Dalam perjalanan menuntut ilmu agama Islam, seorang thalib atau santri harus tahu langkah demi langkah yang harus ditempuhnya. Karena, langkah yang keliru berpotensi memberikan hasil yang tidak maksimal atau bahkan gagal.
Hal ini dinyatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Abdilbarr dalam kitabnya Jāmi’ Bayan al-Ilmi wa Fadhlihi,
“Menuntut ilmu itu memiliki tingkatan dan tahapan yang tidak boleh dilompati. Siapa pun yang melanggarnya, maka ia telah melanggar jalan salaf rahimahumullah. Barang siapa melanggarnya dengan sengaja, maka ia tersesat dan yang melanggarnya karena ijtihadnya, maka ia tergelincir.” (Jāmi’ Bayan al-Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdilbarr, 2/1129)
Lalu apa langkah atau tahapan pertama seorang penuntut ilmu dalam belajar ilmu agama Islam?
Dahulukan Menghafal al-Quran
Hampir semua ulama sepakat bahwa tahapan pertama penuntut ilmu agama Islam adalah menghafal al-Quran. Sebab, al-Quran adalah perkataan Allah subhanahu wata’ala dan menghafal perkataan-Nya harus didahulukan daripada menghafal perkataan selain-Nya.
Selain itu, al-Quran adalah dasar dari segala ilmu. Tidak ada satu pun ilmu yang bermanfaat kecuali ia bersumber dari al-Quran atau ia berfungsi untuk memahami al-Quran. Sebagaimana dikatakan,
وَاحْفَظْ كِتَابَ اللهِ وَاسْتَمْسِكْ بِهِ ** فَالْعِلْمُ كُلَّ الْعِلْمِ فِي الْقُرْآنِ
“Hafalkan al-Quran dan berpegang teguhlah padanya, karena ilmu dari segala ilmu ada pada al-Quran.”
Akan menjadi aneh jika seorang penuntut ilmu hafal banyak mutun maupun nadzam ilmiyah yang bahkan jumlahnya melebihi 1000 bait, akan tetapi ia tidak menghafal al-Quran. Ada yang salah dari cara belajarnya bahkan secara akal sehat dan pemahaman yang benar, hal ini, tidak bisa diterima.
Artikel Tutorial: Menghafal Al-Quran dan Murajaah Hingga Tingkatan Mutqin? Begini Trik dari Imam Masjid Nabawi
Mari kita perhatikan perkataan para salaf kita terkait tahapan belajar.
“Hendaknya para penuntut ilmu memulai belajarnya dengan menghafal al-Quran. Karena, ia merupakan ilmu yang paling agung dan paling berhak untuk didahulukan.” (Al Jami’ li Akhlaqi Rawi wa Adab as-Sami’, Al-Khatib Al-Baghdadi, 1/106)
“Yang pertama kali harus dimulai oleh seorang penuntut ilmu adalah menghafal al-Quran yang mulia. Sebab, ia merupakan ilmu yang terpenting dan para salaf terdahulu tidak mengajarkan hadits dan fiqih kecuali kepada siapa yang sudah menghafal al-Quran.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, 1/38)
“Menghafal al-Quran itu lebih didahulukan, dari apa yang banyak disebutkan oleh orang-orang sebagai ilmu.” (Al-Fatawa al-Kubra, Ibnu Taimiyyah, 2/235)
“Hendaknya penuntut ilmu memulai dengan al-Quran, menghafalnya dengan itqan, dan bersungguh-sungguh memahami tafsir dan seluruh ilmu yang berkaitan dengannya. Karena, al-Quran adalah pokok segala ilmu dan yang paling penting.” (Tadzkiratu as-Sami’ wa al-Mutakallim, Ibnu Jama’ah, 167)
Demikianlah para salaf menganjurkan kepada para penuntut ilmu untuk menghafal al-Quran. Mereka memerintahkan anak-anak atau murid-muridnya untuk menghafal al-Quran terlebih dahulu, baru kemudian berpindah pada ilmu lain. Mari kita perhatikan.
Artikel Ilmu dan Dakwah: Belajar Agama, Emang Penting?
Suatu ketika Hafs bin Ghiyats mendatangi Imam al-A’masy rahimahumallah dan berkata,
“Riwayatkan hadits padaku.” Kemudian Al-A’masy malah bertanya,
“Apakah kamu sudah menghafal al-Quran?”
“Belum.” jawab Hafs bin Ghiyats.
Maka Al-A’masy berkata,
“Pergilah, hafalkan al-Quran kemudian datanglah kembali. Akan aku meriwayatkan hadits padamu.”
Kisah lain datang dari Imam Ibnu Khuzaimah. Beliau berkata,
“Aku meminta izin pada ayahku untuk pergi menuju Imam Qutaibah. Namun, ayahku melarang dan berkata, ‘Hafalkan al-Quran terlebih dahulu sampai aku mengizinkanmu.’ Maka, aku pun mulai menghafal al-Quran.
