Mukhaffafah artinya ringan, berasal dari kata khafif dalam Bahasa Arab. Najis mukhaffafah adalah najis yang mendapat keringanan dari syariat daripada najis-najis yang lain.
Lantas, najis mukhaffafah itu apa saja? Contoh najis mukhaffafah hanya ada satu: air kencing bayi laki-laki yang belum mengonsumsi apa pun kecuali hanya susu. Bukan bayi perempuan atau bayi khuntsa (memiliki alat kelamin ganda).
Kenapa syariat hanya memberikan keringanan pada bayi laki-laki? Karena, bayi laki-laki lebih sering memberikan ujian saat digendong, maka syariat memberikan keringanan jika bayi laki-laki mengompol saat digendong.
Cara Mensucikan Najis Mukhaffafah
Cara mensucikan najis mukhaffafah air kencing bayi laki-laki telah dicontohkan melalui sebuah riwayat berikut ini.
Suatu ketika, Ummu Qais bin Mihshan radhiyallahu ‘anha datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa bayi laki-lakinya. Bayinya belum diasupi makanan atau minuman apa pun kecuali hanya susu.
Bayi laki-laki tersebut dia dudukkan ke pangkuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian bayi itu mengompol dan mengenai pakaian Rasulullah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam meminta agar diambilkan air dan setelah itu memercikkannya. Dalam peristiwa ini beliau tidak mencuci pakaiannya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Artikel Fikih: Bentuk Keringanan Syariat dalam Beribadah Saat Bepergian/Safar
Berdasarkan riwayat ini para fukaha menyimpulkan bahwa cara mensucikan najis mukhaffafah air kencing bayi laki-laki, jika mengenai pakaian, cukup diperciki dengan air yang suci dan menyucikan saja (thahir muthahir). Bukan mengusapnya. Dan tidak perlu membersihkannya sebagaimana najis-najis yang lain.
Hanya saja jika air kencing itu mengenai pakaian yang agak tebal, atau memiliki daya serap yang cukup kuat, atau sekiranya siraman air tidak menghilangkan najis yang ada pada serapan kain, maka kain tersebut harus diperas terlebih dahulu sampai cairan kencingnya hilang.
Setelah cairan kencing hilang, baru diperciki dengan air. Jika sifat-sifat najis tidak hilang dengan percikan air maka harus mencucinya sebagaimana najis mutawashithah.
Bagaimana jika najis tersebut tergenang di lantai? Hal pertama adalah menghilangkan ain najasah (najis yang tampak) terlebih dahulu, baru kemudian memercikinya dengan air.
Tiga Syarat Air Kencing Bayi Laki-laki Disebut Najis Mukhaffafah
Tidak semua air kencing bayi laki-laki adalah najis mukhaffafah. Ia baru dinamakan dengan najis mukhafafah setelah memenuhi tiga syarat berikut:
Pertama: harus bayi laki-laki, bukan bayi perempuan dan bukan pula bayi khuntsa (berkelamin ganda). Alasannya sudah disebutkan di atas, bahwa bayi laki-laki sering menimpakan ujian pada siapa yang menggendongnya.
Kedua: belum diberi makan atau minum apa pun kecuali susu. Oleh karena itu, bayi laki-laki yang telah diberi makanan atau minuman selain susu, air kencingnya tidak mendapatkan keringanan sebagai najis mukhaffafah.
Ngaji Fikih #21: Air Kencing itu Najis, Kotoran Juga Najis
Berkaitan dengan susu yang diberikan kepada bayi laki-laki ini, maka tidak masalah apakah itu air susu ibunya atau air susu orang lain; apakah air susu yang najis atau air susu yang suci; bahkan sekalipun air susu yang sangat kental agar bayi merasa kenyang dengannya.
Imam Nawawi Al-Jawi mengutip ucapan Asy-Syarqawi dalam kitabnya,
“Di antara yang disebut dengan susu adalah keju dan mentega. Yaitu, saripati yang dikeluarkan dari susu murni: susu kambing, susu sapi, dan sejenisnya.”
Berdasarkan ini, air susu yang dimaksud adalah yang masih benar-benar murni. Baik air susu manusia maupun air susu binatang ternak.
Pemberian kurma atau sejenisnya untuk menjalankan sunah tahnik pada bayi yang baru saja lahir tidak menggugurkan keringanan najis air kencing bayi laki-laki. Sebab, itu salah satu bentuk dari pengobatan. Begitu juga dengan pengobatan-pengobatan yang lain.
Ketiga: belum berusia dua tahun Hijriyah. Selebih dari dua tahun Hijriyah maka selayaknya najis mutawasithah yang lain.
Meskipun kategorinya mukhaffafah, Air kencing bayi laki-laki ini tetap disebut sebagai najis. Sebagaimana dengan najis mughaladzah, shalat tidak sah jika belum bersih dari najis mukhafafah.
Sebab, kategorisasinya sebagai mukhaffafah itu hanya berpengaruh pada keringanan pada cara membersihkan najisnya saja, bukan berpengaruh pada status kenajisannya. Wallahu a’lam. (Arif Hidayat/dakwah.id)
Daftar Pustaka:
Syaikh Ahmad Yunus An-Nishf, Al-Bayan wa At-Ta‘rif bi Ma’ani Masa’ili wa Ahkam Al-Mukhtashar Al-Lathif, hal. 132–134, cet. 2/ 2014 M, Kuwait: Dar Adh-Dhiya’.
Syaikh Hisyam Al-Kamil Hamid, Al-Imta’ bi Syarhi Matan Abi Syuja’, hal. 60, cet. 1/ 2011 M, Mesir: Dar Al-Manar.
Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Kasyifatu As-Saja Syarhu Safinati An-Naja, hal. 118, cet. 1/ 2018 M, Jakarta: Dar Al-‘Alamiyah.
Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.
Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith
Serial Ngaji Fikih sebelumnya: