Daftar Isi
Semua orang tentu sepakat bahwa toleransi agama adalah suatu sikap yang harus diterapkan secara konsekuen dalam tatanan bermasyarakat. Apalagi bagi suatu masyarakat yang penuh keragaman seperti di Indonesia.
Demi terciptanya suatu tatanan kehidupan yang damai dan harmonis, toleransi agama adalah prasyaratnya.
Namun, toleransi agama tersebut harus dibangun pada pijakan yang kuat dan baku.
Sebab jika tidak, tentu penerapan toleransi akan menjadi sangat relatif, karena masing-masing pihak akan mengklaim bahwa dirinya telah berlaku toleran atau menuduh pihak lain tidak toleran tanpa landasan yang jelas.
Beberapa kasus yang jamak kita jumpai di masyarakat ini mungkin bisa menjadi contoh.
Misalnya, soal ucapan hari raya natal. Kerap kali orang-orang muslim yang enggan mengucapkan selamat natal kepada penganut Kristen dicap tidak toleran atau terlalu eksklusif. Padahal alasan mengapa mereka enggan mengucapkan selamat natal adalah karena alasan teologis.
Mayoritas ulama, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ibnu Qasim al-Maliki, al-Izz bin Abdussalam, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayim al-Jauziyah, Syaikh bin Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, dan Buya Hamka rahimahumullah sepakat bahwa mengucapkan selamat natal adalah haram, sebab adanya dalil-dalil yang menegaskan haramnya.
Di antaranya, QS. Al-Furqān: 72,
وَٱلَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ ٱلزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا۟ بِٱللَّغْوِ مَرُّوا۟ كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya.”
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوْلِيَآءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Dan hadis Nabi yang berbunyi,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى
“Bukan termasuk golongan kami mereka yang menyerupai selain kami (orang-orang kafir), janganlah kalian menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani.”(HR. At-Tirmidzi no. 2695; Syaikh al-Albani menghukumi derajat hadits ini hasan).
Dari dalil-dalil tersebut para ulama berfatwa bahwa seorang muslim hendaknya tidak ikut merayakan hari raya umat agama lain, termasuk mengucapkan selamat hari raya kepada mereka, sebab itu bertentangan dengan akidah tauhid dalam Islam. (Hukmu Al-Ihtifal Wa Al-Tahni’ah Bi Al-Krismas, Mursal, 7–15).
Meskipun terdapat fatwa ulama kontemporer yang memperbolehkan mengucapkan selamat pada hari raya nonmuslim dengan syarat dan kondisi tertentu, tetapi bukan berarti mereka yang berpegang pada fatwa haramnya mengucapkan selamat hari raya nonmuslim itu lantas tidak bersikap toleran.
Justru ketika ada pemaksaan untuk mengucapkan selamat Natal atau perayaan lain inilah yang sebenarnya tidak toleran.
Untuk itu, toleransi agama harus dibangun di atas landasan yang baku dan kuat yaitu agama itu sendiri.
Bagi umat Islam, ajaran untuk bertoleransi telah tertuang dalam kitab suci al-Quran. Jauh sebelum peradaban Barat mengembangkan konsep toleransi agama ala mereka, umat Islam telah mempraktikkan toleransi agama dalam kehidupan bermasyarakat mereka.
Nabi Muhammad telah mengajarkan kepada umatnya bagaimana bertoleransi yang benar, sesuai petunjuk al-Quran.
Lalu, bagaimanakah prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah toleransi dalam al-Quran? Simak penjelasan singkat berikut.
Prinsip-Prinsip Toleransi Agama dalam Al-Quran
Pertama: Tidak ada paksaan dalam beragama
Ini adalah prinsip toleransi paling mendasar dalam Islam.
Al-Quran telah menyebutkan dengan sangat gamblang bahwa tidak boleh ada pemaksaan kepada orang-orang kafir untuk masuk ke dalam agama Islam.
Hidayah Islam tidak datang dengan pemaksaan, tapi harus dengan kesadaran dan kerelaan.
Prinsip ini terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi,
لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Imam ath-Thabari dalam tafsirnya menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas bahwa sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) ayat ini berkenaan dengan sahabat al-Hushain dari golongan Anshar, suku bani Salim bin Auf yang mempunyai dua orang anak yang beragama Nasrani, sedangkan dia sendiri seorang Muslim.
Sahabat Nabi ini bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Bolehkah saya paksa kedua anak itu karena mereka tidak taat kepadaku,(tidak mau masuk Islam) karena mereka ingin tetap memeluk agama Nasrani?”
Allah menjelaskan jawabannya dengan turunnya ayat tersebut di atas (QS. Al-Baqarah: 256) bahwa tidak ada paksaan dalam Islam (Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Quran, Muhammad bin Jarir ath-Thabari, 5/409).
Kedua: Berinteraksi sosial secara baik kepada nonmuslim
Islam adalah agama yang mengajarkan kepada para penganutnya agar berbuat baik kepada siapa saja, termasuk kepada orang-orang kafir atau nonmuslim. Berbuat baik (iḥsân) adalah inti dari toleransi dalam Islam.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan yang sempurna dalam mempraktikkan prinsip ini. Beliau senantiasa berbuat baik kepada siapa pun, termasuk kepada orang-orang kafir sekalipun.
Bahkan beliau tidak pernah membalas perbuatan jahat orang-orang kafir dengan kejahatan. Namun, beliau justru memaafkan mereka seperti pada peristiwa pembebasan Kota Makkah (fatḥ Makkah) yang fenomenal itu.
Karena senantiasa menebarkan kebaikan inilah, Rasulullah disebut sebagai rahmat bagi semesta alam (raḥmatan lil ‘âlamîn).