Setelah itu ayahku berkata, ‘Tetaplah di sini sampai kamu bisa mengkhatamkannya dalam shalat.’ Maka aku pun melakukannya. Kemudian ayahku mengizinkanku, dan aku pergi. Namun, sesampainya di kota aku mendengar bahwa Imam Qutaibah telah wafat. (Tarikh Al-Islam, Adz-Dzahabi, 23/423)
Abu Ubaid bin Harbawaih berkata,
“Ayahku melarangku untuk mendengar hadits sebelum aku menghafal al-Quran. Setelah aku menghafalnya ayahku berkata, ‘Ambil ranselmu dan pergilah menuju fulan dan fulan, tulislah ilmu darinya!’” (Fathu Al-Mughits , As-Sakhawi, 2/142)
Oleh karena itu jika diperhatikan, banyak penulis kitab biografi ulama yang tidak mencantumkan informasi soal hafalan al-Quran. Seakan-akan jika seseorang itu alim, sudah otomatis, pasti hafal al-Quran. Justru yang ada adalah penyebutan dengan nada heran dan aneh, jika ada ulama yang tidak hafal al-Quran.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi saat menulis biografi Imam Al-Waqidi,
“Meskipun Al-Waqidi memiliki keluasan ilmu dan banyaknya hafalan, sebagaimana yang telah kami sebutkan, akan tetapi dia tidak hafal al-Quran.” (Tarikh Baghdad, 4/11)
Adz-Dzahabi mengomentari as-Sayyid Ruknuddin Hasan bin Syaraf pengarang banyak kitab, “Beliau tidak hafal al-Quran kecuali hanya sebagiannya.” (Al-Ibar fi Khabari man Khabar, 4/41)
Seorang syaikh dari Maroko, Syaikh Sa’id Al-Kamali hafizhahullah, syaikh yang mutafannin (menguasai banyak cabang ilmu) dan ahli pada bidang fikih Maliki dalam sebuah kesempatan ditanya, “Mana yang saya dahulukan, menghafal al-Quran atau menuntut ilmu?”
Beliau menjawab, “Saya heran dengan pertanyaan ini, bukankah menuntut ilmu syar’i itu harus diawali dengan menghafal al-Quran?”
Tentu kita tidak heran dengan jawaban beliau, karena beliau tumbuh di lingkungan yang begitu perhatian dengan hafalan al-Quran.
Di daerah Afrika bagian barat, khususnya Mauritania, dan beberapa negara sekitarnya memang terkenal dengan hafalannya. Bahkan, di sebagian daerah menjadi aib jika seorang anak mencapai usia tertentu dan belum hafal al-Quran.
Di lain kesempatan beliau pernah menyatakan, “Jika seseorang tidak sanggup menghafal al-Quran, hendaknya dia menyadari bahwa medan ilmu bukanlah medannya. Dia cukup belajar ilmu-ilmu fardhu ‘ain, yang ia perlukan untuk menjalani kehidupan sehari-hari, seperti ibadah: wudhu, shalat, dan puasa.”
Beliau melanjutkan, “Sementara itu, mempelajari nahwu, hadits, ushul fikih, dll. tidak terlalu urgen baginya. Jika ia benar-benar ingin menjadi seorang penuntut ilmu, yang diharapkan kelak menjadi ulama, maka ia harus memulai dengan apa yang ulama terdahulu mulai, yaitu menghafal al-Quran.”
Menghafal al-Quran itu ibarat membangun fondasi. Seberapa kokoh bangunan di atasnya tergantung seberapa kuat dan dalam fondasi itu di bangun. Atau dalam contoh lain, al-Quran itu ibarat gantungan, sedangkan ilmu-ilmu yang lain adalah pakaiannya. Jika sudah hafal al-Quran maka ilmu-ilmu yang lain tinggal dikaitkan dengan gantungannya.
Ringkasnya, menghafal al-Quran sebaiknya didahulukan dalam menuntut ilmu karena beberapa sebab:
Pertama: Al-Quran adalah fondasi dari semua ilmu, atau tiket untuk belajar ilmu syar’i. Memang tidak serta merta yang hafal al-Quran akan menjadi alim, tapi setidaknya tiket menuju ke sana sudah di tangan.
Kedua: Al-Quran adalah ghidza’ rūhi, atau sumber makanan bagi jiwa. Sehingga, jiwa ini siap menjadi wadah untuk ilmu syar’i lainnya, menjadikan ilmu itu bermanfaat, dan membuahkan amal.
Ketiga: Menghafal al-Quran adalah barometer kesungguhan seorang penuntut ilmu. Karena, kesungguhannya dalam belajar nantinya merupakan cerminan dari kesungguhannya menghafal al-Quran.
Keempat: Banyak berinteraksi dengan al-Quran akan menjadikan waktunya berkah, sehingga memudahkannya dalam belajar.
Kelima: Ketika seseorang telah menghafal al-Quran maka setiap cabang ilmu akan menjadi mudah. Sebab, semua ilmu bersumber darinya.
