatawa wa Rasail, Ibnu Utsaimin, 18/285)
Para ulama yang berpendapat bahwa zakat fitri harus dikeluarkan dalam bentuk makanan. Mereka berdalil dengan hadits-hadits tentang zakat fitri yang menyebutkan bahwa zakat fitri hanya boleh dikeluarkan dalam bentuk makanan.
Abu Bakar al-A’masy menjelaskan bahwa membayar (zakat fitri) dengan gandum lebih utama daripada membayarkannya dengan harganya (uang) karena yang demikian lebih dekat dengan perintah (hadits) dan menjauhi perselisihan di antara para ulama. (Al-Mabsuth, Abu bakar asy-Syarkhasi, 3/107)
Karena pada masa Nabi uang dalam bentuk Dinar dan Dirham juga telah ada, akan tetapi Nabi memerintahkan untuk mengeluarkannya dalam bentuk makanan.
Artikel Fikih: Membayar Zakat Fithri Di Awal Ramadhan, Bolehkah?
Meski demikian, ulama yang berpendapat seperti ini juga membolehkan mengeluarkan zakat fitri dari jenis makanan yang berbeda dari teks hadits, dengan catatan makanan tersebut masih masuk dalam kategori makanan pokok. (Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaili, 3/353)
Ulama kalangan Syafi’iyyah berpendapat bahwa tidak sah membayar zakat fitri dengan uang. Sedangkan dalam mazhab Imam Ahmad, zakat fitri hanya boleh ditunaikan sesuai dengan hadits yaitu; gandum, kurma, anggur, dan keju. (Al-Majmu’ Syarhu al-Muhazzab, Yahya bin Syarah an-Nawawi, 6/112; Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, 3/354)
Adapun dalil yang mereka pegang adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri:
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ.
“Dahulu kami mengeluarkan zakat fitri berupa satu sha’ makanan atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ keju atau satu sha’ anggur.” (HR. Muslim)
Meskipun demikian, tidak semua ulama melarang membayar zakat fitri dengan uang secara mutlak. Sebagian ulama membolehkannya dalam keadaan darurat yang menghajatkan untuk hal tersebut dan terdapat maslahat yang pasti di dalamnya. (Shahih Fiqhu as-Sunnah, Abu Malik Kamal, 2/84)
Ini juga merupakan pendapat Abu Ishaq yang menyebutkan bahwa membayarkan zakat fitri dalam bentuk harganya (uang) tidak sah kecuali dalam keadaan darurat. (Syarhu Yaquut an-Nafis, Muhammad bin Ahmad asy-Syatiri, 284)
Menyikapi Ikhtilaf dalam Masalah Hukum Membayar Zakat Fitri dengan Uang
Perbedaan pendapat tentang kebolehan menunaikan zakat dengan uang telah menjadi bagian diskusi perdebatan ulama sejak dahulu. Dan hal ini termasuk dalam perkara khilafiyah dimana masing-masing kelompok ahli ilmu memiliki argumentasi yang harus dihormati.
Adapun sebab terjadinya perbedaan pendapat adalah adanya perbedaan pandangan dalam menentukan substansi dari zakat itu sendiri.
Jika dirunut menjadi dua hal; kelompok pertama berpendapat bahwa zakat adalah hak fakir miskin dari harta orang kaya yang fungsinya selain ibadah mahdhah, ia juga punya peran penting sebagai ibadah sosial.
Kelompok Kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa zakat merupakan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Maka kriteria penunaiannya harus sesuai dengan nash syar’i (tauqifi).
Perbedaan pendapat di antara ulama juga terlihat dari sisi kecenderungan yang berbeda. Pendapat yang membolehkan lebih condong kepada maslahat yang dapat diraih berdasarkan Maqashid Syariah.
Artikel Tsaqafah: Pengertian Syariat Islam yang Perlu Anda Pahami dengan Baik
Sedangkan mereka yang cenderung dengan pendapat yang melarang, mereka berpegang pada nash-nash yang bersifat parsial (juz’i) dalam pembahasan ini.
Maka, bagaimana menyikapi hal tersebut, apakah mengambil pendapat yang membolehkan atau mengikuti pendapat yang melarang?
Masing-masing pendapat tentu memiliki argumentasi dan landasan dalil yang saling menguatkan pendapatnya.
Adapun penulis pribadi lebih cenderung dengan pendapat ulama yang membolehkan. Melihat dari sisi maslahat yang lebih besar dan tetap berdasarkan atsar-atsar yang bisa diterima.
Akan tetapi bagi mereka yang mengikuti pendapat para ulama yang tidak membolehkannya, maka yang demikian juga tidak salah, karena mereka juga berpijak di atas dalil-dalil yang kuat dan diterima.
Terkait ini, Yusuf al-Qaradhawi dalam Fatawa Mu’asirah (2/246) cukup bijak dalam mendudukkan persoalan tersebut. Pesan beliau, hendaknya seorang muslim memilih pendapat yang paling menenangkan hatinya dan memilih yang paling baik bagi agamanya. Dengan memilih pendapat yang paling kuat, baik secara dalil maupun tinjauan Maqashid Syariah.
Beliau juga berpesan, hendaknya seorang muslim menjauhi hawa nafsunya dalam memilih pendapat tersebut. Pemisalan dalam hal ini ibarat seperti orang sakit yang membutuhkan seorang dokter. Maka dari banyaknya dokter ia akan memilih dokter yang paling menenangkan hatinya untuk diikuti. Wallahu a’lam (Fajar Jaganegara/dakwah.id)
Artikel Fikih terbaru: