Zakat adalah salah satu pilar penting dalam rukun Islam. Bagi siapapun yang dengan sengaja meninggalkannya bisa dihukumi sebagai fasik bahkan kafir. Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu pernah memerangi sebuah kabilah muslim sebab mereka enggan menunaikan zakat mal. Lalu kapan bagi seorang muslim terbebani kewajiban untuk menunaikan zakat mal?
Di dalam ilmu fikih zakat, disebutkan syarat-sayarat yang harus terpenuhi pada diri pemilik harta. Syarat tersebut adalah Islam, merdeka (bukan budak), baligh dan berakal.
Sedangkan pada hartanya, ada syarat yang harus terpenuhi pula. Pertama, harta tersebut harus benar-benar milik tuannya, berada di bawah kontrol dan kekuasaannya (milku taam). Kedua, hartanya adalah harta yang berkembang dan berpotensi untuk berkembang. Ketiga, telah sampai nishab. (Abu Malik Kamal, Shahih Fikih Sunnah, 2/11)
Nishab adalah batas ukuran minimal dari harta yang wajib dizakati sesuai dengan ketetapan syari’at sebagai pedoman dalam menunaikan zakat. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla,
…وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
“..dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (Qs. Al Baqarah: 219)
Makna al–Afwu dalam ayat tersebut adalah harta yang telah melebihi kebutuhan. Oleh sebab itu, Islam menetapkan nishab sebagai ukuran kekayaan seseorang. Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar berpendapat bahwa nishab mengacu kepada emas karena sebab kestabilannya. (Abhats Fiqhiyyah fi Qadhaya zakat al-Mu’ashirah, 1/30)
Nishab juga harus memenuhi syarat berikut:
Pertama,
Harta tersebut di luar kebutuhan yang harus dipenuhi seseorang, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang dipergunakan untuk mata pencaharian.
Kedua:
Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari hari kepemilikan nishab dengan dalil hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun).” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al AlBani)
Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan. Karena zakat pertanian dan buah-buahan diambil ketika panen. Demikian juga zakat harta karun (rikaz) yang diambil ketika menemukannya.
Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing, maka ia tidak diwajibkan zakat karena nishab bagi kambing itu 40 ekor. Kemudian jika kambing-kambing tersebut berkembang biak sehingga mencapai 40 ekor, maka dimulailah menghitung satu tahun (haul) setelah sempurna nishab tersebut. Wallahu a‘lam. [Shodiq/dakwah.id]