pembaruan ajaran agama di era jahiliyah

Pembaruan Ajaran Agama di Era Jahiliyah

Terakhir diperbarui pada · 1,903 views

Bentuk pembaruan ajaran agama dalam Islam saat ini, atau populer dengan istilah bid’ah, memiliki hubungan erat dengan bentuk pembaruan ajaran agama (bid’ah) di era Jahiliyah. Hampir seluruh praktik keagamaan yang dianut orang Arab Jahiliyah adalah bid’ah yang mereka buat sendiri. Itu terjadi setelah lenyapnya ilmu dan ulama atau dikenal dengan istilah masa fatrah.

Di samping itu, ada bid’ah-bid’ah tambahan yang berasal dari luar agama Paganisme murni yang saat itu mereka anut. Beberapa di antara bentuk pembaruan ajaran agama tersebut ternyata masih ada yang eksis hingga saat ini. Meskipun dengan kemasan yang berbeda.

Oleh sebab itu, setiap muslim perlu untuk mengenali apa saja bentuk pembaruan dalam agama (bid’ah) yang terjadi di jaman Jahiliyah, sebagai bekal agar tidak terjebak pada praktik amalan bid’ah yang sama yang merebak saat ini.

Pembaruan Ajaran Agama: Bahirah, Sa’ibah, Washilah, dan Ham

Bahirah adalah unta yang dibelah telinganya dan dibiarkan begitu saja. Tidak boleh ditunggangi. Susunya tidak boleh diminum, kecuali untuk tamu. Salah satu sebab mereka melakukan hal tersebut adalah niatan untuk mendekatkan diri kepada sembahan-sembahan mereka.

Sa’ibah adalah unta yang dilepaskan secara liar dengan maksud dibiarkan untuk sembahan-sembahan sebagai syarat nadzar atau semisalnya. Ada juga yang melakukan itu semata untuk mendekatkan diri pada sembahan-sembahan. Sehingga, unta tersebut ‘haram’ ditunggani, susunya tidak boleh diminum, dan dagingnya tidak boleh dimakan.

Washilah juga termasuk bid’ah yang nyata, Washilah adalah kambing yang dilepaskan karena telah melahirkan sepuluh anak betina dalam Lima kali melahirkan tanpa adanya anak jantan di antaranya. Mereka menyebut kambing seperti ini  Washiilah/ وصيلة yang berarti waashilah/ واصلة, karena menyambung sepuluh anak betina.

Lalu jika setelahnya kambing ini melahirkan lagi, anaknya boleh dikonsumsi untuk kaum lelaki saja. Kecuali jika anaknya mati, saat itu kaum perempuan boleh ikut serta mengkonsumsinya, lalu mereka makan bersama-sama. Inilah aturan adat orang-orang di masa Jahiliyah yang Allah sebutkan dalam firmannya,

وَقَالُوا مَا فِي بُطُونِ هَذِهِ الْأَنْعَامِ خَالِصَةٌ لِذُكُورِنَا وَمُحَرَّمٌ عَلَىٰ أَزْوَاجِنَا وَإِنْ يَكُنْ مَيْتَةً فَهُمْ فِيهِ شُرَكَاءُ سَيَجْزِيهِمْ وَصْفَهُمْ إِنَّهُ حَكِيمٌ عَلِيمٌ

“Dan mereka mengatakan: ‘Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami,’ dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 139)

Ham (bentuk jamak dari haum) adalah unta jantan yang sudah mengawini unta betina hingga beberapa kali. Saat itulah orang-orang Jahiliyah melindungi punggungnya. Maksudnya, tidak ditunggangi dan tidak diberi beban. Mereka melepaskan unta jantan tersebut dan hanya mereka gunakan untuk membuahi (perkawinan) unta betina saja. Perbuatan yang mereka lakukan ini bertujuan untuk menghambakan dan mendekatkan diri pada sembahan-sembahan.

Baca juga: Hukum Pasang Susuk dan Cara Ampuh Menghilangkannya.

