Pengobatan cuci darah adalah jenis pengobatan yang mereplikasi banyak fungsi ginjal. Hal ini sering digunakan untuk mengobati kasus-kasus gagal ginjal atau dikenal dengan istilah stadium akhir penyakit ginjal. Yaitu, dimana ginjal telah rusak berat dan kehilangan hampir semua kemampuannya untuk berfungsi normal.
Cuci darah dalam bahasa arab dikenal dengan istilah ‘Al-Ghasiil Al-Kulluwiy atau Al-Ghasiil Ad-Damawy’. Kalau dalam bahasa inggris, cuci darah dikenal dengan istilah ‘hemodialysis atau haemodialysis’. (www.ssfcm.org)
Ide tentang pengobatan cuci darah ini diawali oleh Thomas Graham pada tahun 1854 Masehi. (Graham T. The Bakerian lecture: on osmotic force. Philosophical Transactions of the Royal Society in London. 1854;144:177–228)
Sedangkan ilmuwan yang pertama kali berhasil membuat konstruksi alat untuk pengobatan cuci darah adalah Dr. Willem Kolff pada tahun 1943 Masehi. (http://en.wikipedia.org/wiki/hemodialysis)
Proses Pengobatan Cuci Darah
Proses hemodialysis/pencucian darah dilakukan dengan dua cara:
Pertama, menggunakan alat medis yang menyerap seluruh darah pasien, lalu alat ini bekerja membersihkan darah dari kotoran yang membahayakan, kemudian dikembalikan ke tubuhnya melalui urat leher. (Mufathirat ash-Shiyam al-Mu’ashirah, 72)
Kedua, cara lain digunakan dengan memasukkan alat seperti pipa ke dinding perut di atas pusar, lalu dimasukkan melalui alat ini ke dalam perutnya sekitar dua liter zat cair yang memiliki kadar glukosa sangat tinggi, lalu sementara didiamkan, kemudian ditarik kembali dan demikian diulang beberapa kali dalam satu hari sampai darah pasien bersih dari penyakit-penyakit yang mengganggu. (Mufathirat ash-Shiyam al-Mu’ashirah, 72)
Secara hukum syar’i pengobatan ini diperbolehkan. Namun, muncul sebuah masalah baru. Bilamana pengobatan dengan cuci darah ini dilakukan oleh seorang muslim di bulan ramadhan?. Apakah pengobatan cuci darah ini akan membatalkan puasa?. dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama, tidak membatalkan puasa. Mereka melandasi pendapatnya dengan tidak adanya dalil yang gamblang dan tidak dapat diqiyaskan dengan pembatal-pembatal yang jelas. Ini adalah pendapat Dr. Muhammad al-Khoyyath. (Majalah al-Majma’ al-Fiqhi th. ke-10, 2/290, Mufathirat ash-Shiyam al-Mu’ashirah hlm. 73, dan al-Mufaththirath al-Mu’ashirah hlm. 8)
Pendapat kedua, cuci darah membatalkan puasa. Ini adalah pendapat Syaikh bin Baz dalam salah satu fatwanya (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah Syaikh Ibnu Baz 15/275), Syaikh Ibnu Utsaimin (Liqa‘ al-Bab al-Maftuh 10/188), Dr. Wahbah az-Zuhaili, dan keputusan Fatwa Lajnah Da‘imah. (Majalah al-Majma’ al-Fiqhi th. ke-10, 2/378)
Pendapat yang dikuatkan oleh ulama fikih kontemporer adalah pendapat yang kedua yaitu cuci darah membatalkan puasa. Pendapat ini pula yang dipilih oleh dewan Lajnah Daimah. (Fatwa Lajnah Daimah, 10/190)
Alasannya, bahwa cuci darah mengharuskan adanya tambahan darah segar, bahkan ditambahkan pula bahan bahan kimia yang dapat menggantikan makanan dan minuman.
Akan tetapi, jika dalam cuci darah tidak ditambahkan hal lain kecuali cuci darah itu sendiri, maka tidak membatalkan puasa. (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah Syaikh Ibnu Baz 15/275).
Wallahu a’lam