Artikel yang berjudul Shalat dan Syahwat ini adalah artikel ke-2 dari serial artikel #MadrasahRamadhan
Pemuda ini bernama Alfonsus Kurniawan Ardhitya (26th.), pada tanggal 23 Juli 2019, pemuda yang semula beragama Katolik ini mantap menyatakan diri sebagai seorang muslim.
Di bawah bimbingan Ustad Iwan Hermawan, seorang pengurus Muhammadiyah Kabupaten Tegal, Iwan dengan lancar mengucapkan dua kalimat syahadat, bahwa tidak Ilah selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.
Shalat. Itu yang membuat Iwan begitu terkesan dengan Islam. Baginya shalat merupakan ritual ibadah yang mendatangkan ketenangan dan rasa damai.
“Ikut shalat malah jadi tenang. Hati terasa damai, seperti ada energi positif yang masuk ke tubuh,” Jelas Iwan saat bercerita tentang keislamannya sebagaimana dikutip oleh kumparan.com.
Iwan mendapatkan ketenangan dalam shalat, ia menemukan hidayah dan merasakan kekuatan shalat dalam hidupnya.
Artikel Tadabur: 4 Isyarat Ilmiah dalam Kisah Ashabul Kahfi
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi menjelaskan, bahwa shalat itu dapat mensucikan jiwa dan membersihkannya. Shalat adalah momentum seorang hamba untuk bermunajat kepada Allah, dan menjadikannya dekat dengan Allah pada hari kiamat. Dan shalat pula yang akan mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar. (Minhaj al-Muslim, Abu Bakar Jabir al-Jazairi, 166)
Itulah sebabnya kenapa shalat disebut Nabi sebagai pemisah antara keimanan dan kekafiran. Shalat ibarat tiang bagi rumah, saat tiang tersebut rapuh, maka hanya soal waktu rumah itu akan runtuh.
Gak Shalat, Gak Menang
Jumlah muslim di dunia ini ada 1,8 milyar. Membentuk 24% populasi dunia yang tersebar di lima benua, demikian catatan penelitian Pew Research Center pada tahun 2015. Adapun Indonesia menduduki puncak klasemen sebagai penyumbang terbesar dengan angka 204 juta muslim. (Wikipedia)
Angka 1,8 milyar muslim dunia adalah jumlah yang fantastis. Namun di balik angka besar tersebut menyisakan satu pertanyaan buruk; kenapa Islam dan kaum muslimin justru terpuruk?
Teringat hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah mengabarkan hal ini.
يُوشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمُ الأُمَمُ كَمَا تَدَاعَى الْقَوْمُ إِلَى قَصْعَتِهِمْ
قَالَ: قِيلَ: مِنْ قِلَّةٍ؟
قَالَ: لاَ وَلَكِنَّهُ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ يُجْعَلُ الْوَهَنُ فِي قُلُوبِكُمْ، وَيُنْزَعُ الرُّعْبُ مِنْ قُلُوبِ عَدُوِّكُمْ لِحُبِّكُمُ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَتِكُمُ الْمَوْتَ
“Hampir tiba masanya bangsa-bangsa saling besekongkol untuk mengalahkan kalian seperti sekelompok orang yang menyantap makanan di piring mereka.”
Seorang sahabat bertanya, “Apakah karena sedikitnya jumlah kita ketika itu?”
Artikel Tarikh Tasyri’: Pentingnya Kajian Sejarah Hukum Islam
Rasulullah menjawab, “Tidak. Bahkan kalian banyak, tapi bagai buih, seperti buih pada banjir. Dan ditanamkan sifat Wahn pada diri kalian, dan dicabut rasa gentar dari musuh terhadap kalian, karena kalian mencintai dunia dan takut pada kematian.” (HR. Ahmad, an-Nasai, Abu Daud dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu)
Bangsa-bangsa dalam hadist ini bermakna orang-orang kafir dan orang-orang sesat yang bahu-membahu dan bersepakat untuk menghancurkan kekuatan kaum muslimin, merampas tanah dan harta mereka.
Tidak ada kesulitan yang menghalangi mereka, tidak ada bahaya apapun yang menimpa mereka. Bahkan tidak ada kekuatan yang mencoba menghalangi mereka dari melakukan hal-hal tersebut. Persis seperti sekelompok orang yang makan dari piringnya. Makan dengan suka cita. (Mirqat al-Mafatih, Ali al-Qari, 15/308)
Mari lihat realita hari ini, betapa hadis Nabi ini telah kita saksikan sekarang. Kaum muslimin benar-benar terpuruk di berbagai negeri, sebagian mereka tertindas, sebagian terjajah, sebagian harus terlantar mencari suaka, sementara sebagian lainnya abai tidak peduli. Pura-pura buta dan tuli.
Lantas, apa sebab ini terjadi?
Rasulullah sudah memberikan jawaban dalam hadist tersebut. Karena di hati kaum muslimin terjangkit penyakit al-Wahn; cinta dunia dan takut kematian.
Dua hal ini ibarat dua sisi mata uang yang saling berkaitan. Tidaklah seseorang mencintai dunia melainkan ia pasti akan membenci kematian, dan begitu sebaliknya, saat seseorang membenci kematian pastilah itu karena ia terlalu mencintai dunia.
