Sikap Muslim Awam ketika Mendapati Keragaman Fatwa Ulama — Dalam khazanah ilmu Islam, banyak dijumpai keragaman pendapat antar ulama dalam satu permasalahan yang sama. Ulama sepakat, bahwa keragaman pendapat—dalam makna ikhtilaf, yakni keragaman pendapat yang dibangun di atas dalil, adalah bentuk rahmat Allah ‘azza wajalla kepada hamba-Nya.
Banyak sekali keragaman pendapat yang dapat kita jumpai di sekitar. Dalam bab shalat saja, dijumpai barangkali lebih dari seratus persoalan di mana para ulama saling berbeda pendapat.
Ada ulama yang berpendapat sedekap setelah rukuk itu tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga dihukumi bid’ah, sementara ulama lain berpendapat sedekap setelah rukuk itu adalah gerakan yang masyru’, disyariatkan.
Ada ulama yang berpendapat jumlah rekaat shalat tarawih itu tidak boleh lebih dari 11 rekaat, sementara ulama lain berpendapat boleh lebih dari 11 rekaat.
Selain contoh di atas, masih banyak lagi persoalan-persoalan di mana antar ulama memiliki perbedaan pendapat, terlebih dalam persoalan kontemporer.
Uraian agak lebih mendalam tentang perbedaan pendapat ulama dapat dibaca di artikel yang berjudul: Fenomena Perbedaan Fatwa di Kalangan Para Ulama FIkih
Dalam suasana perbedaan pendapat antar fatwa ulama tersebut, kaum muslimin, terkhusus kalangan awam, tetap harus menentukan pilihannya. Hal ini sudah menjadi kewajiban seorang awam ketika ia menghadapi suatu persoalan baru maka ia harus bertanya atau meminta fatwa kepada ulama.
Muslim awam tidak memiliki kapabilitas untuk berijtihad atau berfatwa. Ia tidak memiliki kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari dalil-dalil syar’i. Satu-satunya jalan untuk dapat mengetahui hukum dari persoalan baru yang ia hadapi adalah dengan bertanya kepada seorang ulama atau mufti. (Al-Qawa’id al-Ushuliyah wal Fiqhiyyah al-Muta’alliqah bil Muslim Ghairil Mujtahid, Sa’ad bin Nashi bin Abdul Aziz as-Satsri, 43)
Syaikh Ibnu Taimiyah menguraikan, jika seorang muslim menghadapi sebuah persoalan baru (yang membutuhkan penyelesaian syar’i), hendaknya ia meminta fatwa kepada ulama dari mazhab mana pun yang ia yakini akan berfatwa dengan syariat Allah dan rasul-Nya.
Selain itu, setiap muslim tidak wajib untuk taklid kepada kepada seorang ulama dalam setiap pendapatnya. Tidak wajib pula bagi seorang muslim untuk melazimi mazhab ulama mana pun dalam setiap jawaban dan pendapat yang disampaikannya, selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena setiap manusia itu pendapatnya boleh diambil, juga boleh ditinggalkan, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ikutnya seseorang kepada mazhab ulama tertentu yang disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam mengetahui hukum syar’i adalah persoalan lain yang dibolehkan, bukan bagian dari sesuatu yang wajib bagi setiap orang yang mampu untuk mengetahui hukum syar’i tanpa menempuh metode tersebut (taklid).
