Dalam bahasa Arab, khamr adalah fermentasi dari buah anggur yang telah menjadi minuman yang memabukkan. Kata khamr telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “khamar” dan sangat akrab di sekitar kita.
Ada juga yang disebut dengan nabidz, yaitu minuman memabukkan yang berasal dari selain buah anggur. Berasal dari bahan apa saja asalkan dapat memabukkan maka disebut dengan nabidz.
Dan kata muskir artinya adalah segala sesuatu yang memabukkan. Tentunya, kata yang ketiga ini meliputi makna khamar dan sekaligus makna nabidz.
Dengan tegas Allah subhanahu wata‘ala menyebutkan khamr adalah haram. Ayat tentang khamr ini terdapat dalam surat al-Maidah.
Allah subhanahu wata‘ala berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah: 90)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
“Setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram.” (HR. Muslim No. 3735)
Berangkat dari dalil di atas, ulama mazhab Syafii menyimpulkan bahwa semua minuman atau benda cair yang memabukkan adalah benda najis. Selain itu juga haram untuk dikonsumsi.
Ngaji Fikih #26: Asap dari Benda Najis Apakah Juga Najis?
Seorang muslim harus menyucikan tubuhnya saat terkena benda-benda najis seperti itu.
Ulama mazhab Syafii juga menjelaskan bahwa benda padat yang memabukkan suci hukumnya, sekalipun tetap haram untuk dikonsumsi. Artinya, yang dihukumi dengan najis adalah benda cair yang memabukkan, bukan benda padat.
Khamar yang dinyatakan kenajisannya dapat menjadi suci jika telah berubah menjadi cuka. Dengan syarat perubahannya tidak karena dibuat-buat, melainkan terjadi secara alami dan tidak dicampur dengan bahan lain apa pun. Wallahu a‘lam. (Arif Hidayat/dakwah.id)
Daftar Pustaka:
Syaikh Ahmad Yunus An-Nishf, Al-Bayan wa At-Ta‘rif bi Ma‘ani wa Masa’ili wa Ahkam Al-Mukhtashar Al-Lathif, hal. 122–123, cet. 2/2014 M, Kuwait: Dar Adh-Dhiya’.
Syaikh Hisyam Al-Kamil Hamid, Al-Imta’ bi Syarhi Matan Abi Syuja’, hal. 62, cet. 1/2011 M, Mesir: Dar Al-Manar.
Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Kasyifatu As-Saja Syarhu Safinati An-Naja, hal. 122, cet. 1/2018 M, Jakarta: Dar Al-‘Alamiyah.
Syaikh Muhammad Az-Zuhaili, Al-Mu‘tamad fi Al-Fiqhi As-Syafi‘i, 1/46, cet. 2/2011 M, Damaskus: Dar Al-Qalam.
Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.
Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith
Serial Ngaji Fikih sebelumnya:
Ngaji Fikih #29: Muntahan Yang Najis