Daftar Isi
Menggauli istri di malam Jumat adalah sunah Rasul! Pernah dapat pernyataan seperti itu? Kadang ketika mendekati hari Jumat, sering didapati dalam obrolan-obrolan offline maupun obrolan online dalam group Whatsapp, group Telegram, status facebook, dan lainnya ajakan seperti itu baik berupa tulisan status, broadcast, maupun gambar meme. Tentunya dengan redaksi yang lebih cair dan bervariatif.
Hal yang menarik untuk ditelisik adalah dari mana sumber pernyataan seperti itu? Apakah memang benar ada dasar hukumnya dalam fikih Islam? Apakah ada dalil shahih yang menyatakan bahwa menggauli istri di malam Jumat adalah sunah Rasul?
Sejauh ini, kami belum mengetahui apakah ada nash syar’i yang secara to the point mengisyaratkan pada anjuran khusus bagi suami untuk menggauli istri di malam Jumat, apalagi tentang kabar adanya pahala yang berlipat.
Namun, sebagian ulama menyimpulkan adanya anjuran bagi suami untuk menggauli istri di hari Jumat.
Hukum anjuran (istihbab) menggauli istri di hari Jumat tersebut berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Dari Aus bin Aus, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ، وَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا
“Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat dengan mencuci kepala dan anggota badan lainnya, lalu ia pergi di awal waktu atau ia pergi dan mendapati khutbah pertama, lalu ia mendekat pada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.” (HR. Tirmidzi no. 496. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Baca Juga: Menikah Itu Wajib Jika Sudah Tidak Tahan
Meskipun redaksinya hanya menyebut hari Jumat (yaumul jumu’ah) justru barangkali ini yang menjadi ruang penafsiran sebagian ulama untuk memasukkan malam Jumat sebagai bagian dari hari Jumat. Dalam kalender hijriyah, tanggal baru dimulai sejak terbenamnya matahari, bukan dengan petunjuk waktu jam setelah pukul 00.00.
Kemudian dalam riwayat yang lain disebutkan,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
“Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat sebagaimana mandi junub kemudian dia pergi ke masjid pada awal waktu, maka dia mendapat ganjaran seperti pahala berkurban satu ekor unta. Barangsiapa berangkat ke masjid pada waktu yang kedua, maka dia mendapat ganjaran seperti pahala berkurban seekor sapi. Barangsiapa yang berangkat masjid pada waktu yang ketiga, maka dia mendapat ganjaran seperti pahala berkurban seekor kambing jantan. Barangsiapa yang berangkat ke masjid pada waktu yang keempat, maka dia mendapat ganjaran seperti pahala berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang berangkat ke masjid pada aktu yang kelima, maka dia mendapat ganjaran seperti berkurban sebutir telur. Apabila imam telah datang (untuk menyampaikan khutbah) maka para malaikat juga turut hadir untuk mendengarkan khutbah.” (HR. Al-Bukhari No. 832; HR. Muslim No. 850; HR. Abu Daud No. 297)
Penafsiran Terhadap Hadits yang Digunakan Sebagai Dalil Anjuran Menggauli Istri Di Malam Jumat
Berkaitan dengan hadits yang disebutkan di atas, Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Maksud dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas (مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ), adalah mandi seperti halnya tata cara mandi Janabah. Inilah penafsiran yang paling populer.”
Beliau melanjutkan kalimatnya, “Sebagian sahabat kami menyebutkan dalam kitab fikih mereka bahwa maksudnya adalah mandi Janabah yang sesungguhnya. Mereka mengatakan, ‘Dianjurkan bagi suami untum menggauli istri agar lebih menundukkan pandangannya dan menenteramkan jiwanya.’ Namun ini adalah pernyataan yang lemah atau batil. Yang benar adalah yang telah kami jelaskan di awal,” kata Imam an-Nawawi.
Imam al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Dalam riwayat Ibnu Juraij dari Sumayyi dari Abdurrazaq, ‘Hendaklah seorang dari kalian mandi seperti mandi Junub’, lahiriah dari pernyataan tersebut adalah penyerupaan tata cara, bukan penyerupaan hukum. Inilah pendapat mayoritas.
Ada juga yang berpendapat bahwa dalam hadits tersebut terdapat isyarat untuk melakukan jimak pada hari Jumat agar pada hari Jumat ia melaksanakan mandi Janabah. Hikmahnya, agar jiwanya merasa tenteram hingga tiba waktu shalat (Jumat), dan agar pengelihatannya teralihkan dari hal-hal yang ia lihat pada hari itu, serta agar istrinya juga melaksanakan mandi (Janabah) pada hari itu.
Imam an-Nawawi berkata, ‘Sebagian sahabat kami berpendapat demikian, namun ini adalah pendapat lemah atau batil. Yang benar adalah pendapat yang disebutkan pertama.’
Ibnu Qudamah juga pernah menceritakan dari Imam Ahmad yang dikuatkan pula dengan pendapat dari beberapa kalangan Tabi’in, juga perkataan al-Qurthubi bahwa itu adalah pendapat yang terbaik, tidak ada celah untuk menganggapnya sebagai pendapat yang batil meskipun pendapat pertama statusnya lebih rajih. Bisa jadi pula maksud dari batil di situ adalah batil dalam mazhab (sebenarnya bukan pendapat dalam mazhab).” (Fathul Bari, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, 2/366)
Perbedaan Penafsiran Hadits Menggauli Istri di Malam Jumat
Selain itu, ada dalil lain yang berhubungan dengan ada atau tidaknya keutamaan menggauli istri di malam Jumat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَسَّلَ وَاغْتَسَلَ وَغَدَا وَابْتَكَرَ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا
“Barang siapa membersihkan dirinya dan mandi, lalu ia segera berangkat (ke masjid) sedini mungkin serta mendekat kepada imam, dan ia tidak melakukan hal yang sia-sia, setiap langkahnya laksana amalan satu tahun disertai puasa dan shalat malamnya.” (HR. An-Nasai No. 1364; HR. At-Tirmizi No. 456; HR. Ad-Darimi No. 1503; HR. Ahmad No. 16348 )
Ketika menjelaskan hadits di atas, imam an-Nawawi mengatakan bahwa ada dua riwayat tentang hadits tersebut. Riwayat pertama menyebutkan redaksi kata غسل tanpa menggunakan tasydid di huruf س, sedangkan riwayat kedua menggunakan tasydid di huruf س. Perbedaan tersebut berdampak pada penafsiran maknanya.
Redaksi hadits yang kata غسل nya menggunakan tasydid pada huruf س, mengandung tiga penafsiran;
Pertama, ghassala zaujatahu. menggauli istrinya sehingga menuntut dirinya untuk harus mandi (mandi janabah). Dalam penafsiran ini, kata ightasala dimaknai dengan dianjurkan bagi dirinya untuk menggauli istri pada hari ini (hari Jumat) agar ia merasa aman dari hal-hal yang mengganggu hatinya saat perjalanan menuju masjid.
Kedua, maksudnya adalah mencuci anggota badan saat wudhu, masing-masing bagian dibasuh tiga kali kemudian mandi Jumat.
Ketiga, mencuci pakaian, lalu mencuci kepala, lalu mandi Jumat.
Sedangkan riwayat hadits yang menggunakan redaksi غسل tanpa tasydid memiliki tiga makna;
Pertama, jimak
Kedua, mencuci pakaian dan kepala.
Ketiga, wudhu.
Pendapat yang dipilih adalah pendapat imam al-Baihaqi dan ulama ahli tahqiq lainnya; yaitu dengan redaksi tanpa tasydid, maknanya mencuci atau membersihkan kepalanya.
Baca Juga: Nikah Gagal Gara-gara Kesandung Weton, Aduh.. Kasihan
Pendapat ini dikuatkan dengan adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud yang berbunyi,
مَنْ غَسَلَ رَأْسَهُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ
“Barangsiapa yang membersihkan kepalanya pada hari Jumat dan mandi.”
Imam Abu Daud dalam kitab sunan-nya (no. 346) dan al-Baihaqi meriwayatkan penafsiran ini dari makhul dan Said bin Abdul Aziz.
Al-Baihaqi mengatakan bahwa telah tampak jelas dalam riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Organ kepala disebutkan secara khusus tersebab kebiasaan orang pada saat itu melumuri rambut dengan lemak dan pewarna dari bunga, sehingga mereka membersihkannya terlebih dahulu baru setelah itu mandi. (Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 4/543)
Hadits Dha’if Seputar Keutamaan Menggauli Istri di Malam Jumat atau Siang Harinya
Dalam bab keutamaan amal sering didapati penyantuman hadits-hadits dha’if, baik dhaif secara sanad ataupun dhaif secara matan (konten hadits). Bahkan, tak jarang hadits yang digunakan sebagai argumentasi adalah hadits munkar atau bahkan palsu.
Informasi tentang keutamaan menggauli istri di malam Jumat pun tak luput dari serbuan hadits-hadits dha’if. Misalnnya hadits,
أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يُجَامِعَ أَهْلَهُ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ؛ فَإِنَّ لَهُ أَجْرَيْنِ: أَجْرُ غَسْلِهِ، وَأَجْرُ غَسْلِ اْمرَأَتِهِ؟
“Apakah seorang di antara kalian lemah untuk menggauli istrinya di setiap Jumat padahal itu mempunyai dua pahala; pahala mandi junub dan pahala memandikan istrinya (menggauli istrinya)?”
Hadits yang diriwayatkan dari Baqiyah bin al-Walid, dari Yazid bin Sinan, dari Bakir bin Fairuz, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ini ternyata dinilai sebagai hadits yang munkar.
Pernyataan ini disampaikan oleh syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah hadits nomor 6194 (13/424) versi al-Maktabah asy-Syamilah.
Hadits tersebut dikeluarkan oleh abu Na’im dalam kitab Ath-Thibb (2/79), Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman No. 2991 (3/98), ad-Dailami dalam kitab Musnad al-Firdaus No. 1 (1/180)
Baca Juga: Mandi Jumat dan Mandi Junub Katanya Boleh Dijamak Jadi Satu, Ya?
Selain hadits tersebut, ada hadits lain yang dijadikan argumentasi penguat adanya sunah menggauli istri di malam Jumat. Hadits ini disebutkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumiddin ketika beliau menyebutkan adanya sebagian ulama yang menyukai Jimak pada hari dan malam Jumat.
Akan tetapi hadits tersebut disampaikan hanya sekilas tanpa ada kelengkapan riwayat dan teks haditsnya. Beliau menuliskan,
رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيُجَامِعَ أَهْلَهُ فَيُكْتَبُ لَهُ بِجِمَاعِهِ أَجْرُ وَلَدٍ ذَكَرٍ قَاتَلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَقُتِلَ
“Telah diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya seorang suami yang menggauli (jimak) istrinya, maka jimaknya itu dicatat memperoleh pahala seperti pahalanya anak lelaki yang berperang (dengan kaum kafir) di jalan Allah, lalu terbunuh.’” (Ihya’ Ulumiddin, Imam Al-Ghazali, 2/51, versi al-maktabah asy-Syamilah)
Setelah ditelusuri, ditemukan bahwa hadits tersebut tidak ditemukan asal-usul riwayatnya. Al-Iraqi mengatakan bahwa riwayat tersebut Lam ajid lahu ashlan; tidak ditemukan asal riwayatnya. Sementara as-Subki juga mengatakan bahwa beliau belum pernah menemukan jalur sanadnya. (Takhrij Ahadits Ihya’ Ulumiddin, Muhammad al-Haddad, 2/994)
Menggauli Istri di Malam Jumat itu Ada Anjurannya atau Tidak? Ikhtilaf
Jadi kesimpulannya, dalam persoalan apakah ada anjuran atau sunah rasul berupa menggauli istri di malam Jumat adalah persoalan yang di dalamnya para ulama berbeda pendapat.
Perbedaan pendapat tersebut terjadi pada proses penafsiran hadits yang digunakan sebagai dalil utama atas ada atau tidaknya sunah menggauli istri di malam Jumat.
Dari penjelasan di atas, tampak ada banyak ulama yang menyatakan tidak adanya anjuran untuk menggauli istri di malam Jumat, termasuk imam an-Nawawi.
Syaikh Wahbah az-Zuhaili termasuk ulama fikih yang menyimpulkan tidak adanya sunah rasul menggauli istri di malam Jumat, namun beliau mengakui memang ada beberapa ulama yang berpendapat akan adanya sunah tersebut. Beliau menuliskan,
وَلَيْسَ فِي السُّنَّةِ اِسْتِحْبَابُ الْجِمَاعِ فِي لَيَالٍ مُعَيَّنَةٍ كَالْاِثْنَيْنِ أَوْ الْجُمُعَةِ، وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ اِسْتَحَبَّ الْجِمَاعَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ.
“Di dalam as-Sunnah tidak ada anjuran untuk melakukan Jimak di malam-malam tertentu semisal malam senin atau malam Jumat, meskipun memang ada sebagian ulama yang menyatakan adanya anjuran jimak di hari Jumat.” (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaili, 4/2646, versi al-maktabah asy-Syamilah)
Sementara itu, seorang ulama kontemporer, Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid fakkallahu asrah, menyatakan bahwa pendapat yang rajih—menurut beliau—adalah bahwa hadits yang memuat perintah untuk mandi di hari Jumat tersebut berkaitan dengan mengisi waktu jeda istirahat untuk persiapan shalat Jumat dimana pada waktu tersebut dianjurkan untuk mandi, memakai wewangian, dan meminyaki rambut, jadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan anjuran melakukan jimak atau menggauli istri di malam Jumat, paginya, atau siangnya. Wallahu a’lam. [Shodiq/dakwah.id]