Baca juga: Ulama Umat yang Diam Terhadap Kesesatan
Akan tetapi setiap muslim hendaknya bertakwa kepada Allah sesuai kadar kemampuannya dan memohon anugerah ilmu sebagaimana diperintahkan Allah dan rasul-Nya, sehingga ia mengerjakan perkara yang diperintahkan dan meninggalkan perkara yang dilarang. (Majmu’ al-Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 20/208-209)
Imam an-Nawawi juga menjelaskan, seseorang yang menghadapi sebuah persoalan baru, wajib bagi dirinya untuk segera mengilmui hukumnya. Maknanya, dia wajib meminta fatwa kepada seorang ulama tentang persoalan baru yang dihadapinya. Jika di negerinya tidak ada seorang ulama untuk dimintai fatwa, ia wajib untuk menempuh perjalanan demi mendapatkan ulama yang dapat dimintai fatwa, meskipun keberadaannya jauh dari tempat tinggalnya. Para salaf dahulu kala biasa berkelana sepanjang siang malam demi menyelesaikan satu pertanyaan saja. (Al-Majmu’, Imam an-Nawawi, 1/54; Al-Muwafaqat, Imam asy-Syathibi, 4/261)
Sikap Muslim Awam jika Pendapat Mufti Berbeda-beda
Jika seorang mustafti (orang yang meminta fatawa) bertanya tentang suatu persoalan kepada beberapa mufti kemudian jawaban dari beberapa mufti yang ia tanyai tersebut sama, maka hendaknya ia mengamalkan jawaban mufti tersebut dengan penuh keyakinan terhadap kebenarannya.
Namun jika ternyata jawaban dari beberapa mufti tersebut berbeda-beda, apa yang harus dilakukan oleh penanya? Pendapat mana yang harus ia amalkan? Ada dua pendapat yang disajikan oleh para ulama.
Pertama, ulama Syafi’iyah dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat, muslim awam boleh dan memiliki hak memilih pendapat yang akan ia amalkan. Sebab, yang wajib bagi muslim awam adalah taklid dan pendapat yang ia pilih adalah berdasar kewajiban taklid tersebut kepada salah seorang ulama atau mufti.
Pendapat ini juga berargumentasi dengan kondisi sahabat dimana ada sahabat kalangan mujtahid senior, ada mujtahid junior, bahkan ada pula sahabat yang awam. Tidak ada riwayat yang mengingkari sikap sahabat awam yang mengikuti mujtahid junior, pun demikian tidak ada pula riwayat yang mengabarkan wajibnya sahabat awam untuk melakukan ijtihad sendiri. (Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Al-Amidi, 4/288; Nihayatul Wushul ila Ilmil Ushul, 8/3893)
Baca juga: Khazanah Fikih Islam: Pentingnya Kajian Sejarah Hukum Islam
Kedua, jumhur ulama fikih dari mazhab Hanafi, mazhab Maliki, sebagian ulama mazhab Hanbali, Ibnu Suraij, as-Sam’ani, dan al-Ghazali dari mazhab Syafi’i menyatakan bahwa seorang muslim awam tidak memiliki kebebasan memilih salah satu dari beberapa pendapat tersebut; bebas mengambil pendapat mana pun dan meninggalkan pendapat yang lain.
Akan tetapi mereka harus menempuh jalur tarjih; membuat analisis untuk mencari pendapat yang paling mendekati kebenaran di antara pendapat-pendapat yang ada.
Namun mayoritas ulama fikih yang memegang pendapat ini menjelaskan, tarjih dalam konteks ini dilakukan dengan menentukan keyakinan terhadap pendapat yang ulamanya ia yakini kualitas ilmunya lebih unggul dari ulama lainnya. Lalu ia ambil pendapat ulama tersebut untuk kemudian diamalkan, dan meninggalkan pendapat lainnya.
Al-Ghazali menjelaskan, tarjih dengan tingkat kualitas ilmu itu hukumnya wajib. Sebab, kekeliruan itu mungkin saja terjadi pada kealpaan dari dalil qath’i, penyimpulan hukum sebelum mencapai klimaks ijtihad, dan kurang bersungguh-sungguh dalam ijtihad. Sementara, sifat keliru itu lebih sedikit terjadi pada ulama yang lebih tinggi kualitas ilmunya.
Seperti halnya orang yang sedang sakit. Jika terjadi perbedaan resep antara dua dokter yang menanganinya, jika ia tidak memilih dokter yang lebih ahli, maka itu adalah keputusan yang kurang baik.
Sementara dokter yang paling ahli atau ulama yang paling tinggi kualitas ilmunya dapat diketahui melalui informasi-informasi valid yang beredar, pengakuan ulama lain yang lebih junior kualitas ilmunya, atau dengan mendengar atau menghubungkan indikator-indikator yang ada tanpa harus menelisik keilmuannya. Dan orang awam mampu melakukan itu. Maka, tidak diperkenankan bagi kalangan awam untuk menyelisihi pendapat ulama yang lebih baik kualitas ilmunya sesuai hawa nafsunya.
Baca juga: Fikih Prioritas: Amalan Mana yang Harus Didahulukan?
Asy-Syathibi juga pernah menjelaskan, tidak ada hak bagi kalangan awam untuk bebas memilih (takhyir). Sebab, takhyir itu mengandung pengguguran taklif. Setiap kali para muqallid itu diberi kesempatan untuk memilih mazhab ulama yang harus diikuti, maka yang terjadi adalah mereka memilih berdasar syahwat dan hawa nafsu.
Asy-Syatibi melanjutkan, sebab, syariah itu dibangun di atas dasar satu pendapat saja, itulah hukum Allah ‘azza wajalla dalam persoalan terkait. Sama halnya dengan seorang mufti, telah menjadi ijmak bahwa ia tidak diperkenankan mengambil salah satu di antara dua pendapat tanpa melalui proses tarjih.
Al-Ghazali menambahkan, jika ternyata ada dua mufti yang memiliki kualitas keilmuan yang sama menurut keyakinan mustafti, dan dia kesulitan untuk melakukan proses tarjih antara kedua mufti tersebut, mengingat pula persoalan ini termasuk kategori darurat, maka sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Qayyim dan penulis kitab al-Mahshul, hendaknya ia tetap melakukan tarjih dengan mengamati tanda-tandanya. Sebab, al-Haq dan al-Bathil itu tidak akan pernah sama dalam penglihatan fitrah manusia.
Sebagian ulama lain berpendapat, tarjih dilakukan dengan mengambil pendapat yang yang paling berat sebagai bentuk langkah ihtiyath. Sebagaimana disampaikan oleh al-Ka’bi, “Mengambil pendapat yang paling sulit dalam perkara yang terkait dengan hak-hak sesama manusia, dan pada perkara yang terkait dengan hak Allah, caranya dengan mengambil pendapat yang paling mudah.” (Syarh al-Muntaha, Al-Bahuti al-Hanbali, 3/458; Hasyiyah Ibnu Abidin, 4/303; I’lamul Muqaqi’in, 4/254,264; Al-Majmu’ Syar hal-Muhadzdzab, An-Nawawi, 1/56; Al-Bahrul Muhith, Az-Zarkasyi, 6/318, 113; Al-Musytashfa, Al-Ghazali, 2/125; Al-Muwafaqat, 4/130,133,262)
Baca juga: Sikap Ghuluw itu Terlarang dalam Islam, Kenapa Demikian?
Dari uraian di atas, tampaknya pendapat jumhur ulama fikih dari mazhab Hanafi, mazhab Maliki, sebagian ulama mazhab Hanbali, Ibnu Suraij, as-Sam’ani, dan al-Ghazali dari mazhab Syafi’i, adalah pendapat yang paling mendekati kebenaran. Pendapat ini memiliki argumentasi yang cukup kuat dibanding pendapat pertama.
Sehingga, muslim awam tetap dituntut untuk berijtihad dan mentarjih mana di antara keragaman pendapat tersebut yang paling mendekati kebenaran, semampunya.
Imam asy-Syathibi dalam kitab Al-Muwafaqat (5/77) mengilustrasikan, muslim awam yang bertemu dengan mufti itu tak ada bedanya dengan pertemuan antara mujtahid dengan dalil. Perbedaan antara dua fatwa yang dikeluarkan oleh masing-masing mufti di mata seorang muslim awam itu seperti halnya perbedaan dua dalil di mata seorang mujtahid.
Layaknya seorang mujtahid yang tidak boleh mengikuti dua dalil yang saling bertentangan secara bersamaan tanpa menempuh langkah ijtihad dan tarjih, demikian pula seorang muslim awam tidak boleh mengikuti dua pendapat pendapat salah satu atau kedua pendapat mufti yang berbeda tersebut tanpa menempuh langkah ijtihad dan tarjih. Wallahu a’lam [Majalah FIkih Islam Hujjah (dengan beberapa penyelarasan)/dakwah.id]