Apa kaitannya dengan shalat?
Sangat berkaitan dan sangat mendasar.
Shalat adalah barometer kebaikan pertama yang menjadi alat ukur kualitas iman seorang. Jika seseorang baik shalatnya, maka akan baik pula amal lainnya. Demikian pula sebaliknya, jika berantakan shalatnya akan remuk redam pula urusan lainnya.
Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda soal yang satu ini dalam hadistnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
إنّ أوّلَ مَا يُحَاسَبُ النّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أعْمَالِهِمْ الصّلاَةُ فإن صَلُحَتْ فقد أفلحَ وأنجحَ، وإن فَسَدَتْ فقد خابَ وخسرَ.
“Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari amal manusia pada hari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya baik maka sungguh ia beruntung dan selamat. Adapun jika shalatnya rusak, maka ia telah rugi dan celaka.” (HR. At-Tirmidzi)
Artikel Sejarah: Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, Tertuduh Tapi Tak Bersalah
Mula Ali al-Qari menjelaskan bahwa jika seorang hamba mengerjakan shalatnya dengan baik dan benar, maka ia akan mendapat pahala dan akan selamat pada hari kiamat. Tetapi jika ia mengerjakan dengan cara yang tidak benar, maka baginya azab, dan kelak ia akan merugi dan menyesal. (Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarhi Jaami’ at-Tirmidzi, Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfuri, 2/463)
Maka coba lihat di sekeliling kita, berapa banyak dari kaum muslimin yang saat azan berkumandang masih sibuk dengan pekerjaannya, masih berkutat dengan dagangannya.
Lihatlah di pusat-pusat perbelanjaan, di pasar-pasar, mereka abai dari seruan adzan dengan terlambat mengerjakan, lebih dari itu, tidak sedikit yang meninggalkan shalat. Ringan saja, seperti shalat bukan sesuatu yang harus segera untuk ditunaikan.
Jangan Tinggalkan Shalat dan Jangan Ikuti Syahwat
Mendidik generasi yang selalu menjaga shalatnya adalah sebuah kewajiban. Karena saat seorang hamba meninggalkan shalat, maka saat yang bersamaan ia terperosok ke dalam lubang syahwat.
Shalat dan syahwat itu jika diibaratkan seperti satu garis lurus, shalat berada di ujung pertama dan syahwat di ujung lainnya. Saat seseorang mendekat selangkah menuju shalat, maka satu langkah pula ia menjauhi syahwat, begitu pula sebaliknya.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۧنَ مِن ذُرِّيَّةِ ءَادَمَ وَمِمَّنۡ حَمَلۡنَا مَعَ نُوحٍ وَمِن ذُرِّيَّةِ إِبۡرَٰهِيمَ وَإِسۡرَٰٓءِيلَ وَمِمَّنۡ هَدَيۡنَا وَٱجۡتَبَيۡنَآۚ إِذَا تُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُ ٱلرَّحۡمَٰنِ خَرُّواْۤ سُجَّداۤ وَبُكِيّا۩ فَخَلَفَ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ خَلۡفٌ أَضَاعُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُواْ ٱلشَّهَوَٰتِۖ فَسَوۡفَ يَلۡقَوۡنَ غَيًّا
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (QS. Maryam: 58-59)
Imam ar-Razi menyebutkan bahwa pada ayat 58 di atas, Allah memuji hamba-hamba-Nya dari para Nabi dan Rasul-Nya serta anak keturunan mereka dengan kemulian karena sebab ketaatan mereka. Sifat mereka adalah gemar sujud (shalat) dan menangis saat diingatkan dengan janji dan ancaman.
Artikel materi khutbah Jumat klik di sini.
Namun sebagian dari keturuan mereka justru sebaliknya, seperti pada ayat 59, mereka menjadi orang-orang yang gemar maksiat dan jauh dari kata taat. Sebabnya, mereka meninggalkan shalat dan mengikuti syahwat, dua sifat yang berseberangan dari para pendahulu mereka. (At-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, Fakhruddin ar-Razi, 10/323-325)
Maka saat generasi kaum muslimin tenggelam dalam syahwatnya dan mengabaikan shalatnya. Pastilah mereka tidak pernah terpikir untuk memperjuangkan Islam, tidak terdetik di hati mereka bagaimana memenangkan kembali agama ini.
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Jika kalian melihat seseorang melalaikan shalat. Maka –demi Allah- untuk urusan selain shalat pastilah akan lebih dia lalaikan.” (Hayatu as-Salaf Baina al-Qaul wa al-‘Amal, Ahmad Nasir ath-Thayyar, 251)
Madrasah Ramadan adalah kesempatan untuk sadar dan kembali menata shalat kita. Bahwa dari sekian banyak hal yang harus dibenahi umat ini, shalat adalah hal pertama yang harus segera diperbaiki. Ibarat efek domino, saat shalat sudah ditinggalkan, hanya soal waktu ia merubuhkan semua pondasi lainnya.
Terlebih, pada hari akhirat nanti. Mereka yang mengabaikan shalat akan mendapat adzab yang pedih.
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS. Al-Muddatsir: 43-44) Wallahu a’lam (Fajar jaganegara/dakwah.id)