Daftar Isi
Artikel ngaji fikih kali ini membahas seputar fikih mengusap khuf menurut mazhab Syafi’i.
Syariat mengusap khuf adalah bagian dari syariat Islam yang merupakan salah satu keistimewaan yang Allah berikan kepada umat ini.
Maksud mengusap khuf dalam wudhu adalah sebagai ganti dari membasuh kedua kaki.
Khuf adalah sepatu yang menutupi dua mata kaki. Menutupi bagian kaki yang harus dibasuh saat wudhu. Khuf harus terbuat dari bahan kuat yang dapat dipakai dalam perjalanan safar. Selain itu, khuf harus terbuat dari bahan yang tidak mudah tembus air.
Syariat ini diturunkan pada tahun ke sembilan Hijriyah. Bertepatan dengan peristiwa Perang Tabuk. Ada yang berpendapat, syariat ini turun bersamaan dengan wudhu, yaitu pada malam Nabi diisra’kan. Satu tahun sebelum hijrah.
Ibnu al-Mudzir pernah meriwayatkan, beliau mengutip ucapan al-Hasan al-Bashri, bahwa ada tujuh puluh sahabat Nabi yang meriwayatkan bahwa Nabi mengusap sebagian khuf saat berwudhu. Rasulullah sering melakukannya.
Salah satunya diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu’bah. Dia berkata, “Sesungguhnya Nabi mengusap dua khuf.” (HR. Al-Bukhari)
Hukum Mengusap Khuf
Mengusap sebagian khuf saat berwudhu hukumnya boleh. Bahkan ini dapat menjadi rukhshah baik bagi orang yang sedang bersafar atau bermukim.
Tujuan rukhshah ini untuk memudahkan dan meringankan kaum muslimin, terutama ketika cuaca sangat dingin atau sangat panas, ketika dalam perjalanan, dan ketika melepas sepatu menjadi hal yang merepotkan dalam aktivitas.
Mengusap sebagian khuf memang perkara yang diperbolehkan, namun membasuh kedua kaki tetap lebih utama daripada mengusapnya, dengan syarat alasan tidak melakukannya bukan karena benci terhadap sunah.
Alasan mengusap khuf tidak lebih utama daripada membasuh kedua kaki. Karena ini adalah amalan pengganti dari membasuh kedua kaki. Lagi pula Rasulullah lebih banyak membasuh kedua kaki daripada mengusap khufnya.
Kecuali dalam beberapa keadaan di bawah ini, mengusap sebagian khuf lebih utama daripada membasuh kedua kaki, yaitu:
Keadaan pertama, Orang yang mengusap khuf adalah orang yang dipanuti, tujuannya untuk mengajarkan sunah kepada murid-muridnya.
Keadaan kedua: Dalam keadaan di mana mengusap kaki menjadi hal yang memberatkan, bukan karena ingin meninggalkan yang lebih afdhal; yaitu membasuh kedua kaki.
Keadaan ketiga: Takut tertinggal dari shalat berjamaah jika tidak mengusap khuf.
Lima Syarat Mengusap Khuf
Ada lima syarat yang harus dipenuhi sebelum mengusap khuf.
Pertama, kedua khuf dipakai setelah melakukan thaharah secara sempurna. Thaharah dari hadats besar maupun hadats kecil.
Al-Mughirah bin Syu’bah mengisahkan, suatu ketika dia bersafar bersama Rasulullah. Dia ingin melepas dua khuf yang sedang dipakai Rasulullah, namun beliau bersabda: “Biarkan dua khuf itu, aku memakainya dalam keadaan suci.” Kemudian Rasulullah mengusap dua khuf miliknya. (HR. Al-Bukhari)
Seseorang membasuh satu kakinya dan memakai khuf. Kemudian membasuh kaki yang lain dan memakai khuf. Maka nantinya dia tidak boleh mengusap khuf karena belum melakukan thaharah yang sempurna.
Kedua, khuf harus menutupi seluruh bagian kaki yang harus dibasuh dalam wudhu, yaitu menutupi kedua kaki sampai dua mata kaki.
Maksud menutupi adalah menghalangi kaki dari basahnya air. Bukan seperti tertutupinya aurat.
Sehingga sepatu yang terbuat dari bahan transparan, seperti sepatu kaca, selama menghalangi kaki dari basahnya air dan selama dapat digunakan untuk melakukan perjalanan maka sepatu tersebut boleh diusap.
Ketiga, khuf tidak boleh dari bahan yang mudah tembuh air, kecuali pada bagian-bagian yang dijahit.
Khuf yang biasa dipakai pada zaman Nabi adalah khuf yang tidak tembus air, sehingga khuf yang mudah tembus air tidak boleh diusap.
Keempat, khuf harus dari bahan yang kuat. Yaitu dari bahan yang dapat digunakan untuk beraktifitas sehari-hari.
Bagi yang mukim, minimal kuat dipakai selama satu hari satu malam. Bagi yang sedang bersafar, minimal kuat dipakai selama tiga hari tiga malam. Baik khuf tersebut dibuat dari bahan kulit maupun bahan yang lain.
Selain mengusap sebagian khuf, seseorang juga boleh mengusap kaos kaki, asalkan kaos kaki tersebut dibuat dari bahan yang tebal dan tidak mudah robek saat digunakan untuk beraktifitas sehari-hari.
Kelima, khuf harus dari bahan yang suci.
Khuf yang diproduksi dari bahan najis tidak boleh diusap, seperti khuf dari kulit bangkai. Sedangkan khuf dari kulit bangkai yang telah disamak maka boleh diusap.
Batas Berlaku Mengusap Khuf
Batas mengusap khuf bagi orang yang mukim adalah satu hari satu malam, selebihnya harus memperbarui pengusapan. Sedangkan batas bagi orang yang musafir adalah tiga hari tiga malam.
Diriwayatkan oleh sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Sesungguhnya Nabi menjadikan (batas berlakunya pengusapan khuf) bagi musafir tiga hari tiga malam dan bagi mukim satu hari satu malam.” (HR. Muslim).
Kenapa syariat memberi batas berlaku dalam pengusapan khuf?
Karena pada umumnya, seseorang tidak membutuhkan lebih dari batasan tersebut, sehingga umat tidak boleh menambah dari batas yang ditentukan.
Batas berlaku mengusap sebagian khuf dimulai saat seseorang berhadats setelah memakai khuf.
Gambarannya, seseorang bersuci dari hadats kecil maupun besar, kemudian dia memakai khuf. Satu jam kemudian dia berhadats kecil, maka batas berlakunya dimulai sejak dia berhadats kecil, jika dia sedang bermukim maka waktu satu hari satu malam itu dimulai sejak dia berhadats kecil.
Seseorang memakai khuf saat bermukim, kemudian dia berhadats dan mengusap sepatunya, kemudian dia pergi untuk sebuah perjalanan, maka yang berlaku baginya adalah pengusapan khuf bagi orang yang mukim.
Seseorang memakai khuf, kemudian pergi untuk sebuah perjalanan, dalam perjalanan dia berhadats dan dia mengusap sebagian khufnya, namun tidak lama kemudian ternyata dia memutuskan untuk bermukim, maka yang berlaku gainya adalah pengusapan khuf bagi orang yang bermukim.
Kaidahnya, jika dalam urusan ibadah ada hukum musafir dan hukum mukim yang tergabung (tercampur), maka hukum mukim lebih didahulukan sebagai bentuk kehati-hatian.
Tata Cara Mengusap Khuf
Caranya adalah mengusap permukaan khuf bagian atas. Sekalipun bagian yang diusap hanya sedikit. Dalam haditsnya disebutkan dengan lafal al-mashu, dan itu cukup disebut dengan al-mashu.
Diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syubah, dia berkata, “Aku melihat Rasulullah mengusap dua khuf-nya, yaitu mengusap permukaan khuf bagian atasnya.” (HR. At-Tirmidzi)
Disunahkan mengusap sebagian khuf bagian atas dan bawah.
Caranya dengan mencelupkan kedua tangan ke dalam air, atau membasahi kedua tangan, kemudian meletakkan tangan kanan di atas jari-jari kaki kanan dan meletakkan telapak tangan kiri di bawah tumit kaki kanan, kemudian menarik tangan kanan ke arah betis dan mendorong tangan kiri ke arah jari-jari kaki. Begitu juga dengan kaki kiri.
Diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu’bah, dia berkata, “Rasulullah berwudhu dalam peristiwa perang Tabuk, beliau mengusap khuf bagian atas dan bawah.” (HR. Abu Dawud).
Seseorang boleh mengusap sebagian khufnya pada bagian atas saja. Namun dia tidak boleh hanya mengusap bagian bawah saja.
Asal mengusap sebagian khuf adalah mengusap bagian atasnya, dan mengusap bagian atas pada khuf adalah perkara ta’abbudi (ibadah yang tidak diketahui secara pasti sebab dan hikmahnya).
Ali bin Abi Thalib berkata, “Jika semua perkara agama dapat dinalar dengan akal maka bagian bawah khuf lebih layak diusap daripada bagian atasnya. Dan aku melihat Rasulullah mengusap bagian atasnya.” (HR. Abu Dawud)
Pembatal-Pembatal Mengusap Khuf
Berikut ini adalah pembatal-pembatal pengusapan khuf.
Pertama, melepas salah satu atau kedua khuf, baik atas keinginannya sendiri atau tidak. Dalam keadaan seperti ini, dia cukup mencuci kedua kakinya dan kemudian memakain khuf-nya kembali.
Kedua, batas waktu pengusapan khuf telah berakhir, baik bagi mukim maupun musafir. Pengusapan khuf dapat dimulai kembali dengan cara bersuci secara sempurna lalu memakai kedua khuf yang telah dilepas.
Ketiga, terjadi hal-hal yang mewajibkan mandi, junub contohnya. Harus mandi, berwudhu, dan kemudian boleh memakai kedua khuf dalam rangka mengamalkan sunah pengusapan khuf. (Arif Hidayat/dakwah.id)
Daftar Pustaka:
Al-Bayan wa At-Ta’arif bi Ma’ani Wasaili al-Ahkam al-Mukhtashar al-Lathif, Ahmad Yusuf An-Nishf, hal. 67-69, Dar Adh-Dhiya’, cet. 2/2014.
Al-Iqna’ fi Hilli al-Fadzi Abi Syuja’, Imam al-Khathib Asy-Syarbini, 1/185-195, Syirkah al-Quds, cet. 2/2013.
Al-Mu’tamad fi al-Fiqhi Asy-Syafi’i, al-Ustadz DR. Muhammad Az-Zuhaili, 1/91-95, Dar al-Qalam Damaskus, cet. 2/2011.
Artikel serial Ngaji Fikih sebelumnya:
Ngaji Fikih #15: Membasuh Anggota Wudhu & Mengusap Kepala