Mazhab Syafi‘i membagi benda najis menjadi tiga: najis mughaladzah, najis mutawashithah, dan najis mukhafafah.
Najis mughaladzah adalah najis yang tebal, berasal dari kata gha-la-dza yang memiliki arti tebal atau kuat. Disebut dengan najis mughaladzah karena hukumnya sangat kuat jika dibandingkan dengan najis-najis yang lain.
Najis mughaladzah hanya terdapat pada binatang anjing dan babi, peranakan keduanya, atau peranakan salah satu dari keduanya.
Sekalipun anjing yang jinak atau anjing pemburu, dalam mazhab Syafi‘i, tetap dianggap sebagai binatang najis mughaladzah. Semua jenis anjing adalah najis, kecuali anjing ashhabul kahfi.
Babi merupakan binatang yang lebih buruk keadaannya daripada anjing. Menurut fukaha, jika anjing saja dianggap sebagai najis mughaladzah, maka babi lebih layak untuk disebut sebagai najis mughaladzah.
Seorang muslim haram memelihara babi dalam bentuk apa pun, namun mereka boleh memelihara anjing yang terlatih untuk sebuah keperluan.
Karena, agama Islam tidak memberi ruang sedikit pun untuk memanfaatkan apa yang ada pada binatang babi. Sebab itulah kenapa babi dihukumi najis juga sebagaimana anjing.
Cara mensucikan najis mughaladzah berbeda dengan najis-najis yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita melalui sabdanya,
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucinya bejana kalian apabila ia dijilat oleh anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, yang pertama menggunakan tanah.” (HR. Muslim No. 420)
Untuk menghilangkan najis yang disebabkan oleh anjing, seseorang harus mencucinya sebanyak tujuh kali. Salah satu dari tujuh cucian tersebut harus menggunakan tanah yang suci.
Pertama-tama, semua kotoran najis anjing dan babi harus dibersihkan terlebih dahulu.
Misalnya, mangkuk yang terkena jilatan anjing. Pertama yang harus dilakukan untuk membersihkannya adalah dengan menghilangkan liur anjing dari mangkuk tersebut. Sampai benar-benar telah bersih.
Jika ternyata kotoran najis anjing dan babi tidak dapat hilang kecuali dengan mencucinya sebanyak empat kali, maka itu harus dilakukan. Dan empat kali cuci ini masih dianggap sebagai satu kali cuci. Setelah itu disusul dengan enam kali cucian yang lain.
Ngaji Fikih: Air Kencing Bayi itu Ternyata Najis, ya?
Cucian yang pertama baru dianggap sah jika benda yang terkena najis tersebut sudah bersih, hilang bekasnya dari najis anjing dan babi.
Salah satu dari tujuh kali cuci ini harus menggunakan tanah yang suci. Yaitu, tanah yang dapat digunakan untuk bertayamum. Boleh menggunakan tanah yang lembap atau basah.
Cara Menggunakan Tanah untuk Menghilangkan Najis Mughaladzah
Berikut ini beberapa cara menggunakan tanah untuk menghilangkan najis mughaladzah:
Pertama: Mencampur tanah dengan air.
Lalu meletakkan campuran itu pada bagian yang terkena najis anjing dan babi, kemudian menggosok-gosoknya dan memastikan kebersihannya.
Kedua: Menaburkan tanah pada bagian yang terkena najis, kemudian menyiramkan air pada bagian tersebut. Sesudah itu, menggosok-gosoknya dan memastikan kebersihannya.
Ketiga: Menyiramkan air pada bagian yang terkena najis, kemudian disusul dengan Menaburkan tanah pada bagian tersebut. Dan terakhir, menggosok-gosoknya dan memastikan kebersihannya.
Ngaji Fikih: Mengapa Sebelum Shalat Harus Bersuci?
Akan lebih utama jika menggunakan tanah di awal-awal pencucian daripada menggunakannya di akhir, sehingga orang tersebut tidak direpotkan dengan bekas tanahnya. Meskipun demikian, tetap boleh jika memilih penggunaan tanah di akhir penyucian.
Apabila yang terkena najis adalah tanah itu sendiri, maka cukup membersihkan kotoran najisnya, kemudian mengguyur tanah tersebut dengan air sebanyak tujuh kali. Tidak perlu mengambil tanah lain untuk membersihkannya. Wallahu a’lam. (Arif Hidayat/dakwah.id)
Daftar Pustaka:
Al-Bayān wa At-Ta‘rīf bi Ma‘ānī wa Masā’ili wa Aḥkām Al-Mukhtaṣar Al-Laṭīf, Syaikh Ahmad Yunus An-Nishf, 130–132, cet. 2/2014 M, Kuwait: Dar Adh-Dhiya’.
Al-Imta‘ bi Syarḥi Matan Abī Syujā‘, Syaikh Hisyam Al-Kamil Hamid, 60, cet. 1/2011 M, Mesir: Dar Al-Manar.
Kāsyifatu As-Sajā Syarḥu Safīnati An-Najā, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, 115, cet. 1/2018 M, Jakarta: Dar Al-‘Alamiyah.
Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.
Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith
Serial Ngaji Fikih sebelumnya:
Ngaji Fikih #27: Jika Nanah Hukumnya Najis, Bisul Juga Najis?