Sebagian masyarakat muslim lebih memilih melaksanakan qadha puasa Ramadhan di bulan Syawal, meski banyak juga yang lebih memilih qadha puasa Ramadhan di bulan Sya’ban, mendekati Ramadhan berikutnya. Nah, agar bulan Syawal tidak terlalu banyak melaksanakan amalan puasa, sebagian kalangan berinisiatif pelaksanaan qadha puasa Ramadhan digabung dengan puasa Syawal. Dua bentuk ibadah digabung dalam satu pelaksanaan. Apakah yang demikian ini boleh secara syar’i?
Persoalan penggabungan dua niat ke dalam satu pelaksanaan ibadah, para ulama salaf memasukkan pembahasan tersebut dalam bab Tasyrikun Niyat atau Jam’un Niyat. Bab ini adalah salah satu rincian dari penjabaran sabda Rasulullah tentang niat.
Dalam hadits Umar radhiyallahu ‘anhu disebutkan,
عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuatu sesuai niatnya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)
Dalam hadits lain disebutkan,
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ: يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada kami, “Wahai para pemuda, siapa yang sudah mampu menafkahi biaya rumah tangga, hendaknya dia menikah. Karena hal itu lebih menundukkan pandangannya dan lebih menjaga kemaluannya.”
Tentang kaedah tasyrikun niyat, ada penjelasan menarik dari al-Hafidz Ibnu Hajar. “Jika terkumpul dua bentuk ibadah yang masih satu jenis dan satu waktu, hal mana salah satunya bukan dalam bentuk qadha, bukan pula bentuk ibadah yang menyertai ibadah lain dalam satu waktu, maka perngerjaannya bisa disatukan dengan sekali pelaksanaan.” Demikian tutur Ibnu Rajab. (Taqrirul Qawa’id wa Tahrirul Fawa-id, 1/142)
Berdasarkan kaedah tasyrikun niyat yang dipaparkan Ibnu Rajab di atas, maka meniatkan puasa syawal dan qadha puasa Ramadhan sekaligus adalah tidak boleh. Sebab, puasa syawal adalah satu bentuk ibadah tersendiri yang hukumnya sunnah dan qadha puasa Ramadhan adalah ibadah tersendiri yang hukumnya wajib, sehingga tidak bisa ditumpang tindihkan. Dua ibadah tersebut harus dilaksanakan secara terpisah. Melaksanakan qadha puasa Ramadhan dahulu, lalu melaksanakan puasa syawal.
Baca Juga: Hukum Meninggalkan Shiyam Ramadhan Tanpa Udzur Syar’i
Jika misalnya terlanjur melaksanakan puasa syawal dan qadha puasa Ramadhan dengan satu niat, ada sedikit ikhtilaf pendapat ulama fikih terkait dengan ibadah mana yang dianggap sah; puasa syawalnya atau qadha puasa Ramadhannya.
Pendapat yang paling kuat, ibadah yang dihitung sah adalah ibadah qadha puasa Ramadhannya. Sementara niat puasa syawalnya tidak dianggap. Qadha puasa Ramadhan hukumnya wajib, dan puasa syawal hukumnya sunnah. Ibadah yang hukumnya wajib didahulukan. (Maqashidul Mukallafin, 257) Demikian penjelasan syaikh Hisamuddin Afanah dalam salah satu tulisannya.
Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid juga pernah ditanya oleh seorang perempuan perihal pelaksanaan puasa Syawal yang dilakukan satu niat dengan qadha puasa Ramadhan. Menurut beliau, puasa tersebut tidak benar. Sebab, puasa Syawal enam hari itu tidak bisa dilaksanakan kecuali setelah menyelesaikan qadha puasa Ramadhan.
Baca Juga: Rajin Puasa tapi Tidak Shalat, Apakah Puasanya Diterima?
Beliau mendasarkan argumentasinya pada penjelasan syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fatawa ash-Shiyam (438). Dalam Fatawa tersebut, syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan bahwa puasa Syawal itu memiliki tautan dengan puasa Ramadhan, maka tidak bisa dilakukan kecuali setelah menyelesaikan puasa Ramadhan. Jika puasa Syawal dilakukan sebelum menyelesaikan qadha puasa Ramadhan, maka pahala puasa syawalnya tidak dapat diraih. (islamqa.info)
Kesimpulan syaikh Ibnu ‘Utsaimin tersebut dipahami dari makna hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan, lalu diiringi dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka dia seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim, Abu Dawud, St-Tirmidzi, an-Nasa-i dan Ibnu Majah)
Dalam hadits tersebut, Syaikh Utsaimin memahami puasa syawal yang jumlahnya enam hari itu bertautan dengan puasa ramadhan. Makna ini beliau simpulkan dari pemahaman kalimat ثم أتبعه pada haidts di atas. (Fatawa ash-Shiyam, 438)
Baca Juga: Membatalkan Puasa Tanpa Alasan, Begini Siksaannya di Akhirat Kelak
Lain halnya jika melaksanakan puasa Arafah atau puasa Asyura’ padahal belum melaksanakan qadha puasa Ramadhan, maka puasa Arafah atau Asyura’ yang ia lakukan itu boleh dan sah. Bahkan, jika disertakan pula niat qadha puasa Ramadhan bersama dengan puasa Arafah atau Asyura’, ia akan mendapat dua pahala sekaligus dan qadha puasa Ramadhannya juga sah. Demikian penjelasan syaikh Ibnu ‘Utsaimin. (islamqa.info)
Dalam salah satu fatwanya, Syaikh Abdullah bin Baz berpendapat bahwa pelaksanaan qadha puasa Ramadhan yang digabung dengan puasa Syawal maka pelakunya tidak akan mendapat pahala puasa syawalnya, puasa yang ia lakukan dihitung sebagai qadha puasa Ramadhan. Argumentasi beliau, puasa Syawal itu membutuhkan niat khusus dan hari yang tertentu. (www.binbaz.org.sa)
Saran dari syaikh Abdullah bin Baz, bagi Muslim atau Muslimah yang memiliki hutang atau qadha puasa Ramadhan, lebih utama untuk melaksanakan qadha puasa Ramadhan dahulu di bulan Syawal lalu berikutnya puasa Syawal enam hari. Wallahu a’lam [Sodiq Fajar/dakwah.id]
Tema Terkait: Fikir Kontemporer, Fikih Shaum, Fikih Shiyam, Ramadhan, Syawal
Tks, bisa bergabung dgn grup ini semoga bisa bernilai ibadah, Aamiin YRA