Saat anda bepergian, bolehkah meninggalkan shalat sunnah? Bagaimana hukumnya?
Syaikh Sa’id bin Wahf al-Qahthani menjelaskan, disunnahkan meninggalkan semua shalat sunnah rawatib ketika safar selain shalat sunnah fajar dan witir.
Hal ini berdasarkan hadits Hafsh bin Ashim bin Umar bin Khattab ia berkata,
“Aku pernah menemani Ibnu Umar dalam suatu perjalanan.” Hafsh berkata; “Lalu Ibnu Umar melaksanakan shalat dua raka’at bersama kami. Kemudian dia menghadap. Ketika dia melihat orang-orang berdiri, dia berkata;
“Apa yang mereka perbuat?” Jawabku; “Mereka sedang mengerjakan shalat sunnah.”
Ibnu Umar berkata; “Sekiranya aku mengerjakan shalat sunnah, tentu aku akan menyempurnakan shalatku, wahai anak saudaraku.”
“Sesungguhnya aku pernah menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan, namun beliau tidak pernah menambah dua rakaat hingga Allah Azza Wa Jalla mewafatkannya, aku juga pernah menyertai Abu Bakar, namun dia tidak pernah menambah dua raka’at hingga Allah Azza Wa Jalla mewafatkannya.
Aku juga menyertai Umar, namun dia tidak pernah menambah dua raka’at hingga Allah Ta’ala mewafatkannya, aku juga pernah menyertai Utsman, namun dia tidak pernah menambah dua raka’at hingga Allah Ta’ala mewafatkannya, sungguh Allah Azza Wa Jalla telah berfirman; “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu [QS Al-Ahzab: 21].” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Sedangkan shalat sunnah fajar dan witir, keduanya tidak ditinggalkan baik di saat mukim maupun safar. Berdasarkan hadits Aisyah mengenai shalat sunnah fajar, bahwasannya Nabi tidak pernah meninggalkan dua rakaat tersebut sama sekali. (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Juga berdasarkan hadits Abu Qatadah mengenai tidurnya Nabi dan para sahabatnya dalam perjalanan sehingga mereka terlewatkan dari menunaikan shalat shubuh hingga matahari terbit. Disebutkan di sana,
“..kemudian Bilal mengumandangkan azan untuk shalat, maka Rasulullah shalat dua rakaat kemudian shalat subuh dan melakukan seperti apa yang biasa beliau lakukan setiap hari.” (HR. Muslim: 681)
Tentang shalat witir, dasarnya adalah hadits Abdullah bin Umar, ia berkata,
“Nabi shalat di atas kendaraannya ketika safar ke mana saja kendaraan itu menghadap. Beliau melakukannya dengan isyarat, yaitu shalat malam, selain shalat wajib. Dan beliau shalat witir di atas kendaaraannya.”
Dalam lafal lain, “Beliau shalat witir di atas unta.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Imam Ibnul Qayyim berkata,
“Kebiasaan beliau dan kontinuitas beliau melaksanakan shalat sunnah fajar melebihi semua shalat sunnah yang lain. Beliau tidak pernah meninggalkannya dan juga shalat witir, baik ketika safar maupun mukim. Tidak ada riwayat yang menukil bahwa beliau shalat sunnah rawatib di saat safar selain kedua shaat ini.” (Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 1/315)
BAGAIMANA DENGAN SHAAT SUNNAH MUTLAK?
Adapun tentang shalat sunnah mutlaq, boleh dilaksanakan kapan saja. Apakah ketika safar ataukah saat mukim. Contohnya shalat dhuha, shalat tahajjud di malam hari, dan shalat-shalat sunnah mutlak lainnya.
Begitu juga shalat sunnah yang ada sebabnya, seperti shalat sunnah wudhu, shalat thawaf, shalat kusuf, shalat khusuf, tahiyatul masjid, dan lain sebagainya. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat lil Imam Ibnu Baaz, 11/390-391)
Imam an-Nawawi berkata,
“Semua Ulama sepakat tentang sunnahnya melaksanakan shalat-shalat sunnah mutlaq di saat safar.” (Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, 5/205)
Wallahu a’lam. [Shodiq/dakwah.ih]
Ada orang berpendapat jika kita telah melaksanakan solat sunat eid, solat dhuha tidak lagi disunatkan kerana solat sunat eid sudah menggantikan solat dhuha dan oleh itu kita boleh meninggalkannya. Adakah pendapat ini betul dan apa dalilnya? Mohon pencerahan.
Berdasarkan artikal ini, adakah maksudnya solat dhuha, solat tahajud dll selain solat sunat fajar dan tahajjud, tidak sunat ketika musafir tetapi boleh dikerjakan?