Pertanyaan:
Kakak saya adalah seorang nahkoda. Waktu kerjanya bisa berbulan-bulan di laut. Dalam kondisi seperti itu, bagaimana cara melakukan shalat Jumat di atas kapal? Bolehkah shalat Jumat dengan kondisi yang tidak ideal, seperti jamaah yang belum mencapai 40 orang?
Ataukah mendapatkan rukhshah boleh tidak shalat Jumat di atas kapal? Lantas, bagaimana dengan ancaman bagi Muslim yang tidak mengerjakan shalat Jumat 3 kali berturut-turut. (AbdulGhaniy-Bumi Allah)
Jawaban:
Setiap Ibadah yang mempersyaratkan sesuatu dalam pelaksanaannya, persyaratan itu harus dipenuhi. Jika tidak terpenuhi, ibadah itu pun tidak wajib dikerjakan. Bahkan bisa tidak sah. Seperti shalat Jumat di atas kapal. Demikian penjelasan para ulama Ahlu Sunnah.
Mendirikan shalat Jumat di atas kapal tidak sah, walaupun kapal sedang berlabuh. Sebab, kapal bukanlah wathan, negeri. Di antara syarat sah shalat Jumat adalah ia dilaksanakan di kota, desa, atau tanah yang melekat padanya. Itu pun harus di masjid Jami’.
Di samping itu, tabiat orang-orang yang di atas kapal adalah safar. Dan musafir tidak disyariatkan untuk mengerjakan shalat Jumat. Hanya, apabila musafir mengerjakan shalat Jumat bersama masyarakat di suatu negeri, shalat Jumatnya sah.
Lantaran kewajiban shalat Jumat telah gugur, para penumpang kapal termasuk nahkodanya wajib mengerjakan shalat zhuhur secara qashar, dua rakaat.
Jika bisa mengerjakan dengan berdiri sempurna, itu harus dikerjakan. Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi pernah ditanya tentang shalat di atas kapal, “Bagaimana saya harus shalat di atas kapal?”
Beliau menjawab, “Shalatlah sambil berdiri. Kecuali jika kamu khawatir tenggelam!” (Hadits dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahih Jami’ ash-Shaghir, no. 3777)
Mengenai ancaman bagi yang tidak mengerjakan shalat Jumat tiga kali berturut-turut, itu berlaku bagi yang tidak mengerjakannya tanpa udzur. Wallahu a’lam. [dakwh.id]
Dijawab oleh KH. Imtihan asy-Syafi’i
Artikel Konsultasi Sebelumnya: