Daftar Isi
Dalam mazhab Syafi’i, darah yang termasuk najis dan tentu diharamkan adalah semua darah yang masfuh. Yaitu, darah yang mengalir atau mengucur. Baik darah binatang maupun darah manusia. Termasuk di dalamnya, darah haid dan darah ikan yang hidup di perairan.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi.” (QS. An-Nahl: 115)
Allah subhanahu wata‘ala juga berfirman,
قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖۚ
“Katakanlah, ‘Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi–karena semua itu kotor–atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah.’” (QS. Al-An’am: 145)
Kenapa darah yang masfuh? Karena ada beberapa binatang yang darahnya tidak mengucur dan bahkan ada yang tidak memiliki darah.
Darah yang Dimaafkan
Di samping ada darah yang najis, namun dalam beberapa kondisi ada najisnya yang dimaafkan, yaitu,
Pertama: darah yang sedikit
Yaitu darah yang keluar dari anggota tubuhnya sendiri, bukan darah dari tubuh orang lain atau makhluk lain. Jika keluarnya hanya sedikit maka dimaafkan.
Artikel Fikih: Permainan Menyerupai Judi, Bagaimana Hukumnya?
Kadar sedikit diperhitungkan sesuai dengan kebiasaan setempat yang berlaku.
Misalnya keluarnya darah sebesar biji wijen setelah wudu, menurut kebiasaan setempat itu merupakan darah dalam kadar sedikit, maka darah itu dimaafkan. Dia tidak perlu mengulangi wudunya.
Kedua: binatang yang darahnya tidak mengucur
Ada binatang yang memiliki darah namun tidak mengucur seperti lalat, nyamuk, kutu, lebah, dan lain sebagainya. Darah yang ada pada binatang seperti ini dimaafkan. Dia tetap najis, namun dimaafkan.
Ketiga: darah sisa penyembelihan yang menempel pada daging hewan yang dimakan
Penyembelihan hewan dilakukan untuk mengalirkan darah pada tubuhnya. Biasanya, sekalipun hewan telah mati, ada sisa-sisa darah yang menempel pada daging. Darah seperti itu dimaafkan. Tidak mengapa memasak daging yang masih ada sisa-sisa darah yang sulit untuk dibersihkan.
Keempat: darah asing dalam kadar sedikit
Ada dua makna yang dimaksud dengan darah asing.
Pertama, selain darahnya sendiri, yaitu darah orang lain atau darah binatang. Apabila menempel pada tubuh seseorang maka disebut dengan darah asing.
Kedua, darahnya sendiri yang telah berpindah ke anggota tubuhnya yang lain. Misalnya tangan kanan terluka, banyak darah yang keluar, kemudian darah menempel pada tangan kiri. Maka darah yang ada pada tangan kiri disebut dengan darah asing.
Darah asing yang sedikit itu adalah najis yang dimaafkan. Sebaliknya, darah asing dalam jumlah banyak adalah najis yang tidak dimaafkan.
Artikel Fikih: Air Kencing Bayi itu Ternyata Najis, ya?
Kecuali darah anjing atau babi, banyak dan sedikitnya tetap sebagai najis yang tidak dimaafkan.
Kelima: darah jerawat
Jerawat yang sengaja dipecahkan biasanya akan mengeluarkan darah. Darah ini dimaafkan saat kadarnya sedikit. Jika kadarnya banyak, harus memenuhi tiga syarat supaya tetap dimaafkan:
- Tidak menjadi darah asing, seperti yang telah dijelaskan di atas;
- Tidak keluar dari batas luka jerawat; dan
- Tidak dilakukan dengan sengaja.
Apabila salah satu syarat di atas hilang maka darah jerawat yang banyak kadarnya adalah najis.
Selain darah yang dimaafkan, ada juga darah yang halal untuk dimakan. Yaitu, hati dan limpa pada binatang yang dimakan dagingnya. Akan tetapi, hati dan limpa tetap diharamkan ketika telah mencair menjadi darah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَّانِ، وَأَمَّا المَيْتَتَانِ فَالجَرَدُ وَالحَوْتُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالكَبْدُ وَالطَّحَالُ
“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai adalah belalang dan ikan. Adapun dua darah adalah hati dan limpa.” (HR. Ahmad No. 5571; hadits ini lemah)
Wallahu a’lam. (Arif Hidayat/dakwah.id)
Daftar Pustaka:
Al-Bayan Wa At-Ta’rif bi Ma’ani Masa’ili wa Ahkam Al-Mukhtashar Al-Lathif, Syaikh Ahmad Yunus An-Nishf, hal. 122, 200, dan 201, cet. 2/2014 M, Kuwait: Dar Adh-Dhiya’.
Al-Imta’ bi Syarhi Matan Abi Syuja’, Syaikh Hisyam Al-Kamil Hamid, hal. 57–58 , cet. 1/2011 M, Mesir: Dar Al-Manar.
Kasyifatu As-Saja Syarhu Safinati An-Naja, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, hal. 123, cet. 1/2018 M, Jakarta: Dar Al-‘Alamiyah.
Al-Wajiz fi Al-Fiqhi Al-Islami, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili, hal. 32, vol. 1, cet. 1/2005 M, Lebanon: Dar Al-Fikr.
Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.
Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith
Serial Ngaji Fikih sebelumnya:
Ngaji Fikih #24: Sebab Dan Larangan Bagi Orang Junub