Prinsip agar senantiasa berbuat baik kepada siapa saja ini beliau tularkan kepada umatnya berdasarkan ajaran al-Quran, yaitu dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 8—9,
لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَٰتَلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ وَظَٰهَرُوا۟ عَلَىٰٓ إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ (9)
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Imam Ibnu Katsir menjelaskan terkait ayat ini dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhim bahwa umat Islam tidak dilarang sama sekali untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang kafir yang tidak memusuhi umat Islam.
Justru umat Islam sangat ditekankan agar berlaku baik dan adil kepada mereka, sebab Allah mencintai mereka yang senantiasa berbuat baik dan berlaku adil.
Ibnu Katsir juga menukil sebuah riwayat tentang sahabat Nabi dari kalangan perempuan yang bernama Asma’ binti Abu Bakr ketika ibunya yang masih musyrik memberi hadiah kepadanya, tapi ia enggan menerimanya.
Lalu Aisyah bertanya kepada Rasulullah terkait hal ini, maka turunlah ayat tersebut, dan beliau pun memerintahkan Asma’ agar menerima hadiah ibunya itu. (Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, Ibnu Katsir, 8/90(.
Ketiga: Tidak boleh mengolok-olok atau menghina Tuhan agama lain
Esensi dari toleransi sejatinya adalah sikap saling menghormati. Maka untuk menciptakan keharmonisan dan kedamaian sosial seluruh anggota masyarakat tentunya harus bisa saling menghormati.
Untuk itu, syariat Islam telah menegaskan prinsip toleransi untuk tidak menghina atau mengolok-olok ajaran dan kepercayaan agama lain. Adapun dakwah dalam Islam harus disampaikan dengan santun dan rasional, bukan dengan ujaran kebencian yang provokatif.
Al-Quran telah menegaskan hal ini dalam QS. Al-An’ām ayat 108 yang bunyinya,
وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”
Imam al-Qurthubi dalam kitab al-Jâmi’ li Aḥkâm al-Qurân menafsirkan ayat tersebut bahwa Allah subhanahu wata’ala melarang umat Islam untuk mencela dan mengolok-olok Tuhan atau berhala yang disembah oleh orang-orang kafir dan musyrik.
Sebab mereka pasti akan membalas dengan hinaan dan celaan yang serupa kepada Allah. Maka mencela dan mengolok-olok agama lain adalah haram hukumnya dalam Islam. (Al-Jâmi’ Li Ahkâm Al-Qur’ân, Al-Qurthubi, 7/61).
Keempat: Tidak mencampur-adukan ajaran Islam dengan agama lain
Toleransi dalam Islam adalah bentuk toleransi yang proporsional, bukan toleransi yang “kebablasan”.
Oleh karena itu, di antara prinsip yang ditekankan adalah toleransi tidak boleh sampai melewati batas wajarnya. Seperti mencampur-adukkan ritual atau konsep-konsep keyakinan agama Islam dengan selainnya.
Toleransi dalam Islam adalah dengan mempertegas batas demarkasi antara agama Islam dengan selainnya. Bukan justru mengaburkannya dengan cara mencampur-adukkan ajaran agama-agama atas nama toleransi.
Prinsip ini telah disebutkan dengan jelas dalam QS. Al-Kafirun ayat 1–6 sebagaimana berikut,
قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ (1) لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُد (3) وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ (4) وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ (6)
“Katakanlah (Muhammad),“Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menerangkan terkait Surat al-Kafirun ini, menurutnya surat ini adalah bentuk pernyataan terlepasnya Islam dari agama kaum musyrikin (al-barâ’ah) dan perintah agar mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata.
Wahbah al-Zuhaili juga menerangkan bahwa ayat ini berlaku umum, tidak hanya bagi orang musyrik di zaman Nabi Muhammad saja, tetapi juga kepada seluruh orang musyrik di semua zaman. (At-Tafsir al-Munir fi al-’Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj, Al-Zuhaili, 30/442)
Cukup Al-Quran Sebagai Sumber Petunjuk dalam Toleransi Agama
Al-Quran sebagai pedoman hidup yang paling sempurna bagi umat manusia telah memuat prinsip-prinsip toleransi yang begitu proporsional.
Prinsip-prinsip toleransi inilah yang harus kita aplikasikan dengan sebenar-benarnya.
Apalagi bagi umat muslim, sebenarnya mereka tidak perlu lagi dibingungkan dengan mencari dan mengadopsi konsep-konsep toleransi dari agama atau peradaban lain. Hal ini justru menjadikan mereka seakan kehilangan jati dirinya.
Cukuplah al-Quran menjadi sumber dan petunjuk kita dalam bertoleransi.
Justru sebaliknya, umat muslimlah yang seharusnya mengajarkan orang-orang nonmuslim tentang toleransi yang sebenarnya.
Catatan sejarah telah membuktikan bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang paling baik dalam mengaplikasikan toleransi.
Pembebasan Kota Makkah (fath Makkah), pembebasan Yerusalem, pembebasan Kota Konstantinopel, pembebasan Spanyol, dan penyebaran Islam di Nusantara adalah beberapa fakta sejarah yang membuktikan bahwa toleransi dalam Islam bukan hanya sekadar kata-kata saja, namun toleransi betul-betul nyata sebagai aksi.
Toleransi yang umat Islam terapkan ini tentunya bersumber dari ajaran al-Quran. Prinsip-prinsip toleransi yang disebutkan dalam tulisan ini hanyalah segelintir saja.
Tentunya apabila kita menggali dan mentadaburi lagi ayat-ayat al-Quran, akan kita jumpai prinsip-prinsip toleransi yang lebih banyak lagi. Wallahu a’lam. (Adib Fattah Suntoro/dakwah.id)
Baca juga artikel Pemikiran terbaru: