Menghidupkan Malam Bulan Ramadhan — Hadits Puasa #5
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa menghidupkan malam bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan penuh harap, maka diampuni dosa yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari No. 2009; HR. Muslim No. 759)
Hadits di atas menjelaskan keutamaan bulan Ramadhan. Terutama kaitannya dengan sebab-sebab datangnya ampunan Allah ‘azza wajalla terhadap dosa-dosa yang pernah dilakukan.
Barang siapa melaksanakan shalat tarawih sesuai dengan ketentuan fikihnya, maka ia telah menghidupkan malam bulan Ramadhan.
Baca juga: 4 Keutamaan Puasa — Hadits Puasa #3
Lafal qaama ramadhaana secara etimologi artinya menegakkan bulan Ramadhan. Maksudnya, menghidupkan malam bulan Ramadhan dengan berbagai kesibukan amal ibadah.
Berdasarkan hadits di atas, ampunan yang dijanjikan akan diberikan setelah terpenuhi dua syarat; imanan, dan ihtisaban.
Maksud dari imanan adalah meyakini kebenaran akan janji Allah ‘azza wajalla, keutamaan menghidupkan malam bulan Ramadhan, dan meyakini kebenaran akan besarnya pahala amalan tersebut di sisi Allah ‘azza wajalla.
Maksud dari ihtisaban adalah sangat mengharapkan pahala dari Allah ‘azza wajalla, bukan dalam rangka tujuan lain yang menunjukkan sikap riya’ dan semisalnya.
Baca juga: Hukum Berjamaah Dalam Melaksanakan Shalat Fardhu
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ بِعَزِيمَةٍ وَيَقُولُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menganjurkan untuk menghidupkan malam bulan Ramadhan, tanpa mewajibkan. Dan beliau bersabda, ‘Barang siapa menghidupkan malam bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan penuh harap, maka diampuni dosa yang telah lalu.’” (HR. Muslim 759; HR. At-Tirmizi No. 808; HR. AnNasa’i No. 2193)
Oleh karena besarnya keutamaan menghidupkan malam bulan Ramadhan, hendaknya setiap muslim selalu bersemangat dalam melaksanakan shalat tarawih berjamaah bersama imam. Tanpa meremehkan ibadah ini sedikit pun, dan konsisten melaksanakannya bersama imam shalat hingga usai, meskipun ada imam shalat yang melaksanakan shalat tarawih lebih dari sebelas rekaat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Barang siapa yang shalat bersama imam, hingga selesai diberikan baginya pahala shalat satu malam.” (HR. Abu Daud No. 1375; HR. At-Tirmizi No. 806; HR. An-Nasa’i, 3/203; HR. Ibnu Majah, 1/420. At-Tirmizi berkata, “Ini hadits hasan shahih”)
Maksud dari kata inshiraf (meninggalkan/berbalik) adalah selesai shalat. Tidak meninggalkan shalat bersama imam pertama (jika shalat dilaksanakan dengan beberapa imam shalat) hingga selesai shalat.
Baca juga: Sunnah tapi Terabaikan #3: Wudhu Sebelum Mandi Junub
Pada malam-malam itulah waktu terbatas yang sangat berharga selalu dikejar oleh orang yang berakal sebelum kehilangan kesempatan.
Imam Abu Daud mengatakan,
قِيلَ لِأَحْمَدَ، وَأَنَا أَسْمَعُ: يُؤَخِّرُ الْقِيَامَ، يَعْنِي: التَّرَاوِيحَ إِلَى آخِرِ اللَّيْلِ؟ قَالَ: لَا، سُنَّةُ الْمُسْلِمِينَ أَحَبُّ إِلَيَّ.
“Dikatakan kepada Ahmad dan aku mendengarnya, ‘Apakah bangun di malam hari, yakni shalat tarawih itu diakhirkan pelaksanaannya hingga akhir malam?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, kebiasaan kaum muslimin lebih aku sukai.’” (Masail al-Imam Ahmad, Abu Daud as-Sijistani, 1/90)
Jika seseorang ingin melaksanakan kembali shalat tarawih di waktu sahur, ia tidak perlu lagi melaksanakan shalat Witir. Shalat witirnya cukup sekali ketika ia shalat tarawih bersama imam di awal waktu.
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Thalaq bin Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لّا وِتْرَانِ فِيْ لِيْلَةٍ
“Tidak ada dua Witir dalam satu malam.” (HR. Abu Daud No. 1439; HR. At-Tirmizi No. 470; HR. An-Nasa’i, 3/229; HR. Ahmad, 26/222. At-Tirmizi berkata, “Ini hadits hasan gharib.”)
Baca juga: Qiyamul Lail Beda dengan Shalat Tahajud, Baru Tahu?
Adapun tentang hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
اِجْعَلُوْا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْراً
“Jadikanlah Witir sebagai akhir dari shalatmu di malam hari.” (Al-Bukhari No. 998; HR. Muslim No. 151, 751)
Hadits tersebut memiliki dua ihtimal (probabilitas) makna; pertama, bisa jadi yang dimaksud dalam hadits di atas adalah orang yang melaksanakan shalat di akhir malam dan belum melaksanakan Witir di awal malam. Kedua, kata perintah dalam teks hadits tersebut (ij’alu: jadikanlah) bisa jadi mengandung hukum nadab (sunnah), bukan hukum ijaab (wajib).
Sehingga, tidak ada tuntutan untuk menjadikan Witir sebagai akhir shalat di malam hari dengan dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat di akhir malam padahal telah melaksanakan shalat Witir.
Baca juga: 12 Keutamaan Shalat Malam dalam Al-Quran dan Hadits Shahih
Kemudian, seusai melaksanakan shalat Witir, hendaknya ia mengucapkan,
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ
“Maha suci Dzat Yang Maha Merajai lagi Maha Quddus.”
Dibaca sebanyak tiga kali yang dibaca dengan suara agak keras. (HR. Abu Daud No. 1430; HR. An-Nasa’i, 3/244) wallahu a’lam [Sodiq Fajar/dakwah.id]
اَللَّهُمَّ أَيْقِظْ قُلُوْبَنَا مِنْ رَقَدَاتِ الْآمَالِ، وَذَكِّرْنَا قُرْبَ الرَّحِيْلِ وَدُنُوَّ الْآجَالِ، وَثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى الْإيْمَانِ، وَوَفِّقْنَا لِصَالِحِ الْأَعْمَالِ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ
Ya Allah, bangunkan hati kami dari lelapnya angan-angan, ingatkan kami akan dekatnya hari kiamat dan kematian, teguhkan hati kami di atas iman, beri kami taufiq untuk senantiasa beramal shalih, ampuni dosa kami, dosa kedua orang tua kami, dan ampuni dosa seluruh kaum muslimin.
Diadaptasi dari kitab: Mukhtashar Ahadits ash-Shiyam
Penulis: Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan
Penerjemah: Sodiq Fajar