Pembaruan Ajaran Agama: Wukuf di Muzdalifah

Bentuk pembaruan ajaran agama (bid’ah) di era Jahiliyah berikutnya adalah wukuf di Muzdalifah saat melaksanakan Haji, bukan di Arafah. Bid’ah ini dibuat-buat para pemuka Mekah. Mereka dikenal sebagai Hums (bentuk jamak dari kata Ahmas, yaitu orang Quraisy yang bersemangat terhadap syair-syair agama). Sementara orang-orang Arab biasa wukuf di Arafah. Mereka tidak diperkenankan wukuf di Muzdalifah.

Pembaruan Ajaran Agama: Tidak Mau Thawaf Menggunakan Baju Bekas

Maksudnya adalah saat melaksanakan thawaf, mereka tidak mau menggunakan baju yang pernah digunakan untuk berbuat maksiat terhadap Allah. Siapa pun, kecuali Hums, dilarang thawaf menggunakan baju yang sudah lama.

Jika hums tidak memiliki pakaian untuk thawaf, ia thawaf dengan telanjang. Bahkan wanita juga thawaf dengan telanjang, hanya menutupi kemaluan dengan sesuatu. Ini dikuatkan oleh bait syair gubahan salah seorang wanita di antara mereka

Pada hari ini, sebagian diantaranya atau semuanya terlihat..

Apa yang Nampak darinya tidaklah aku halalkan

Untuk membantah kedua bid’ah ini, Allah menurunkan firman-Nya

ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيم

Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Baqarah: 199)

Dan firman-Nya,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِين

Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al- A’raf: 31)

Pembaruan Ajaran Agama: Mengundi Nasib Dengan Anak Panah

Maksudnya mengundi nasib dengan anak panah yang tidak diberi bulu dan mata panah. Salah satunya ditulis, “Rabbku memerintahkanku.” Yang satunya lagi ditulis “Rabbku melarangku.” Yang terakhir tidak ditulis apa pun, saat seorang di antara mereka hendak menikah, bercerai, berdagang, atau berpergian, ia pergi menemui peramal pemilik tiga anak panah ini, lalu memberinya upah.

Baca juga: Konsekuensi Hukum Orang yang Mendatangi Dukun.

Si peramal kemudian memutar tiga anak panah tersebut di papan. Jika keluar anak panah yang bertuliskan “Rabbku menyuruhku,” maka ia melakukan rencana yang ia niatkan di awal. Jika yang keluar anak panah yang bertuliskan “Rabbku melarangku,” maka ia membatalkan rencana yang ia niatkan tadi. Dan jika yang keluar anak panah tanpa tulisan, pengundian akan diulang kembali.

Allah mengharamkan bid’ah macam ini melalui firman-Nya dalam surat al-Ma’idah:

وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ

“…Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah.”(QS. Al Ma’idah: 3)

Praktik pembaruan ajaran agama (bid’ah) ini disebut juga dengan istiqsam, karena mereka melakukannya untuk mengetahui nasib.

Pembaruan Ajaran Agama: Nasa’ah

Yaitu menunda pengharaman bulan Muharam ke bulan Shafar demi menghalalkan peperangan di bulan-bulan haram. Para pelaku bid’ah ini di sebut nasi’ah. Mereka membanggakan bid’ah ini, hingga ada yang bersyair:

Bukankah kita orang-orang nasi’ah, kita mengatur…

Bulan-bulan halal untuk kita jadikan bulan-bulan haram

Saat Islam datang, bid’ah seperti ini diharamkan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. At-Taubah: 37)

Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi menjelaskan, “Tipu muslihat yang dilakukan sebagian ulama untuk menghalalkan sebagian hal-hal yang diharamkan demi kepentingan pribadi atau orang lain, sama seperti langkah praktik pembaruan ajaran agama (bid’ah) Nasa’ah yang menunda bulan-bulan suci untuk menghalalkan bulan-bulan tersebut untuk berperang.”

Lanjut beliau, “Demikian halnya seluruh fatwa yang dimaksudkan untuk menghalalkan sesuatu yang Allah ‘Azza wa Jalla haramkandengan takwil-takwil yang jauh dari kebenaran. Fatwa-fatwa model seperti ini mengikuti jejak dan tradisi orang-orang Jahiliyah.” (disadur dari Hadzal Habib Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Ya Muhib, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, 41-44) wallahu a’lam [dakwah.id]

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *