Pada sebagian masyarakat muslim Indonesia memiliki sebuah kebiasaan mengadzani telinga bayi baru lahir. Namun tidak semua masyarakat tahu asal usul adanya kebiasaan mengadzani telinga bayi baru lahir ini. Apakah hanya sekedar kebiasaan yang berangkat dari kekhawatiran agar bayi tidak diganggu jin, atau berangkat dari adanya perintah dalam syariat Islam tentang amalan itu.
Pada dasarnya, hadits-hadits tentang mengadzani telinga bayi baru lahir itu tidak shahih. Salah satu hadits tersebut dikeluarkan oleh Ahmad dalam kitab Musnad, oleh Abu Daud dalam kitab Sunan Abi Daud, oleh at-Tirmidzi dan al-Bazzar dalam kitab Musnad, oleh ath-Thabarani dalam kitab Mu’jam, dan al-Baihaqi dalam kitab Asy-Sya’bu, dan oleh Abdur-Razaq dalam kitab Mushannaf, dari jalur riwayat Ashim bin Ubaidillah, dari Ubaidillah bin Abi Rafi’, dari ayahnya, dia berkata,
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَن بْنِ عَلِي حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَة بِالصَّلَاةِ.
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan pada telinga Hasan bin ‘Aly ketika Fatimah melahirkannya.”
Baca juga: Sembelihan Dengan Niat Aqiqah dan Qurban/Udhiyah
Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq ath-Thurifi mengatakan, dalam sanad tersebut terdapat Ashim bin Ubaidillah. Abu Hatim mengomentari dia, “Dia suka memunkarkan hadits, mencampur-aduk hadits, tidak ada hadits yang bisa dipercaya darinya. Dia juga dianggap dha’if/lemah oleh Ibnu Ma’in. Sementara al-Bukhari menyebut dirinya, munkirul hadits.”
Kemudian ada hadits lain yang dikeluarkan oleh Abu Ya’la, dari Husain, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Barang siapa yang melahirkan, kemudian dia mengadzani di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri, maka Ummu Shibyan (Jin) tidak akan membahayakannya.” (HR. Abu Ya’la, no. 6780, dalam kitab Musnad-nya)
Dalam sanad tersebut terdapat Marwan bin Salim al-Ghifari. Dia statusnya Matruk.
Ada pula hadits lain lagi yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam kitab asy-Sya’bu dari jalur riwayat al-Hasan bin Amru, dari al-Qasim bin Muthib, dari Manshur bin Shafiyah, dari Abi Ma’bad, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَن بْنِ عَلِي يَوْمَ وُلِدَ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى.
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin Ali pada hari kelahirannya. Beliau adzan di telinganya sebelah kanan, dan iqamat di telinganya sebelah kiri.”
Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq ath-Tharifi mengatakan, “Hadits ini Munkar. Perawi bernama al-Hasan bin Amru dianggap oleh al-Bukhari sebagai pendusta. (altarefe.com)
Baca juga: Air Kencing Bayi itu Ternyata Najis, ya?
Berdasarkan keterangan di atas, tidak ada satu hadits shahih pun yang menunjukkan adanya perintah mengadzani telinga bayi baru lahir. Artinya, jika ditinjau dari sisi dalil atas perintah mengadzani telinga bayi baru lahir, hanya didapati dalil yang kekuatannya lemah alias dha’if. Sementara para ulama telah menjelaskan bahwa hadits dhaif tidak boleh diposisikan sebagai dalil utama sebuah amalan. Hadits dhaif hanya bisa diberlakukan pada perkara-perkara yang sifatnya fadha-il atau keutamaan saja.
Oleh sebab itu, para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum mengadzani telinga bayi baru lahir ini. Namun, mayoritas mazhab membolehkannya.
Imam an-Nawawi, seorang ulama mazhab Syafi’i, mengatakan,
السُّنَّةُ أَنْ يُؤَذَّنَ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ عِنْدَ وِلَادَتِهِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى وَيَكُونُ الْأَذَانُ بِلَفْظِ أَذَانِ الصَّلَاةِ
“Sunnah hukumnya mengadzani telinga bayi pada saat kelahirannya baik bayi laki-laki atau bayi perempuan. Dan hendaknya lafalnya sama seperti lafal adzan untuk shalat.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 8/442)
Baca juga: Hadits Puasa Rajab Apakah Ada yang Shahih Sebagai Dalil Pembolehannya?
Kemudian seorang ulama dari mazhab Hanbali yang bernama al-Bahuti juga menyatakan,
(وَ) سُنَّ أَنْ (يُؤَذَّنَ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ الْيُمْنَى) ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى (حِينَ يُولَدُ، وَ) أَنْ (يُقِيمَ فِي الْيُسْرَى)
“Disunnahkan untuk mengadzani telinga bayi yang sebelah kanan, baik bayi laki-laki atau perempuan, pada saat kelahirannya. Dan untuk iqamat di telinganya sebelah kiri.” (Kasyaful Qina’ ‘an Matnil Iqna’, 3/28)
Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi juga mengatakan,
مَطْلَبٌ فِي الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُنْدَبُ لَهَا الْأَذَانُ فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ (قَوْلُهُ: لَا يُسَنُّ لِغَيْرِهَا) أَيْ مِنْ الصَّلَوَاتِ وَإِلَّا فَيُنْدَبُ لِلْمَوْلُود
“Tempat-tempat (waktu) yang dianjurkan adzan selain waktu shalat (perkataannya: tidak disunnahkan pada selainnya) maksudnya selain untuk shalat, jika tidak maka dianjurkan juga pada saat kelahiran seorang bayi.” (Raddul Mukhtar ‘ala Durril Mukhtar, Ibnu Abdin, 1/385)
Mazhab Hanafi yang membolehkan itu didasarkan pada prinsip mazhab mereka yang juga menjadi prinsip mazhab lainnya. Mereka membolehkan mengamalkan hadits dhaif pada perkara-perkara yang sifatnya fadha-il amal/keutamaan amal saja.
إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي، عَلَى أَنَّهُ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ يَجُوزُ الْعَمَلُ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ
“Jika sebuah hadits itu shahih maka itu mazhabku, namun untuk perkara yang sifatnya keutamaan amal maka boleh mengamalkan hadits dhaif.” (Raddul Mukhtar ‘ala Durril Mukhtar, Ibnu Abdin, 1/385)
Sementara itu, mazhab Maliki menganggap mengadzani telinga bayi baru lahir itu hukumnya makruh. Mazhab ini menganggap itu sebagai bid’ah. Namun, sebagian ulama Malikiyah ada yang menukil pendapat mazhab Syafi’i dan mengomentari bahwa itu boleh diamalkan. (Nihayatul Muhtaj, 1/383. Kasyaful Qina’, 1/212. Al-Hithab, 1/433) Wallahu a’lam (Sodiq Fajar/dakwah.id)