Artikel Tsaqafah: Keutamaan Membaca Al-Quran di Bulan Ramadhan
Keenam: Ketika nanti berdakwah, yang tujuannya adalah memberikan petunjuk kebenaran kepada masyarakat, dibutuhkan pedoman dalam memberi petunjuk. Dan semua petunjuk manusia (huda linnas) ada di dalam al-Quran. Bagaimana jika ia tidak hafal al-Quran, petunjuk mana yang akan ia sampaikan?
Tentu dalam setiap keadaan ada kondisi ideal dan kondisi darurat. Atau dalam setiap perkara ada pengecualiannya. Idealnya, seorang penuntut ilmu itu menyelesaikan hafalan al-Qurannya baru kemudian menyelami lautan ilmu syar’i sebagaimana alasan-alasan yang sudah disebutkan.
Namun ada beberapa kondisi yang membuat seorang penuntut ilmu boleh mengakhirkan programnya dalam menghafal al-Quran, atau tidak menjadikannya target utama.
Kondisi Pertama, ketika seseorang mulai menuntut ilmu di usia yang tidak lagi muda, atau memanfaatkan sisa waktu dari kesibukan hariannya.
Seseorang bertanya kepada Ibnu Mubarak,
“Wahai Abu Abdurrahman, sebaiknya aku menggunakan sisa waktu hariku yang ada untuk apa? Apakah untuk mempelajari al-Quran atau mempelajari ilmu?” Beliau menjawab dengan pertanyaan,
“Apakah kamu memiliki hafalan al-Quran yang bisa kamu baca dalam shalat?”
“Iya” jawabnya.
“Kalau begitu hendaknya engkau gunakan waktumu untuk ilmu.” Ucap Ibnu Mubarak.
Kondisi Kedua, saat penuntut ilmu menemukan seorang syaikh atau guru yang ahli dan sesuai dengannya. Sementara itu, dia khawatir kehilangan kesempatan untuk belajar kepada guru tersebut karena safar, sakit, atau meninggal dunia.
Kondisi Ketiga, ketika seorang penuntut ilmu melakukan safar ke suatu negeri, yang di sana diajarkan banyak jenis ilmu, yang mungkin tidak bisa didapatkan di negeri asalnya. Sementara itu, waktunya terbatas jika ia habiskan untuk menghafal al-Quran dan khawatir jika nanti ketika pulang ia tidak membawa bekal ilmu yang cukup.
Dalam ketiga kondisi tersebut, penuntut ilmu boleh mengakhirkan hafalan al-Quran atau hanya mencukupkan beberapa juz yang akan ia baca dalam shalat. Meskipun demikian, ia harus tetap berazam jika suatu saat Allah subhanahu wata’ala memberi waktu maka ia akan menghafal al-Quran.
Untukmu Para Penuntut Ilmu, Perhatikan 3 Hal ini
Namun ada tiga poin penting bagi para penuntut ilmu yang berada dalam tiga kondisi tersebut:
Poin Pertama, jangan pernah remehkan masalah tahsin dan tajwid bacaan al-Quran.
Karena baik buruknya bacaan bisa memengaruhi sah dan tidak sahnya shalat. Selain itu, sering kali penuntut ilmu dinilai oleh orang lain dari kualitas bacaan al-Qurannya.
Poin Kedua, usahakan memiliki hafalan minimal yang akan menjadi varian bacaan harian dalam shalat, atau jika diminta menjadi imam.
Artikel Tutorial: Teori Menghafal Hadits Untuk Kalangan Pelajar Ala Dr. Hambal Shafwan
Sekurang-kurangnya adalah juz Amma dan surat Tabarak. Karena jika terbiasa hanya membaca tiga surat terakhir dikhawatirkan akan kehilangan kekhusyukan dalam shalat.
Poin Ketiga, pastikan memiliki wirid harian dari al-Quran.
Sekurang-kurangnya adalah satu juz per hari. Tentu akan menjadi aib jika seorang penuntut ilmu tidak bisa membaca satu juz per hari padahal banyak orang yang sibuk bekerja sanggup lebih dari itu.
Mungkin ada yang bertanya, mungkinkah menggabungkan antara menghafal al-Quran dan belajar ilmu syar’i? Tentu semuanya mungkin, kembali pada kemampuan masing-masing orang. Jika bisa menggabungkan keduanya, alangkah baiknya.
Namun, pada dasarnya kemampuan seseorang terbatas untuk dibebani banyak tugas. Terlebih menghafal al-Quran bukan hal sederhana, butuh fokus dan kesungguhan. Di sinilah pentingnya seorang penuntut ilmu memahami skala prioritasnya dalam belajar dengan mengikuti pedoman dari para pendahulunya. (Zaid Abdillah/dakwah.id)
Baca juga artikel Ilmu dan Dakwah atau artikel menarik lainnya karya Zaid Abdillah.
Penulis: Zaid Abdillah
Editor: Ahmad Robith
Artikel Ilmu dan Dakwah terbaru: