Ada kisah menarik tentang memilih makanan halal, suatu ketika sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu memasukkan jari tangannya ke dalam mulut. Beliau mencoba memuntahkan makanan yang barusan dimakan, karena mengetahui ternyata itu adalah makanan haram.
Makanan itu adalah imbalan dari pelanggan perdukunan budaknya saat budaknya masih jahiliyah.
Demikianlah praktik sifat wara’ sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu terhadap segela jenis hal yang haram. Beliau sangat memahami dampak buruk dari makan haram yang masuk kedalam tubuh.
Hingga beliau berujar:
“Andaikan makanan itu tidak bisa keluar kecuali ruhku harus keluar (mati), aku akan tetap mengeluarkannya. Ya Allah, aku berlepas diri dari setiap yang masuk ke urat dan yang berada di lambung”. (HR. Bukhari, 3554).
“Siapa yang dagingnya tumbuh dari pekerjaan yang tidak halal, maka neraka pantas untuknya.” (HR. Ibnu Hibban, 11/315, Al-Hakim dalam Mustadrak-nya, 4/141. Hadits ini shahih kata Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 4519)
Mengonsumsi makanan haram menimbulkan dampak negatif yang sangat berbahaya. Baik bagi kesehatan badan ataupun ruhani seseorang.
Bagi kesehatan, makanan haram akan menularkan karakter buruk pada jasmani. Bagi ruhani, Do’a yang ia lantunkan tidak akan dikabulkan oleh Allah. Di akhirat kelak, siksa api neraka akan melumat seluruh tubuhnya.
Makanan yang kita konsumsi selayaknya tidak hanya sekedar halal, tetapi juga harus thayib. Makanan halal dan baik. Diperoleh dengan cara yang baik. Halal hukum makanannya, thayib cara mendapatkannya.
Allah Azza wa Jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi.” (QS. Al-Baqarah: 168)
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai para rasul, makanlah dari makanan yang thoyyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51)
Sa’id bin Jubair dan Adh-Dhahak mengatakan bahwa yang dimaksud makanan yang thayyib adalah makanan yang halal. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 10/126).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush shalatu was salam untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan memperbanyak amal shalih.
Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal berfungsi sebagai pembangkit semangat amal shalih.
Oleh karena itu, para Nabi benar-benar memperhatikan bagaimana memperoleh makanan yang halal. Para Nabi mencontohkan pada kita karakter kebaikan dengan perkataan, amalan, teladan, dan nasehat.
Semoga Allah memberi pada mereka balasan karena telah memberi teladan yang baik kepada para hamba.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 10/126).
Maka, perlu kiranya memastikan kembali. Makanan halal yang ada pada diri kita apakah didapat dengan cara yang thayib atau tidak? Wallahu a‘lam [Shodiq/dakwah.id]